Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
161
bidang pelayaran dirumuskan secara lebih lengkap yang diambil dari konvensi-konvensi antar negara tentang pengamanan laut bebas, seperti Convention on the High Seas tahun
1958 dimana Indonesia menjadi Negara peserta.
Di samping diatur dalam bab tersendiri, pada bagian lain juga diatur mengenai tindak pidana terkait dengan pelayaran, yakni B
ab tentang “Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang”, terdapat pasal-pasal yang
mengatur mengenai keselamatan pelayaran, yakni pasal 196 KUHP Pasal 211 Rancangan KUHP ialah tindakan-tindakan menghancurkan, merusak, mengambil atau
memindakan tanda untuk keselamatan pelayaran, atau menggagalkan pekerjaannya atau memasang tanda secara salah.
Selain itu, ialah pasal 198 KUHP pasal 212 Rancangan KUHP yang memidanakan tindakan
melawan hukum
yang berupa
menenggelamkan, mendamparkan,
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak kendaraan air. Persoalannya, apakah dikumpulkan menjadi dalam satu bab tersendiri atau tersebar dalam pasal-pasal
dalam bab-bab lain perlu dilakukan pertimbangan yang matang dalam memilih model pengaturannya yang paling tepat dan cocok dalam hukum pidana Indonesia.
21. Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak Pidana Terhadap Sarana Serta
Prasarana Penerbangan
Perumusan tindak pidana penerbangan dan tindak pidana terhadap sarana serta prasarana penerbangan pada prinsipnya tetap mempertahankan rumusan yang ada dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, Dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan.
Persoalan perumusan hukum pidana yang muncul kemudian, ketika tindak pidana di bidang penerbangan dan saranaprasarana penerbangan tersebut juga menjadi rumusan
tindak pidana teorisme sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dimuat
dalam Pasal 8, yaitu kapan dan dalam hal apa suatu tindak pidana penerbangan masuk sebagai tindak pidana penerbangan dan kapan dan dalam hal apa sebagai tindak pidana
terorisme? Kesulitan ini akan terjadi dalam praktek penegakan hukum, karena rumusan daam Pasal 8 huruf a sd huruf r adalah penggandaan dari Pasal 479a sd 479r KUHP.
Oleh sebab itu, pemabahasan mengenai duplikasi norma hukum pidana tersebut dapat diberi penjelasan yang tegas, agar tidak terjadi perbedaan interpretasi dalam praktek
penegakan hukum yang menyebabkan terjadinya perampasan hak seseorang yang menjadi tersangkaterdakwaterpidana karena alasan kekliruan dalam penerapan hukum.
22. Tindak Pidana Pemudahan, Penerbitan, Dan Pencetakan
Dalam bagian ini ada 3 tindak pidana yang menjadi permasalahan yaitu, tindak pidana pemudahan, penerbitan dan pencetakan. Dalam hal tindak pidana pemudahan,
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
162
perlunya dimasukan permasalahan ini ke dalam substaansi KUHP yang akan datang, di dasarkan atas seringnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat pembelian atau
penerimaan atau menjualmenukar barang-barang yang berasal dari hasil tindak pidana atau menarik keuntungan dari hasil suatu benda yang diketahui akan patut diduga
diperoleh dari tindak pidana.
Selain itu tindak pidana pemudahan ini juga berkaitan dengan kegiatan pemutihan uang money laundring. Perbuatan yang dilarang disini adalah melakukan transaksi
keuangan menyimpan, mentransper, menitipkan, menginvestasikan dsb, baik secara aktif maupun pasif menerima uang atau kertas bernilai uang yang diperoleh dari perdagangan
narkotika yang tidak sah, atau dari tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi.
Pengaturan tindak pidana pemudahan untuk menghalangi disembunyikannya hasil dari tindak pidana narkotika dan tindak pidana ekonomi dengan cara penyalurannya ke
dalam lalu lintas uang perdagangan yang sah, sehingga tidak dapat diketahui lagi sumber asalnya. Di samping itu perlu dilakukan pencegahan terhadap dijadikannya Indonesia
sebagai tempat-tempat pencucian uang hasil tindak pidana.
23. Ketentuan Penutup
Penyusunan KUHP tersebut harus dibarengi dengan masa adaptasi atau transisional waktu dan pengaturan penerapannya. Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menimbulkan gejolak dalam kehidupan masyarakat yang telah berpuluh-puluh tahun hidup bersama dengan KUHP peninggalan zaman Hindia Belanda, mengingat beberapa
substansi KUHP Baru memerlukan pemahaman dan pensosialisasian bagi masyarakat, terutama bagi para penegak hukum.
Waktu yang diperlukan untuk transisional adalah 2 dua tahun terhitung sejak Undang-Undang tentang KUHP diundangkan. Penentuan jangka waktu 2 dua tahun
dalam ketentuan ini dianggap cukup untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat dan untuk melakukan berbagai persiapan yang diperlukan dalam rangka
penerapan secara efektif segala ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Untuk menjamin pemanfaatan yang optimal atas
jangka waktu tersebut, maka pelaksanaan sosialisasi dan persiapan harus dilakukan secara efektif.
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
163
BAB IV KESIMPULAN DAN REOMENDASI
A. KESIMPULA
1. Setelah diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP yang dimuat
dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia telah mengalami serangkaian
perubahan, pencabutan dan amandemen yang kemudian dilengkapi dengan dibentuknya hukum pidana yang ditempatkan dalam undang-undang di luar KUHP
baik yang dikategorikan sebagai hukum pidana khusus maupun sebagai sanksi hukum pidana di bidang hukum administrasi yang semula dimaksudkan untuk
membentukan sistem hukum pidana nasional yang lengkap dan memenuhi kebutuhan hukum pidana dalam masyarakat, ternyata usaha pembentukan hukum pidana
nasional tersebut telah melahirkan keadaan hukum pidana yang tidak sistematik layaknya sebagai sebuah sistem hukum nasional. Pembentukan hukum pidana di luar
KUHP yang telah menyimpangi ketentuan umum hukum pidana Buku I KUHP tersebut dalam kenyataannya telah membentuk sistem hukum pidana tersendiri di
luar KUHP sebagai hukum pidana yang terkodifikasi yang mengakibatkan terjadi problem hukum pidana pada level normatif dan praktek penegakan hukum pidana.
Keadaan hukum pidana tersebut diperparah dengan dibentuknya lembagainstitusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan
hukum dan pembentukan pengadilan baru. 2.
Keberadaan hukum pidana yang berlaku sekarang, yakni terjadinya pengembangan hukum pidana di luar KUHP yang tidak konsisten dan sitematik tersebut sebagai
bentuk respon terhadap KUHP yang dinilai sudah tidak mamadahi lagi sebagai dasar umum hukum pidana dan norma hukum pidana, karena dalam banyak hal Ketentuan
Umum yang dimuat dalam Buku I KUHP dan norma umum hukum pidana yang mengatur Kejahatan Buku II KUHP dan Pelanggaran Buku III KUHP tidak sesuai
dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. 3.
Terbitnya undang-undang yang mengatur tentang hukum pidana di luar KUHP baik yang dikategorikan sebagai hukum pidana khusus maupun hukum pidana di bidang
hukum administrasi yang menyimpangi Ketentuan Umum Hukum Pidana yang dimuat dalam Buku I KUHP telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP
kepada sistem hukum pidana di luar KUHP sehingga terbentuk dua sistem hukum pidana dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia, padal hal idealnya dalam satu