Pertanggungjawaban Pidana BUKU KESATU: KETENTUAN UMUM

Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 113 c. Delik yang dipandang “sangat beratsangat serius”, yaitu delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tujuh tahun atau diancam dengan pidana lebih berat yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup. Untuk menunjukkan sifat berat, pidana penjara untuk delik dalam kelompok ini hanya diancam secara tunggal atau untuk delik-delik tertentu dapat dikumulasikan dengan pidana denda kategori V atau diberi ancaman minimal khusus. Patut dicatat, bahwa dalam hal-hal tertentu ada penyimpangan dari pola di atas, antara lain khusus untuk delik yang selama ini dikenal dengan “kejahatan ringan”, polanya adalah diancam dengan maksimum 6 enam bulan penjara dengan alternatif denda kategori II. Di samping tetap ada penggolongan kriminalisasi delik berdasarkan klasifikasi bobot seperti dikemukakan di atas, juga dalam hal-hal tertentu tetap mempertahankan karakteristik akibat hukum dari delik yang digolongkan sangat ringan. Misalnya dalam RUU KUHP dinyatakan: “Percobaan atau pembentukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori I, tidak dipidana” Adapun ketentuan umum tentang bentuk-bentuk tindak pidana adalah sbb: a. Untuk percobaan tidak mampu tetap pidana, tetapi maksimum pidananya dikurangi setengah; b. Untuk percobaan tidak selesai karena ruckrit pengunduran diri secara sukarela, tidak di pidana; c. Untuk percobaan tidak selesai karena Tatiger Reue: - Tidak di pidanam apabila pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya; - Tetap di pidana, apabila telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Berkaitan dengan Pertanggungjawaban yang ketat, dan “pertanggungjawaban pengganti” vicarisous; liability sebagaimana terdapat dalam Pasal 36 dan pasal 37 RUU KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Sebagai perkecualian dari Pasal 35, undang-undang dapat menentukan bahwa untuk tindak pidana tertentu pembuat dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana, tanpa memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut. Pasal 36 Dalam hal-hal tertentu, orang yang bertanggungjawab atas perbuatan yang lain jika ditentukan demikian oleh peraturan perundang-undangan. Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 114 Kedua Pasal tersebut yaitu tentang “pertanggungjawaban yang ketat” strict liability dan pertanggungjawaban pengganti vicarisous liability yang pada prinsipnya bertolak dari “pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan” liability based on fault. Rumusan selanjutnya dapat dilihat dalam Pasal 40 RUU KUHP terlihat yang berbunyi sbb: Pasal 40 1 Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan tindak pidana dengan sengaja atau dengan kealpaan. 2 Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menetapkan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana. 3 Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh UU diperberat ancaman pidananya, apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau sekurang- kurangnya ada kealpaan. Berdasarkan bunyi Pasal 40 tersebut, terlihat bahwa alasan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dolus. Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian eksepsional apabila ditentukan secara tegas oleh UU. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh UU diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Jadi rancangan tidak menganut doktrin “menanggung akibat” doktrin “erfolgshaftung” secara murni, tetapi tetap diorientasikan pada asas kesalahan. Dalam hal ada “kesalahan” error, baik kesalahan mengenai fakat “error facti” maupun kesalahan mengenai hukumnya “error iuris” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 41, bahwa pada prinsipnya si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu tidak dipidana. Namun demikian, apabila kesesatannya itu keyakinannya yang keliru itu patut dicelakandipersalahkan kepadanya, namun si pembuat tetap dapat dipidana. Demikian pula halnya dengan rumusan Pasal 52 2 yang berbunyi sebagai berikut: Jika hakim memandang perlu, sehubungan dengan ringannya perbuatan, keadaan pribadi dari pembuat atau keadaan pada waktu dilakukannya perbuatan atau yang terjadi kemudian, hakim dapat memberi maaf atau pengampunan kepada si pembuat dengan tidak menjatuhkan pidana atau tindakan apapun, dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Pedoman mengenai “Rechterlijkpardon” ini yang dituangkan dalam Pasal 52 2 RUU di atas, sebagai bagian dari “pedoman pemidaanaan”. Walaupun pada prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak pidana dan kesalahannya, namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu rumusan Pasal yang terdapat dalam RUU KUHP tersebut memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 115 maaf atau pengampunan kepada si pembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun. Selanjutnya mengenai pedoman mengenai alasan penghapus pidana, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 35 RUU KUHP, pada prinsipnya seseorang dapat tidak dipertanggungjawabkan atau tidak dipidana karena adanya alasan penghapus pidana, namun rumusan Pasal tersebut memberi kewenangankemungkinan kepada hakim untuk tidak memberlakukan alasan penghapus pidana tertentu berdasarkan asas “culpa in causa ”, yaitu apabila terdakwa sendiri patut diceladipersalahkan menyebabkan terjadinya keadaan atau situasi darurat yang sebenarnya dapat menjadi dasar adanya alasan penghapus pidana tersebut.

4. Pemidanaan dan Pidana