Pilar Kedua: Pertanggungjawaban Pidana

Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 36 bawah 1 satu tahun atau denda ringan atau delik-delik baru yang menurut penilaian bobotnya di bawah 1 satu tahun penjara. 2 Delik yang dipandang “berat”, yaitu delik-delik yang pada dasarnya patut diancam dengan pidana penjara di atas 1 satu tahun sd 7 tujuh tahun. Delik yang dikelompokkan disini akan selalu dialternatifkan dengan pidana denda lebih berat dari kelompok pertama, yaitu denda ketegori III atau IV. Delik dalam kelompok ini ada juga yang ancaman minimal khusus. 3 Delik yang dipandang “sangat beratsangat serius”, yaitu delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tujuh tahun atau diancam dengan pidana lebih berat yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup. Untuk menunjukkan sifat berat, pidana penjara untuk delik dalam kelompok ini hanya diancam secara tunggal atau untuk delik-delik tertentu dapat dikumulasikan dengan pidana denda kategori V atau diberi ancaman minimal khusus. Patut dicatat, bahwa dalam hal-hal tertentu ada penyimpangan dari pola di atas, antara lain khusus untuk delik yang selama ini dikenal de ngan “kejahatan ringan”, polanya adalah diancam dengan maksimum 6 enam bulan penjara dengan alternatif denda kategori II. Di samping tetap ada penggolongan kriminalisasi delik berdasarkan klasifikasi bobot seperti dikemukakan di atas, juga dalam hal-hal tertentu tetap mempertahankan karakteristik akibat hukum dari delik yang digolongkan sangat ringan. Misalnya dalam rancangan dinyatakan: “Percobaan atau pembentukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori I, tidak dipidana”

2. Pilar Kedua: Pertanggungjawaban Pidana

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, dalam RUU KUHP bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mono-dualistik, bahwa asas kesalahan asas culpabilitas merupakan pasangan dari asas legalitas yang harus dirumuskan secara eksplisit oleh UU. S ecara eksplisit “asas tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld, yang di dalam KUHP tidak ada. Dengan adanya asas ini, maka seseorang tidak boleh dipidana, kecuali apabila ia terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana, baik secara melakukan perbuatan aktif maupun tidak melakukan pasif yang diancam dengan pidana dalam Undang-Undang. Seseorang dikatakan bersalah melakukan perbuatan pidana, jika ia melakukannya dengan sengaja dolus atau karena alpa culpa dengan segala jenisnya. Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian eksepsional apabila ditentukan secara tegas oleh UU sedang pertanggungjawaban terhadap akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh UU diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya-tidak dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Pertanggungjawaban Pidana yang dirumuskan dalam RUU KUHP tersebut, merupakan substansi yang sangat penting beriringan dengan masalah “Pengaturan Tindak Pidana”. Pertanggungjawaban Pidana adalah implementasi ide keseimbangan, antara lain Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 37 sebagai berikut: Adanya asas “tiada pidana tanpa kesalahan” asas culpabilitasasas “geen straf zonder schuld” yang merupakan asas kemanusiaan, dirumuskan secara eksplisit di dalam RUU KUHP sebagai pasangan dari asas legalitas Principle of Legality yang merupakan asas kemasyarakatan. Kedua syarat atau asas itu tidak memandang sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Dalam hal-hal tertentu dapat memberi kemungkinan untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim” “rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”. Adanya asas “judicial pardon” dilatarbelakangi oleh ide atau pokok pemikiran : a. menghindari kekakuanabsolutisme pemidanaan; b. menyediakan “klepkatup pengaman” “veiligheidsklep”; c. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas “judicial corrective to the legality principle”; d. pengimplementasianpengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila; e. pengimplementasianpengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan karena dalam memberikan permaafanpengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan; f. jadi syarat atau justifikasi pemid anaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” asas legalitas dan “kesalahan” asas culpabilitas, tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”. Kewenangan hakim untuk memberi maaf “rechterlijk pardon” dengan tidak menjatuhkan sanksi pidanatindakan apa pun, diimbangi pula dengan adanya asas “culpa in causa ” atau asas “actio libera in causa” yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan tidak memidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan penghapus pidana. Dalam kerangka pertanggungjawaban pidana ini di samping pertanggungjawaban pidana dari manusia alamiah natural person, secara umum diatur pula pertanggungjawaban pidana korporasi corporate criminal responsibility atas dasar Teori Identifikasi, mengingat semakin meningkatnya peranan korporasi dalam tindak pidana baik dalam bentuk “crime by corporation” maupun dalam bentuk “corporate criminal”, yang menguntungkan korporasi . Jadi rumusan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana yang terdapat dalam RUU KUHP tersebut, merupakan pertanggungjawaban pidana yang berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dolus. Dapat dipidanaanya delik culpa hanya berssifat pengecualian eksepsional apabila ditentukan secara tegas oleh Undang-Undang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh Undang-Undang diperberat Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 38 ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu, apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Jadi tidak menganut doktrin menanggung akibat secara murni, namun tetap diorientasikan pada asas kesalahan.

3. Pilar Ketiga: Pidana dan Pemidanaan