Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
34
dengan kesalahan seseorang, sedang perbuatannya tetap merupakan tindak pidana. Adapun alasan-alasan pemaaf ialah:
112
a. tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana karena penyakitgangguan jiwa.
b. tidak mengetahui adanya keadaan yang merupakan unsur tindak pidana.
c. daya paksa
d. pembelaan terpaksa melampaui batas.
e. perintah jabatan yang tidak sah, yang dikira sah oleh pelaku berdasarkan itikat baik.
Selain adanya alasan pemaaf sebagai dasar hukum ditiadakannya pidana maka ada alasan pembenar, yaitu alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum dari
perbuatan yang merupakan tindak pidana. Dengan adanya alasan pembenar maka perbuatan tersebut pada kenyataannya merupakan tindak pidana, dan alasan-alasan
tersebut adalah: a.
Adanya peraturan perundang-undangna. b.
Pelaksanaan perintah jabatanyang sah. c.
Keadaan darurat. d.
Pembelaan terpaksa. Di samping itu, perlu juga diatur , yaitu mengenai asas memberlakukannya
ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia bagi setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing berdasar suatu perjanjian
yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana. Asas ini sesuai dengan perkembangan dunia modern, yaitu diadakannya perjanjian antar negara yang
memungkinkan negara-negara anggotapeserta untuk mengadili warganegara masing- masing dalam hal tertentu. Untuk memberikan akomodasi bagi kemungkinan tersebut,
maka pengaturan asas tersebut perlu diadakan dalam KUHP kita yang akan datang.
Akhirnya dianut pula dalam asas berlakunya hukum pidana Indonesia ini adanya pembatasan-pembatasan oleh hukum internasional yang kita akui. Hal ini akibat
keberadaannya dan kedudukan Republik Indonesia sebagai anggota masyarakat dunia internasional.
Selanjutnya berkaitan dengan pengertian dan sifat hakiki, serta kualifikasi dan klasifikasi tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Pengertian dan sifat hakiki tindak pidana
Pengertian dan sifat tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materiil. Untuk lebih jelas, berikut ini
dikutipkan beberapa ketentuan di dalam RUU KUHP revisi Februari 2008 dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Dengan menegaskan bahwa setiap tindak pidana dianggap selalu bertentangan dengan hukum. RUU KUHP berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur
112
Budiarti, Ibid, hal. 12
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
35
mutlak dari tindak pidana. Artinya walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum, namun delik itu harus selalu dianggap
bersifat melawan hukum. Jadi rumusan ukuran obyek untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Ukuran formalobyektif itu masih harus diuji secara materiil pada
diri si pelaku, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul- betul bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat.
Dengan ketentuan demikian, terlihat disini adanya asas keseimbangan antara patokan formal kepastian hukum dan patokan materiil nilai keadilan. Namun demikian,
menyadari bahwa dalam kejadian-kejadian konkrit kedua nilai itu kepastisan hukum dan keadilan mungkin saling mendesak, maka dalam perumusan pasal nanti harus
ditegaskan, bahwa hakim harus sejauh mungkin mengutamakan nilai keadilan daripada nilai kepastian hukum.
b. Kualifikasi dan Klasifikasi Tindak Pidana
RUU KUHP tidak lagi membedakan kualifikasi tindak pidana berupa “kejahatan dan pelanggaran”, Kebijakan ini didasarkan pada resolusi Seminar Hukum Nasional 1 tahun
1963 dan hasil Lokakarya Bukur II KUHP tahun 1985.
Di dalam resolusi butir VI bidang hukum pidana diserukan agar di dalam bagian khusus KUHP tidak lagi diadakan penggolongan dalam dua macam delik kejahatan dan
pelanggaran. Resolusi ini dipertahankan pada Lokakarya Buku II tahun 1985 dengan mengemukakan alasan yang pada intinya sebagai berikut:
1 Tidak dapat dipertahankannya lagi kriteria pembedaan kualitatif antara
“rechtsdelict” dan wetdelict” yang melatarbelakangi penggolongan dua jenis tindak pidana itu;
2 Penggolongan dua jenis tindak pidana itu pada zaman Hindia Belanda memang
relevan dengan kopetensi pengadilan waktu itu “pelanggaran” pada dasarnya diperiksa oleh Landgerecht Pengadilan Kepolisian dengan hukum acaranya
sendiri, dan “kejahatan” diperiksa oleh Landraad Pengadilan negeri atau Raad van Justitie Pengadilan Tinggi dengan hukum acaranya sendiri pula.
Pembagian kompetensi seperti itu tidak dikenal lagi saat ini.
3
Pandangan mutakhir mengenai “afkoop” seperti pada Pasal KUHPWvS
sebagai alasan penghapus penuntutan tidak hanya berlaku terbatas untuk “pelanggaran” saja, tetapi dapat berlaku untuk semua tindak pidana walaupun
dengan pembatasan ancaman maksimum pidananya.
Walaupun Rancangan tindak pidana tidak lagi mengenai pembagian kejahatan dan pelanggaran sebagai suatu “kualifikasi delik”, namun di dalam pola kerjanya, masih
mengadakan pengklasifikasian bobot delik sebagai berikut: 1
Delik yang dipandang “sangat ringan” yaitu yang hanya diancam dengan pidana
denda ringan kategori 1 atau II secara tunggal. Delik-delik yang dikelompokkan disini ialah delik-delik yang dulunya diancam dengan pidana penjarakurungan di
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
36
bawah 1 satu tahun atau denda ringan atau delik-delik baru yang menurut penilaian bobotnya di bawah 1 satu tahun penjara.
2
Delik yang dipandang “berat”, yaitu delik-delik yang pada dasarnya patut
diancam dengan pidana penjara di atas 1 satu tahun sd 7 tujuh tahun. Delik yang dikelompokkan disini akan selalu dialternatifkan dengan pidana denda lebih
berat dari kelompok pertama, yaitu denda ketegori III atau IV. Delik dalam kelompok ini ada juga yang ancaman minimal khusus.
3
Delik yang dipandang “sangat beratsangat serius”, yaitu delik yang diancam
dengan pidana penjara di atas 7 tujuh tahun atau diancam dengan pidana lebih berat yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup. Untuk menunjukkan sifat
berat, pidana penjara untuk delik dalam kelompok ini hanya diancam secara tunggal atau untuk delik-delik tertentu dapat dikumulasikan dengan pidana denda
kategori V atau diberi ancaman minimal khusus.
Patut dicatat, bahwa dalam hal-hal tertentu ada penyimpangan dari pola di atas, antara lain khusus untuk delik yang selama ini dikenal de
ngan “kejahatan ringan”, polanya
adalah diancam dengan maksimum 6 enam bulan penjara dengan alternatif denda kategori II.
Di samping tetap ada penggolongan kriminalisasi delik berdasarkan klasifikasi bobot seperti dikemukakan di atas, juga dalam hal-hal tertentu tetap mempertahankan
karakteristik akibat hukum dari delik yang digolongkan sangat ringan. Misalnya dalam rancangan
dinyatakan: “Percobaan atau pembentukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori I, tidak dipidana”
2. Pilar Kedua: Pertanggungjawaban Pidana