Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
73
1 denda tidak boleh lebih berat daripada yang diperlukan untuk mendukung tujuan-
tujuan sanksi tersebut. Hal ini antara lain dijadikan dasar untuk menolak berlakunya “day-fine system” yang berasal dari negara-negara Skandinavia:
2 dimungkinkannya sistem cicilan untuk membayar denda;
3 kemungkinan untuk memperoleh jumlah denda tersebut dari rekening bank
terpidana; 4
apabila terpaksa dipilih pidana perampasan kemerdekaan pengadilan harus menjelaskan alasan-
alasan khusus mengapa tidak dijatuhkan “non-custodial sentence
”.
160
e. Pidana Mati : Alasan dan kriteria
Penempatan pidana mati di dalam ayat tersendiri terlepas dari paket pidana pokok sangat tepat, karena merupakan kompromi sebagai jalan keluar antara kaum “retentionist”.
Hal ini mengandung arti bahwa pidana mati merupakan pidana perkecualian. Hakim harus memberikan pertimbangan yang sungguh-sungguh dan hati-hati sebelum menjatuhkan
pidana mati.
Perdebatan tentang pidana mati tetap menjadi “live issue” di mana-mana dan biasanya selalu berkisar pada alasan-alasan atas dasar ukuran-ukuran : perlindungan
masyarakat dan sistem penyelenggaraan hukum pidana, pencegahan kejahatan, sifat dikriminatif dan kejam pidana mati, biaya yang lebih murah, sifat retributif, oponi
masyarakat yang pro dan kontra pidana mati dan sifat tidak dapat diubah pidana mati.
Dalam hal ini sangat menarik untuk disoroti apa yang terjdi di dalam The Sixth United Nations Congress on the Preventionof crime one the Treatment of Offenders, 1980
di Caracas. Berbagai delegasi melaporkan apa yang terjadi di negerinya baik dari perspektif yuridis maupun praktis. Ada yang menghapuskan pidana mati tetapi tidak
sedikit pula yang ingin mempertahankan pidana mati. Banyak pula negara yang menyatakan akan mempertahankan pidana mati untuk sementara dengan catatan akan
menghapuskan pada akhirnya. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 74 negara diperoleh data, bahwa sekalipun sebagian besar tetap mempertahankan pidana mati,
tetapi berbagai macam alat hukum diatur untuk lebih memanusiawikan pidana mati, alat hukum tersebut mencakup penundaan pidana mati perubahan atau penyampaian pidana
mati, misalnya atas dasar kondisi mental dan phisik terpidana. Hampir semua negara mempertahankan pidana mati memiliki persyaratan-persyaratan yuridis, yang mengatur
hak-hak dari terpidana untuk minta peninjauan kembali, ampun, perubahan pidana dan penangguhan pidana mati. Hal ini kemudian memperoleh penguatan yakni dengan
keluarnya Resolusi Sidang Umum PBB No. 35172.
161
Melihat perumusan pengaturan pidana mati di dalam RUU KUHP tampak, bahwa alasan yang digunakan perancang untuk mempertahankan pidana mati adalah tujuan
pemidanaan demi pengayoman masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung R.I. bekerjasama dengan Fakultas HUKUM UNDIP 19811982
160
Hulsman, op, cit. hal. 324-325.
161
United Nations, Newsletter, No. 5, op, cit. hal. 19
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
74
penekanan terhadap tujuan pengayoman masyarakat ini memang didukung oleh data. Hal ini tersirat dari tabel di bawah ini “
Tabel 3 Sikap Dan Tanggapan Terhadap Pidana Mati Dalam Undang-Undang
Jawaban PH
WM AP
Napi Total
n a. Setuju
b. Tidak setuju c. Lain-lain
27 2
1 88
20 2
10 -
- -
3 -
125 25
3 81,70
16,34 1,96
Jumlah 30
110 10
3 153
100 Catatan : PH. = Penegak Hukum
WM = Warga Masyarakat AP = Aparatur Pemerintah
D. REKONSTRUKSI, REFORMULASI DAN KONSOLIDASI
1. Pengertian dan ruang lingkup rekonstruksi sistem hukum pidana
Restrukturisasi mengandung arti ”penataan kembali”. Dalam, kaitannya dengan menata ulang bangunan sistem hukum pidana Indonesia, maka istilah restrukturisasi
sangat dekat dengan makna ”rekonstruksi”, yaitu ”membangun kembali” sistem hukum pidana nasional. Jadi kedua istilah itu sangat berkaitan erat denga
n masalah ”law reform” dan ”law development”, khususnya berkaitan dengan ”pembaharuanpembangunan sistem
hukum pidana” ”penal system reformdevelopment” atau sering disebut secara singkat dengan istilah
”penal reform”. Dilihat dari sudut sistem hukum ”legal system” yang terdiri dari ”legal substance”,
”legal structure” dan ”legal culture”, maka pembaharuan sistem hukum pidana penal system reform dapat melipui ruang lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup :
a. Pembaharuan ”substansi hukum pidana”, yang meliputi pembaharuan hukum
pidana material KUHP dan UU di luar KUHP, hukum pidana formal KUHAP, dan hukum pelaksanaan pidana:
b. Pembaharuan ”struktur hukum pidana”, yang meliputi antara lain pembaharuan,
atau penataan institusilembaga, sistem manajementata laksana dan mekanismenya serta saranaprasarana pendukung dari sistem penegakan
hukum pidana sistem per-adilan pidana:dan
c. Pembaharuan ”budaya hukum pidana”, yang meliputi antara lain masalah
kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana. Pengertian ”sistem hukum pidana” dapat juga dilihat dari sudut sistem penegakan
hukum pidana atau sistem pemidanaan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Dari sudut fungsional dari sudut bekerjanyaberfungsinyaberprosesnya, sistem hukum pidana dapat diartikan sebagai :
- Keseluruhan sistem aturan perundang-undangan untuk fungsionalisasi
operasionalisasikonkretisasi hukum pidana;