Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
49
subseqount to the commission of the offence, prosecution is deemed unnecessry, prosecution need not be instituted”.
130
Selanjutnya dalam menentukan jumlah atau lamanya ancaman pidana akan tetap dianut sistem maksimum atau sistem indefinite selama ini. Dengan demikian, di samping
adanya minimum umum akan tetap dipertahankan adanya maksimum khusus untuk tiap tindak pidana. Yang agak berbeda denga sistem selama ini ialah dimungkinkan adanya
“minimum khusus” untuk tindak pidana tertentu.
Mengenai masalah maksimum khusus dan minimum khusus untuk pidana penjara dan pidana denda diuraikan sebagai berikut:
a. Masalah Maksimum Khusus
Berdasarkan rambu-rambu yang terdapat dalam pasal 65 RUU Buku I, maka maksimum pidana penjara yang dapat diancamkan untuk delik-delik di dalam Buku II ialah
penjara seumur hidup atau pidana dalam waktu tertentu paling lama 15 tahun. Batas maksimum 15 tahun ini dapat dilampaui sampai maksimum 20 tahun, tetapi hanya sebagai
pemberatan untuk delik-delik tertentu. Artinya tidak dimungkinkan suatu delik semata-mata diancam dengan maksimum 20 tahun, kecuali sebagai alternatif dari delik yang diancam
dengan pidana mati atau seumur hidup, atau sebagai pemberatan untuk delik pokok yang diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun
131
. Dari rambu-rambu tersebut terlihat suatu prinsip bahwa batas maksimum khusus
tertinggi untuk pidana penjara dalam waktu tertentu ialah 15 tahun. tetapi tidak menentukan secara pasti batas maksimum khusus yang paling rendah untuk tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara. Namun ada petunjuk berdasar pasal 78 2 RUU, bahwa ada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 3 tiga
bulan. Dari hasil tim Pengkajian terdapat kesepakatan untuk menetapkan maksimum khusus yang paling rendah adalah 1 satu tahun. Untuk delik-delik yang bobotnya dinilai
kurang dari satu tahun penjara, hanya akan diancam dengan pidana denda.
Masalah berikutnya ialah menentukan maksimum khusus untuk tiap tindak pidana yang berkisar antara 1 satu tahun sampai maksimum 15 tahun atau seumur hidup20
tahun. Untuk menentukan maksimum khusus tiap tindak pidana jelas merupakan masalah yang cukup sulit, terlebih menurut Lokakarya terakhir 1986 harus terlebih dahulu
melakukan review dan rekonstruksi terhadap keseluruhan system maksimum khusus yang ada dalam perundang-undangan pidana selama ini.
Terlebih lagi apabila penentuan maksimum khusus dikaitkan pula dengan aspek materiil atau aspek simbolik, yaitu untuk menunjukkan tingkat keseriusan bobotkualitas
suautu tindak pidana. Ini berarti, penentuan maksimum pidana memberikan batas atau ukuran objektif mengenai kualitas perbuatan yang “tidak disukai” atau yang dipandang
130
Hiroshi Ishikawa, Characteristic Aspects of Japanse Criminal Justice System, A successful Example of Integrated Approach, Jakarta, 1984, hal. 11
– 12.
131
Makalah Prof. Barda Nawawi, tentang Sistem Pemidanaan Dalam Rancangan KUHP Baru Tinjauan Khusus dalam rangka penyusunan Buku II Rncangan, Semarang, Januari 1988. h. 2-3.
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
50
“merugikan atau membahayakan” masyarakat. Disamping itu penentuan maksimum pidana mengandung pula aspek moral, a.l. untuk memberikan batas objektif kapan
sipelaku dapat ditahan kapan terjadi daluwarsa penuntutan dan daluwarsa pelaksanaan pidana. Di lain pihak berarti, penentuan maksimum pidana bermaksud mengalokasikan
batas-batas kekuasaan bagi aparat penegak hukum.
Di dalam RUU Buku I terlihat adanya rambu-rambu mengenai batas atau ukuran objektif untuk menentukan berat rigannya suatu tindak pidana, baik dilihat dari aspek
materiil maupun aspek formal. Berdasarkan ketentuan pasal 74, pasal 78 3 dan pasal 84 1, terlihat adanya petunjuk bahwa ancaman pidana penjara 7 tahun ke atas merupakan
batas objektif untuk menyatakan suatu tindak pidana sebagai tindak pidana berat. Namun dari pasal 149 RUU tentang daluwarssa penuntutan, terlihat ukuran 3 tahun ke atas
sebagai batasan tindak pidana berat.
Mengenai hal ini, berdasarkan hasil Lokakarya 1986 dan rapat –rapat Tim
Pengkajian, diambil patokan 7 tahun ke atas sebagai batas objektif untuk menyatakan suatu tindak pidana sebagai tindak pidana berat dalam rapat kerja Tim digunakan istilah
“sangat serius”. Tindak pidana yang dipandang sangat serius ini tidak akan dialternatifkan dengan pidana denda. Walaupun demikian tidak berarti sama sekali tidak dapat dikenakan
pidana denda.
Sebagai patokan sementara yang digunakan oleh Tim pengkajian sebagai pedoman penggolongan tindak pidana, adalah sebagai berikut :
1 apabila suatu tindak pidana yang menurut penilaian dianggap tidak perlu diancam
dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana “sangat ringan”. Golongan ini hanya diancam
dengan pidana denda menurut kategori ke-1 maksimum Rp.150.000,- sampai kategori ke-2 maksimum Rp. 500.000,-.
2 apabila suatu tindak pidana yang semula atau selama ini diancam dengan pidana
penjara atau kurungan kurang dari 1 tahun, tetap dinilai patut untuk diancam dengan pidana penjara, maka akan diancam dengan maksimum pidana penjara paling rendah
yaitu 1 tahun.
3 semua tindak pidana yang menurut penilaian patut diancam dengan pidana penjara
maksimum 1 tahun sampai dengan 7 tahun, selalu akan dialternatifkan dengan pidana denda, dengan penggolongan sebagai berikut :
- untuk golongan “ringan” maksimum penjara 1 sampai 2 tahun, diancam dengan
maksimum denda kategori ke-3 maksimum Rp.3.000.000,-; -
untuk golongan “sedang” maksimum penjara 4 sampai dengan 7 tahun diancam dengan maksimum denda kategori ke-4 maksimum Rp.7.500.000 dan
4 semua tindak pidana yang tergolong “sangat serius” di atas 7 tahun penjara tidak
dialternatifkan dengan pidana denda, kecuali apabila dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan maksimum denda menurut kategori ke-5 maksimum Rp.30.000.000,-
untuk delik yang diancam pidana penjara 7 tahun keatas sampai denngan 15 tahun,
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
51
dan menurut kategori ke-6 maksimum Rp.300.000.000,- untuk yang diancam pidana penjara 20 tahun atau seumur hidup.
Patokan kerja sementara di atas masih dirasakan kurang memuaskan, karena sebenarnya hanya digunakan untuk mempermudah delik mana yang diancam dengan
pidana denda dan termasuk kategori denda yang mana. Jadi belum memberikan pedoman atau kriteria materiil untuk menetapkan suautu tindak pidana termasuk golongan “sangat
ringan”, “ringan”, “sedang”, “berat” atau “sangat serius”. Berdasarkan patokan kerja di atas, penggolongan tindak pidana baru didasarkan pada jenis dan jumlah pidana yang
diancamkan. Kriteria jumlah atau lamanya ancaman pidana inipun baru didasarkan pada kriteria maksimum khusus, yang mungkin masih dapat dipermasalahkan apabila
digunakan k
riteria “minimum khusus” yang memang dimungkinkan dalam Undang- Undang di tuangkan.
b. Masalah Minimum Khusus