Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
56
b. Pemberatan Pidana
Dalam aturan umum disebutkan alasan-alasan pemberatan pidana. Di antaranya ada hal-hal yang selama ini, dalam sistem KUHP, merupakan alasan-alasan yang bersifat
khusus dan oleh karenanya tercantum di dalam perumusan delik-delik tertentu. Misalnya alasan
–alasan yang bersifat khusus dan oleh karenanya tercantum didalam perumusan delik-
delik tertentu. Misalnya alasan berupa adanya unsur “keberatan dan kekuatan bersama” dan alasan pemberatan umum, maka tidak perlu lagi disebutkan secara khusus
di dalam Buku II, kecuali dipandang perlunya adanya penyimpangan terhadap “pemberatan pidana” menurut rumusan pasal 132 dan 133 Rancangan yaitu maksimum
pidananya ditambah sepertiga.
Selanjutnya bagaimana apabila seorang anak berusia diantara 12-18 tahun melakukan pengulangan tindak pidana ? Rumusan pertimbangan peringanan pidana RUU
KUHP, maksimum pidananya dikurangi sepertiga karena ada hal yang meringankan factor usia . Tetapi menurut pertimbangan pemberatan, maksimumnya diperberat sepertiga
karena ada hal yang memeperberat fak
tor “pengulangan. Demikian pula misalnya seorang dokter yang membantu melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan
profesinyaa misalnya abortus provocatus. Di sini juga ada factor yang meringankan yaitu “membantu” dan sekaligus faktor yang memberatkan yang berbarengan dalam satu
kasus konkrit selalu mungkin terjadi. Apakah dalam hal demikian, “pengurangan sepertiga” harus diartikan “pengurangan sepertiga dari maksimum delik pokok yang telah lebih
dahulu diperberat atau ditambah sepertiga” ? Mengenai hal ini harus ada jalan keluarnya. Sekadar perbandingan misalnya, di
dalam KUHP Muang Thai ada pasal khusus yang mengatur masalah ini, yaitu pasal 54 yang antara lain berbunyi:
136
“In caloulating the increase or reduction of the punishment tobe inflicted, the Court shall determine the punishment to be inflicted upon the accused first and then the
punishment shall be increased or redused. If there are both increase and reduction of the punishment to be inflicted, the punishment shall be increased first and then
reduced from the result of the addition. If the proportion of the increase is equal to or more than that of the reduction, the Court may, if it thinks it, not increase or not
reduce the punishment”.
Dari Pasal di atas dapat disimpulkan, bahwa jika ada pemberatan dan pengurangan pidana bersama-sama, maka pidana diperberat lebih dahulu dan baru kemudian dikurangi
dari hasil pemberatanpenambahan baru. Seberapa jauh jalan keluar demikian dapat diterima, masih diperlukan pengkajian yang lebih mendalam khususnya untuk contoh
kasus pertama yang dikemukakan di atas yaitu anak di bawah umur 18 tahun yang melakukan pengulangan, sebaiknya ditegaskan bahwa pemberatan pidana karena
pengurangan tidak berlaku untuk anak di bawah 18 tahun. Khusus mengenai
136
Ibid Prof. Barda Nawawi
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
57
“pengulangan”, persyaratan dapat dipidananya tercantum dalam rumusan Pasal RUU KUHP.
Telah disinggung di muka, bahwa perumusan ancaman pidana yang akan digunakan di dalam RUU Buku II ialah sistem perumusan alternatif. Berdasarkan rambu-
rambu yang terdapat dari hasil Lokakarya Februari 1986, pola perumusan pidana yang akan digunakan dalam RUU Buku II adalah sebagai berikut :
1 Jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik terutama hanya pidana
penjara dan pidana denda. Pidana mati hanya diancaamkan untuk delik-delik tertentu dan selalu dialternatifkan dengaan pidana penjara seumur hidup. Untuk delik-delik
tertentu, pidana tambahan yang dapat berdiri sendiri secara murni atau bersifat imperative akan dicantumkaan secara tegas.
2 Jumlah atau lamanya pidana yang akan dicantumkan, terutama jumlaah maksimum
khusus hanya dicantumkan untuk delik-delik tertentu. 3
Maksimum khusus pidana penjara yang akan dicantumkan ialah : -
maksimum paling rendah 1 satu tahun daan paling tinggi 15 tahun atau seumur hidup;
- maksimum 20 tahun tidak digunakan sebagai ancaman maksimum untuk delik
pokok yang berdirisendiri, kecuali digunakan sebagai pemberatan untuk delik pokok yang bersangkutan;
- dalam hal-hal tertentu, maksimum 20 tahun dapat diancamkan untuk delik pokok
yang berdiri sendiri tetapi selalu dirumuskan sebagai alternative dari pidana penjara seumur hidup.
4 Maksimum khusus pidana denda yang diancamkan adalah maksimum kategori
denda; 5
Ancaman pidana penjara dan denda akan dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif, denda ketentuan :
- untuk tindak pidana yang bobotnya dinilai kurang dari 1 satu tahun penjara,
hanya akan diancam dengan pidana denda secara tunggal; -
untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 sd 7 tahun, akan selalu dialternatifkan dengan pidana denda;
- untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 7 tahun,
diancam secara tunggal. 6
Ancaman pidana maksimum untuk delik culpa, delik-delik penyiaran dan delik-delik pemupakatan jahat, sejauh mungkin akan digunakan pola maksimum yang seragam.
Untuk menerapkaan ancaman pidana yang dirumuskaan secara tunggal dan alternatif, maka sesuai dengan kesimpulan Lokakarya 1986 telah disususn pedoman
menerapkan perumusan tunggal, dan pedoman menerapkan perumusan tunggal, dan pedoman menerapkan perumusan alternatif. Mengenai pedoman-pedoman tersebut
beserta latar belakang pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
58
1 Pedoman penerapan pidana penjara tunggal: a
Sistem perumusan tunggal merupakan peninggalan atau pengaruhyang sangat menyolok dari aliran klasik yang ingin mengobjektifkan hukum pidana dan oleh
karena itu sangat membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana. Kelemahan utama dari sistem ini adalah sifatnya yang sangat kaku, karena tidak
memberi kelonggaran kepada hakim untuk memilih dan menentukan jenis pidana. Dengan hanya menetapkan pidana penjara sebagai satu-satunya pilihan,
hakim dihadapkan pada suatu sistem yang sangat mekanis. Ia seolah-olah dihadapkan pada suatu sistem yang mau tidak mau secara otomatis harus
memilih pidana penjara.
b Melihat ide dasar yang melatarbelakangi sistem perumusan tunggal di atas,
maka hal itu jelas tidak sesuai dengan ide dasar yang melatarbelakangi ditetapkannya pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Dengan demikian, dianutnya sistem perumusan tunggal yang sangat kaku dan absolute akan dirasakan adanya kontradiksi ide, karena konsepsi
pemasyarakatan bertolak dari ide rehabilitasi, resosialisasi dan individualisasi pidana.
c Untuk mengimbangi dan menghindari sifat kaku dan absolute dari sistem
perumusan tunggal, dipandang perlu diberikan suatu “pedoman” yang dapat dilihat sebagai “klep pengaman” veiligheidsklep. Berdasarkan studi banding
terhadap beberapa KUHP Negara lain yang juga merumuskan semacam pedoman untuk menghadapi perumusan pidana penjara secara tunggal, antara
lain KUHP Polandia, Muang Thai dan Norwegia, maka hal-hal yang perlu dirumuskan dalam “pedoman” itu ialah:
1 Kewenangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara yang
dirumuskan secara tunggal; 2
Keadaan-keadaan atau syarat-syarat untuk dapat menerapkan atau menggunakan kewenangannya itu; dan
3 Jenis-jenis alternative sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim sebagai
pengganti dari pidana penjara tersebut. Untuk jelasnya, contoh-contoh dari ketiga KUHP tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
KUHP Keadaan-KeadaanSyarat-Syarat Untuk
Tidak Menjatuhkan Pidana Penjara Bentuk Alternatif
Polandia Psl 54 jo 55
1 tindak pidana ybs, hanya diancam
dengan pidana penjara 2
minimal ancaman pidana penjara untuk tindak pidana ybs tidak lebih
dari 3 bulan; 3
pidana penjara
yang akan
dijatuhkan hakim, tidak lebih dari 6 bulan;
4 pidana
penjara yang
akan dijatuhkan, dipandang tidak akan
1. pembatasan kemerdekaan
limitation of liberty; 2.
denda fine 3.
pidana tambahan berupa: -
pencabutan kekuasaan orang tuawali;
- larangan mendudkui jabatan-
jabatan tertentu; -
larangan mengendarai kendaraan motor;
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
59
menunjang tercapainya tujuan; 5
sipelanggar belum pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak
pidana sengaja. -
perampasan barang-barang tertentu
Muang Thai Psl 23
1 terdakwa
melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara;
2 pidana
penjara yang
akan dijatuhkan, tidak lebih dari 3
bulan; 3
terdakwa tidak pernah dijatuhi pidana penjara, atau apabila
pernah tetapi untuk tindak pidana culpa atau ringan.
Norwegia Psl 24
1 terdakwa
melakukan tindak
pidana yang hanya diancam pidana penjara
2 tindak pidana yang dilakukan
terdakwa itu tidak berasal dari jiwaakhlak yang rusak.
Pidana “jail” yang dipersamakan dengan pidana penjara
d
R
umusan pasal tersebut syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk tidak menjatuhkan pidana penjara, ialah:
1 terdakwa melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana
penjara secara tunggal; 2
pengadilan berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan:
- tujuan pemidanaan - pedoman pemidanaan
- pedoman penjatuhan pidana penjara 3
terdakwa belum pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 16 tahun.
Mengenai butir 3 perlu diberikan catatan, bahwa batasan 16 tahun masih dihubungkan dengan pasal 45 KUHP WvS. Syarat pada butir 3 itu dimaksudkan
untuk membatasi kewenangan hakim mengenakan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara tunggal terhadap orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk
tindak pidana yang dilakukannya setelah berumur 16 tahun. Jadi apabila seorang anak dibawah 16 tahun pernah dijatuhi pidana penjara, kemudian melakukan lagi
tindak pidana yang diancam pidana penjara secara tunggal, maka hakim tetap berwenang untuk tidak menjatuhkan pidana penjara kepadanya.
Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, maka pengadilan dapat menjatuhkan pidana denda walaupun tindak pidana yang bersangkutan hanya diancam dengan
pidana penjara secara tunggal. Jadi system perumusan tunggal seolah-olah dapat menjadi system alternatif. sistem tunggal itu dapat menjadi sistem kumulatif untuk
delik tertentu, yaitu untuk tindak pidana korupsi.
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
60
Dimungkinkannya penjatuhan pidana secara kumulatif penjara dan denda untuk tindak pidana k
orupsi ini, dimaksudkan untuk menampung system “kumulatif- alternatif” danatau menurut UU Korupsi selama ini yang tidak lagi dianut dalam
KUHP. Hanya mungkin perlu dicatat, bahwa istilah “tindak pidana korupsi” dalam pasal 49 ayat 4 perlu lebih ditegaskan lagi dengan menyebutkan secara tegas delik-
delik mana yang di dalam Buku II dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.
e Dengan adanya rumusan, maka beberapa kemungkinan yang dapat diambil oleh
pengadilan dalam menghadapi suatu perumusan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara secara tunggal, ialah:
1 menjatuhkan pidana penjara saja.
2 menjatuhkan pidana tutupan
3 menjatuhkan pidana denda saja, atau
4 menjatuhkan pidana penjara dan denda secara kumulatif untuk delik-delik
tertentukorupsi 2
Pedoman Penerapan Pidana Denda Tunggal Mengenai masalah ini telah dirumuskan dalam RUU pasal 58 yang berbunyi:
“Dalam hal tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda, hakim dapat hanya menjatuhkan
pidana tambahan atau tindakan- tindakan tertentu”
Latar belakang pemikiran diadakannya rumusan pasal 50 ini, ialah: a
Dalam rancangan Buku II delik-delik yang hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal adalah delik-
delik yang pada umumnya dipandang “sangat ringan”;
b Karena tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda di pandang
sangat ringan, maka dipandang perlu memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan atau tindakan-tindakan tertentu saja,
khususnya yang juga bernilai uang seperti denda.
Namun untuk mencegah kemungkinan tidak efektifnya pidana denda bagi orang- orang tertentu missal yang telah berulang kali melakukan tindak pidana yang diancam
dengan denda saja atau yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda, maka dipandang perlu pula memberi kemungkinan kepada hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum 1
satu tahun atau pidana pengawasan ditambah pidana denda. Kemungkinan ini telah dirumuskan dalam ayat 2 yang berbunyi:
“Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda,
hakim dapat menjatuhkan pidana penjara paling lama satu atau menjatuhkan pidana pengawasan bersama-
sama dengan pidana denda”. Rumusan ayat 2 di atas dapat dikatakan sebagai bentuk pengaturan yang lebih khusus
dari ketentuan umum mengenai “pengulangan” yang diatur dalam Pasal 54 dan 113 RUU KUHP.
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
61
Dengan adanya pasal 50 di atas, maka beberapa kemungkinan yang dapat diambil oleh pengadilan dalam menjatuhkan pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana
yang hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal, ialah: a
menjatuhkan pidana tamabahan saja, atau b
menjatuhkan pidana tambahan saja, atau c
menjatuhkan pidana tertentu saja, atau d
untuk recidivis dapat menjatuhkan: -
pidana penjara maksimum 1 satu tahun, atau -
pidana pengawasan dan pidana denda. 3
Pedoman penerapan pidana alternatif Perumusan alternative antara lain mengandung arti, bahwa hakim diberi
kesempatan untuk memilih jenis pidana yang ditawarkandicantumkan dalam Pasal yang bersangkutan menurut RUU KUHP yaitu, pidana penjara atau pidana denda.
Walaupun ada sanksi yang dapat dipilih, namun adalah wajar apabila undang- undang mengingatkan hakim dalam bentuk “pedoman” agar dalam melakukan “pilihan”
itu:
- selalu berorientasi pada “tujuan pemidanaan”, dan
- lebih mengutamakanmendahulukan jenis pidana yang lebih ringan sekiranya pidana yang lebih ringan itu telah didukung atau telah memenuhi tujuan pemidanaan.
Selanjutnya dalam pasal 51 1 juga telah menjelaskan: “Dalam hal suatu tindak pidana
diancam dengan pidana penjara atau pidana denda, pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hakim berpendapat bahwa hal itu telah sesuai dan dapat
menunjang tercapainya tujuan pemidanaan”.
Dalam perumusan ayat 1 di atas, yang mengandung unsur imperatif, hendak dituangkan suatu prinsip bahwa penggunaan sanksi pidana hendaknya tetap
memperhatikan prinsip subsidiaritas. Dalam arti, jenis pidana yang lebih berat baru digunakan apabila jenis sanksi pidana lainnya yang lebih ringan dipandang kurang sesuai
atau tidak dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
Walaupun system alternatif pada dasarnya bersifat memilih salah satu, namun dalam mengembangkan pemikiran kedua-duanya dapat dipilih. Dasar pemikirannya
adalah, bahwa apabila misalnya pidana penjara 6 tahun ditawarkan secara alternative dengan pidana denda Rp 6 juta, maka dapat diartikan “bobot” kedua jenis pidana itu
dipandang sama. Artinya, pidana 6 tahun penjara seolah-olah identik dengan denda Rp 6 juta. Bertolak dari pemikiran demikian, maka bobot maksimum pidana 6 tahun penjara atau
Rp 6 juta itu dipandang senilai dengan jumlah kumulasi dari separuh maksimum pidana penjara 3 tahun dan separuh maksimum pidana denda Rp 3 juta. Jadi dalam
perumusan alternatif sebenarnya terkandung juga ancaman pidana secara kumulatif sebesar ½ maksimum penjara + maksimum denda.
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
62
Apabila garis pemikiran diatas dilanjutkan, maka dengan adanya pasal 74 dan 75 ayat 1 dan 2 RUU KUHP, pidana sebesar ½ maksimum penjara dapat diganti dengan
pidana pengawasanyang maksimumnya 3 tahun dan ½ maksimum denda Rp 3 juta bersama-sama. Dapat dijatuhkannya pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana
denda itu didasarkan pada pokok pemikiran, bahwa dengan pidana pengawasan saja seolah-olah ada kesan terdakwa tidak dipidana. Di samping itu, didasarkan pada pokok
pemikiran yang sedang berkembang saat ini untuk memberi kemungkinan penggabungan jenis sanksi yang bersifat “pidana” strafpubishment dengan jenis sanksi yang lebih
bersifat “tindakan” maatregeltreatment. Pidana pengawasan yang disebutkan di atas merupakan jenis sanksi non-
custodial yang lebih “bersifat tindakan”. Dari uraian di atas, terlihat beberapa kemungkinan yang dapat dijatuhkan oleh
hakim terhadap pelaku tindak pidana yang diancam pidana secara alternatif penjara atau denda, yaitu:
a menjatuhkan pidana penjara saja yang dapat diganti dengan pidana
pengawasan, atau b
menjatuhkan pidana denda saja, atau c
menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda dengan batas: separuh dari jumlah maksimum masing-masing, atau
d pidana pengawasan maksimum 3 tahun dan denda separuh dari maksimum.
Pembahasan tentang stelsel pidana tidak akan habis-habisnya, mengingat bahwa justru stelsel pidana adalah bagian yang terpenting dari suatu kitab undang-undang hukum
pidana
137
. Stelsel pidana tersebut dapat dijadikan ukuran sampai seberapa jauh tingakat peradaban bangsa yang bersangkutan. Sehubungan dengan ini Prof. Manuel Lopes Rey
pada Fourth United Nations Congress on the Preventions of Crime and the Treatment of Offenders di Kyoto 1970 antara lain menyatakan, bahwa pengaturan dan bekerjanya
sistem pidana akan tergantung pada beberapa faktor antara lain: 1 concept and extent of crime; 2 the socio-economie and pilitical structure of society: 3 the kind of criminal policy
adopted 4 the role played by criminology and allied discriplines.
Perkembangan yang berorientasi pada masalah-masalah Sobural
138
.tersebut juga terjadi di Benua Eropa, sekalipun diakui banwa “Continental criminal law reform has rested
on shared principles ”. Dalam hal ini dikatakan oleh Jescheck
139
bahwa : “Nonetheless, the specipic from expression and embodiments of the reform effort have differed from one
contry to another, especially among legal systems refleting disparate historical and cultural development. Usaha-usaha untuk mengekpresikan nilai-nilai Sobural di dalam pengaturan
stelsel pidana dalam kerangka pembaharuan hukum pidana nasional sudah sejak lama dilakukan, baik di dalam Rancangan Undang-
undang tentang “Asas-asas dan dasar-dasar
137
Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuian SistemPidana Indonesia FH. UNDIP: Semarang, 1979, hal. 5.
138
Istilah ini dipinjam dari Prof.Sahetapy dalam pidato pengukuhan beliau yang berjudul Pisau Analisa Kriminologi.
139
Periksa pendapat H.H. Jescheck tentang Criminal Law Reform di Continental Europe dalam Sanford H. Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, Collier Macmillan, Londan, 1983, hal. 485
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
63
pokok tata hukum pidana dan hukum pidana Indonesia” yang dikeluarkan Departemen Kehakiman pada tahun 1964, kemudian Rancangan KUHP Buku I yang dikeluarkan oleh
LPHN pada tahun 1968 maupun Rancangan KUHP Tahun 1982 dari BPHN.
140
Dari perumusan-perumusan dalam beberapa Rancangan yang telah dilakukan tampak, bahwa usaha-usaha pembaharuan tersebut di samping berusaha untuk menyerap
pemikiran-pemikiran nasional serta nilai-nilai sosial budaya atas dasar manusia, alam dan tradisi Indonesia yang tercermin dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, juga
harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal. Untuk saat ini kecenderungan tersebut dapat dikaji antara lain dari pengalaman-
pengalaman pembaharuan Pencegahan Kejahatan di berbagai negara dan Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku Tindak Pidana yang
diadakan setiap lima tahun. Dari kedua hal terakhir ini kelihatan, bahwa pembicaraan- pembicaraan tentang aliran-aliran Hukum Pidana serta teori-teori tentang tujuan
pemidanaan tetap relevan untuik dibicarakan sebagai dasar pembahasan. Demikian pula akan terkait di sini pembicaraan tentang filsafat yang mendasari sistem peradilan pidana.
Tentang pentingnya pemahaman kembali terhadap aliran-aliran hukum pidana digambarkan oleh Abadinsky sebagai berikut:
“The views of the Classical, Neo Classical, and Positive School are impirtant because they transced their own time and continus to be
applicable to contemporary issuues in the criminal justice system of the twentieth. The question is still being asked, “Do we judge the crime or criminal?”
141
Hal ini juga tampak dari tulisan Jeschek tentang Pembaharuan Hukum Pidana di Eropa Kontinental yang dimulai dari zaman “ Enlightenment” sampai dengan timbulnya
pengaruh “The Socialdefence Novement”.
142
Bahkan dalam bentuk lain yang lebih fungsional nilai-nilai yang terkait di dalam suatu model peradilan pidana yang sebenarnya
merupakan “value system in the operation of the criminal process”
143
diadopsi di dalam sistem peradilan pidana. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini pendapat Hulsmen
yang menyatakan, bahwa sistem peradilan pidana di Negeri Belanda lebih dekat dengan “Family Model”-nya J. Griffith, yang antara lain menganggap pidana sebagai sarana untuk
mengembalikan kapasitas pengendalian diri.
144
Dengan demikian sepanjang menyangkut pendekatan filosofis, yang dewasa ini tidak hanya mendasari hukum pidana, tetapi juga kriminologi, kiranya secara mendasar
140
Rancangan tahun 1964 telah dikritik oleh Prof. Mulyatno dalam Seminar Persahi di Surabaya dengan tulisan beliau yang berjudul “ Atas dasar atau asas-asas apakah hokum pidana kita dibangun”,
sedangkan Rancangan 1968 telah dikritik oleh Prof. Sudarto dalam pidato pengukuhan yang berjudul “Suatu
Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia”.
141
Periksa Abadinsky, Howard, Probatiion and Parole : Theory and Practice, Prantice Hall Inc. Englewood Cliffs, Nem Jersey, 1977, hal. 9.
142
Jescheck, op. cit, hal. 484 - 485
143
J. Griffith, Ideologi in Criminal procedure or a third “model” of the criminal prosess, Yale Law J. 1970, Vol 79 No. 3 hal.359
– 391 dan 410 – 417.
144
L.H.C. Hulsman The Dutch criminal justice system from a comparative legal perspective, dalam Fokkema, et, al., Introduction to Dutch Law for foreign Lawyers, Kluwer: Deventer, The Netherlands, 1978,
hal. 377:
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
64
harus dilandasi oleh pemikiran yang luas. Hal ini sehubungan dengan Deklarasi Caracas Declaration, 1980 yang antara lain menyatakan sebagai berikut:
“ The sucess of criminal justice systems and strategies for crime prevention, especially in the light of the growth of
new and sophisticated forms of crime and the difficulties encountered in the administration of criminal justice, depends above all on the progress achieved throughout the world in
improving social conditions and enhancing the quality of life”.
145
Persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan jenis-jenis pidana pokok yang harus
ada dalam KUHP nanti, dan berikut ini akan diuraikan sbb: a.
Pidana penjara
Di dalam penjelasan umum Rancangan KUHP Tahun 1972 dinyatakan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan berasal dari pandangan hidup individualistis dan
melalui wethoek van Strafrecht sejak 1 Januari 1918 pidana ini berlaku di Indonesia. Baik secara universal maupun secara pembaharuan, baik praktis teoritis untuk mengurangi
daya lakunya. Namun merupakan suatu kenyataan, bahwa di satu pihak pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada sekalipun namanya berbeda-beda dan di lain
pihak tanpa mengurangi penghargaan atas pembaharu-pembaharu pidana perampasan kemerdekaan, pada pidana tersebut akan selalu melekat kerugian-kerugian yang kadang-
kadang sulit untuk diatasi, bilamana ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai,
Ditinjau dari segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan antara lain adalah sebagai berikut :
146
1
Tujuan penjara sebagai sarana penjamin pengamanan terpidana dan
2
Memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidna untuk direhabilitasi. Hal ini akan mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya
menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidakmampuan untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat.
Dalam hal ini Bottomley
147
, menyatakan sebagai berikut: “An explicit recognition that the
main conflict in prisons is between securitycontrol and rehabilitation has been surprisingly slow to emerge and disentangle itself from the view that the main problem is the conflicting
claims of rehabilitation versus deterrence andor punishment”.
Namun demikian keberadaan pidana perampasan kemerdekaan sulit dihindari karena untuk menggantikan sarana primitis ini dengan yang lebih baik belum dapat
dilakukan.
148
Sehubungan dengan ini pula Moeller menyatakan, bahwa : “We have taken
the postion throgh that prisons as we know them ini our culture have failed ini rehabilitation and, in fact, have been the instruments in hardening meny of their victims in antisocial
attitudes. But we are not prepared to abolish the all at this time, though we are convinced that the awing eventually be in that direction”.
145
United Nations, Crime and Criminal Justice Branc, Newsletter No. 5, th. 1981, hal. 8.
146
Lihat Makalah Muladi, Op Cit Hal. 13-10.
147
Muladi, op. cit. hal. 141
148
Sudarto, Pemidanaa, Pidana dan Tindakan, op. cit, hal. 15
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
65
Sehubungan dengan kanyataan-kenyataan di atas, perlu kiranya dihayati prinsip- prinsip yang harus dipegang teguh baik di dalam pengaturan maupun di dalam
pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan yang antara lain adalah : menetapkan preferensi pada alternatif pidana perampasan kemerdekaan alternatives to imprisonment
seperti denda dan pidana bersyarat pidana pengawasan, jangan menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, sejauh mungkin diusahakan untuk menerapkan
The Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners SMR yang telah diadopsi oleh Kongres PBB I tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku pada
tahun 1955 dengan perubahan-perubahannya, selalu berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan program-program pembinaan narapidana
di luar lembaga the institutionalization of corrections.
Data pada tabel I di bawah ini menunjukkan, bahwa penjatuhan pidana di Indonesia masih berkecendrungan menempatkan prefensi pada perampasan kemerdekaan.
Tabel I Jenis Putusan Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Negeri
Dalam Perkara Kejahatan Tahun 1973-1982
Keterangan: Disusun kembali berdasarkan Statistik Krminil Biro Pusat Statistik, Jakarta, tgl, 1973-82 dari tabel 2.2. kecuali untuk tahun 1973, dari tabel 1.5. Putusan lain-lain Pidana Tambahan, dikembalikan orangwali dan diserahkan
b. Pidana Tutupan