Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
65
Sehubungan dengan kanyataan-kenyataan di atas, perlu kiranya dihayati prinsip- prinsip yang harus dipegang teguh baik di dalam pengaturan maupun di dalam
pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan yang antara lain adalah : menetapkan preferensi pada alternatif pidana perampasan kemerdekaan alternatives to imprisonment
seperti denda dan pidana bersyarat pidana pengawasan, jangan menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, sejauh mungkin diusahakan untuk menerapkan
The Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners SMR yang telah diadopsi oleh Kongres PBB I tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku pada
tahun 1955 dengan perubahan-perubahannya, selalu berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan program-program pembinaan narapidana
di luar lembaga the institutionalization of corrections.
Data pada tabel I di bawah ini menunjukkan, bahwa penjatuhan pidana di Indonesia masih berkecendrungan menempatkan prefensi pada perampasan kemerdekaan.
Tabel I Jenis Putusan Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Negeri
Dalam Perkara Kejahatan Tahun 1973-1982
Keterangan: Disusun kembali berdasarkan Statistik Krminil Biro Pusat Statistik, Jakarta, tgl, 1973-82 dari tabel 2.2. kecuali untuk tahun 1973, dari tabel 1.5. Putusan lain-lain Pidana Tambahan, dikembalikan orangwali dan diserahkan
b. Pidana Tutupan
Pidana tutupan tidak dikenal oleh Wvs tahun 1915 undang-undang RI 1946 Nr, 20 Berita RI tahun II Nr. 24 1 dan 15 Nopember 1946 menambah pasal 10 KUHP tahun
1946 Undang-undang pokok yaitu pidana tutupan. Ayat 1 pasal 2 Undang-undang tersebut menyatakan, bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam
dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang diancam dengan hukuman
Thn Mati
Seu- mur
Hidup Penjara
Kurungan Pidana
Bersyarat Denda
Putusan Lain2
Bebas Lepas
Tidak Jelas Jumlah
Terdakwa
1973 1974
1975 1976
1977 1978
1979 1980
1981 1982
- -
- -
- -
1 -
2 4
9.954 10.224
26.151 33.025
38.443 35.420
51.130 46.348
59.697 45.061
2 -
74 41
14 15
255 141
87 280
- -
- -
-
4.384 7.298
7.515 11.484
7.883 761
566 517
866 644
2.352 5.076
1.743 2.476
1.502 49
25 38
69 45
167 245
482 236
158 7
- 4
1 -
2.469 4.322
4.447 6.457
3.653 10.773
10.815 26.784
34.005 39.146
44.607 68.327
60.676 80.439
58.541
Jumlah selama
10 thn 7
355.456 909
38.564 16.50
3 1.514
21.360 434.543
81,84 0,21
8,88 3,80
0,35 4,92
100
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
66
penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
Hukuman tutupan ini tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian
sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya ayat 2. Tempat untuk menjalankan hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala
sesuatu yang perlu untuk menjalankan Undang-Undang RI 1946 No. 20 diatur oleh Peraturan pemerintah No. 8 tahun 1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948
Peraturan pemerintah tentang Rumah Tutupan. Dalam peraturan ini kelihatan, bahwa yang lebih baik daripada penjara biasa, sebab terpidana tutupan bukan terpidana biasa
karena perbuatan yang dilakukan didorong oleh motif yang patut dihormati.
Perlakuan yang istimewa misalnya saja nampak dari pasal 33 ayat 2 Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1948, yang menentukan, bahwa makanan orang hukuman tutupan
harus lebih baik daripada makanan orang hukuman penjara. Selanjutnya dalam ayat 5 dinyatakan, bahwa buat orang tidak merokok, pemberian rokok diganti dengan uang
seharga barang-barang itu. Selanjutnya dalam pasal 36 ayat 1 dinyatakan, bahwa orang- orang hukuman tutupan diperkenankan memakai pakaian sendiri dan pada ayat 3
disebutkan, bahwa pada orang-orang hukuman tutupan yang tidak mempunyai pakaian sendiri dan juga tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya, diberi pakaian
seperlunya menurut aturan yang diterapkan oleh Menteri Pertahanan. Pakaian harus lebih baik dari pada pakaian guna orang hukuman penjara. Kemudian pada pasal 37 ayat 2
dinyatakan, bahwa jika mungkin berhubung dengan keadaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban dan keamanan, maka orang-orang hukuman tutupan boleh memakai
alat tidurnya sendiri. Menurut Prof. Sudarto
149
pidana ini terkait pada pidana penjara. Jadi tidak ada tindak pidana yang diancam secara khusus dengan pidana tutupan.
Pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Dalam perkembangannya “privileged treatment” yang biasa disebut sebagai
“custodia honesta” ini dikenal di dalam Sistem Hukum Kontinental Eropa dan di Inggris English Division System dan asalnya adalah dari perlakuan khusus yang diberikan
kepada terpidana politik polisi cal prisoners. Posisi istimewa dari terpidana politik dalam sejarah pemidanaan dianggap merupakan suatu keharusan. Di sisi lain seringkali
sebaliknya kita lihat terdapat kecenderungan yang kuat untuk memperlakukan mereka lebih keras daripada narapidana biasa. Penguasa tidak akan mentolerir gangguan
terhadap keamanannya, sekalipun motif yang mendasari pelaku didasarkan atas idealisme yang terpuji.
Perkembangan terjadi setelah Revolusi Perancis, yang merubah pandangan terhadap terpidana politik atas dasar asas-asas hukum internasional, yang menyatakan,
bahwa “political crime are on principle not regorded as dishonourble”.
150
149
Ibid, hal. 16
150
Herman Mannheim, The Dilemma of Penal Reform, Unwin Brothers Ltd. London, 1939, hal. 123
Naskah Akademis KUHP BPHN 2010
|
67
Usul agar supaya asas ini mendasari perlakuan istimewa terhadap terpidana politik, termasuk di dalamnya pengaturan di negara-negara yang menjadi korban tindak pidana
politik tersebut State against tidak direalisasikan sampai waktu yang lama. Namun akhirnya nampak, bahwa hal tersebut memperoleh tanggapan,. KUHP Jerman Tahun 1871
mengatur, bahwa bilamana hakim harus memilih
– di dalam kasus-kasus politik – antara pidana kerja paksa penal servitude
dan “custodia honesta” Festungshaft, maka yang pertama hanya diijinkan bilamana dapat dibuktikan, bahwa tindak pidana yang dilakukan
didasarkan atas motif yang keji. Hal yang sama bisa ditemui di dalam KUHP Norwegia Tahun 1902 yang mengatur,
bahwa pidana perampasan kemerdekaan tidak terbatas hanya pada tindak pidana politik dapat digantikan dengan pidana “custodia honesta”, bilamana keadaan-keadaan khusus
yang berkaitan dengan tindak pidana menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut tidak dilakukan atas dasar motif yang jahat wicked motives.
Setelah perang Jerman, muncul gerakan-gerakan dan pemikiran untuk memperluas pemikiran yang terdapat dalam KUHP Jerman 1871 di atas, di luar ruang lingkup tindak
pidana politik yakni dengan menegaskan, bahwa pidana yang seharusnya diterapkan hendaknya “custodia honesta dan bukan pidana kerja paksa atau pidana penjara, apabila
Pengadilan melihat, bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatannya atas dasar keyakinan bahwa hal tersebut merupakan tugas moral, agama atau politik. Hal ini
nampak pula di dalam “Priciples regulating the execution of penal ties involving loss of liberty
” Tanggal 7 Juni 1923 yang menyatakan, bahwa terpidana sejak permulaan menjalankan pidananya dapat mengklaim untuk memperoleh perlakuan-perlakuan
istimewa bilamana Pengadilan yang telah memidananya secara eksplisit telah menyatakan, bahwa perbuatannya dilakukan atas dasar motif-motif di atas.
Pemerintahan Nazi Jerman melalui Act of 26,5,1933 telah membatasi berlakunya ketentuan di dalam KUHP Jerman tahun 1871 di atas, yakni dengan membatasi pada
sejumlah kecil tindak- tindak pidana politik dan menyatakan, bahwa pidana “costudia
honesta ” dapat diterapkan hanya apabila perbuatan tersebut tidak ditujukan “against the
weal of the people ”.
Yang perlu dipertimbangkan di sini adalah sampai seberapa jauh ukuran-ukuran “maksud yang patut dihormati” yang akan dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana
tutupan. Apakah terbatas pada tindak pidana politik ataukah mencakup pula alasan-alasan lain misalnya alasan moral, agama dan tindak-tindak pidana lain asal tidak dilakukan atas
dasar motif yang keji.
c. Pidana Pengawasan.