siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan hati, men. Makannya itu-itu mulu. Dzawin, show 3.
Sasaran kritik pada ketiga wacana tersebut mengacu pada institusi pendidikan. Wacana 73 ditunjukkan dalam tuturan di NTT sekalipun belajar
sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tuturan ini mengimplikasikan institusi pendidikan selaku salah satu pihak yang memiliki wewenang dalam menyusun
dan menjalankan kurikulum pendidikan. Wacana 74 ditunjukkan melalui tuturan sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama
senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Tuturan ini mengimplikasikan institusi pendidikan sebagai pelaksana dan penanggung
jawab atas penyelewengan pelaksanaan masa orientasi siswa MOS. Wacana 75 diungkapkan melalui tuturan Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi
rendah. Tuturan ini mengimplikasikan pesantren sebagai sasaran kritik. Hal yang dikritikkan kepada institusi pendidikan adalah sebagai berikut.
Pertama, ketiadaan pembelajaran kesenian sasando. Kedua, pelaksanaan Masa Orientasi Siswa. Ketiga, kualitas gizi di pesantren.
2.12.1 Ketiadaan Pembelajaran Sasando
Wacana 76 berikut mengandung kritikan atas ketiadaan pembelajaran kesenian sasando.
76 Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di
panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Teman-
teman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum
itu. Saya takutnya, ini lama-kelamaan sasando itu hanya bisa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya anak datang, tanya ke saya.
O
1
: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara main bagaimana e?
O
2
: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu. O
1
: Ya begitu bagaimana? O
2
: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini sambil memetik gitar. Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu.
O
2
: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak saja. Abdur, show 14.
Pada wacana 76, comic mengkritisi ketidakpedulian institusi pendidikan di Nusa Tenggara Timur untuk memasukkan kesenian sasando dalam kurikulum
pembelajaran di sekolah. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum.
Sebagai salah satu ikon kesenian NTT, sasando menghadapi situasi yang muskil dan ironis: hingga tahun 2014, sasando belum pernah diajarkan secara
formal oleh sekolah-sekolah di NTT. Secara implisit, comic menilai, salah satu upaya pelestarian sasando adalah dengan mewariskan dan mengajarkannya
kepada generasi muda melalui pelajaran di sekolah. Dengan demikian, sasando akan tetap menjadi kebudayaan sintas dan dapat dikenal serta dimainkan oleh
generasi-generasi saat ini dan yang akan datang.
2.12.2 Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa MOS
Wacana berikut memuat kritikan terhadap pelaksanaan MOS. 77
Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama
senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris
kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung, kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan.
O
1
: Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap? O
2
: Maaf, Kak, tadi ketinggalan. O
1
: Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum O
2
: Hukumannya apa, Kak? O
1
: Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu? Dzawin, show 7.
Comic mengkritisi penyimpangan pelaksanaan MOS pada jenjang pendidikan sekolah menengah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Sebenarnya
MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus.
Tuturan tersebut
mengimplikasikan penjelasan
berikut. Comic
mengungkapkan, MOS kini bukanlah sekadar kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan dan mengendapkan tata nilai dan aturan lingkungan sekolah tersebut
kepada siswa baru. Motif laten yang sering kali terungkap dalam pelaksanaan MOS adalah upaya pendekatan relasional para panitia kegiatan kepada para
peserta. Dalam konteks ini, terminologi pendekatan tersebut mengacu pada aktivitas para panitia yang berusaha mencari perhatian dan mendekati para peserta
dengan tujuan menjadikannya pacar. Comic menilai, realitas ini telah menjauhkan pelaksanaan MOS dari esensinya.
2.12.4 Kualitas Gizi di Pondok Pesantren