Maksim Kuantitas Maksim Kualitas Maksim Relevansi Sistematika Penyajian

Lebih lanjut, Grice 1975: 47 menjelaskan bahwa dengan memperhatikan dan menaati prinsip kerja sama ini, tuturan-tuturan yang diutarakan dapat diterima secara efektif oleh mitra tutur. Dalam prinsip kerja sama ini, Grice menyebutkan empat maksim percakapan yang harus dipatuhi oleh setiap partisipan tutur, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim, relevansi, dan maksim cara.

a. Maksim Kuantitas

Menurut Grice 1975: 45, yang diperjelas oleh Baryadi 2015: 89, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kuantitas, yaitu: 1 Make your contribution as informative as is required for current purposes of the exchange . „Sampaikan informasi seinformatif mungkin sesuai dengan tujuan percakapan‟; 2 Do not make your contribution more informative than required. „Jangan menyampaikan informasi yang berlebihan yang melebihi yang dibutuhkan‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.

b. Maksim Kualitas

Grice 1975: 46, yang dikemukakan kembali oleh Baryadi 2015: 89, menjelaskan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kualitas, yaitu: 1 Do not say what you believe to false . „Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar‟; 2 Do not say that for which you lack adequate evidence. „Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.

c. Maksim Relevansi

Berikut pendapat Grice 1975: 46, yang diperjelas kembali oleh Baryadi 2015: 89 tentang maksim relevansi. Under the category of RELATION I place single maxim, namely, „Be relevant.‟ Di bawah kategori hubungan saya menempatkan sebuah maksim tunggal, „Usahakan relevan‟. Maksim ini menekankan mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.

d. Maksim Cara

Menurut Grice 1975: 46, yang diterangkan kembali oleh Baryadi 2015: 90, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim ini. Finally, under the category of MANNER, which I understand as relating not like the previous categories to what is said but, rather, to HOW what is said is to be said, I include the supermaxim –„Be perspicuous‟– and various maxims such as. „Akhirnya, dalam kategori CARA, dalam hal ini saya memahami bukan sebagai apa yang dikatakan seperti kategori sebelumnya, melainkan tentang BAGAIMANA apa yang dikatakan itu harus diungkapkan, saya merumuskan supermaksim –Ungkapan secara tepat – dan bermacam-macam maksim sebagai berikut. 1. Avoid obscurity of expression. „Hindari ungkapan yang kabur‟. 2. Avoid ambiguity. „Hindari ketaksaan‟. 3. Be brief avoid unnecessary prolixity. „Buatlah ringkas hindari ungkapan yang berkepanjangan‟. 4. Be orderly. „Ungkapkanlah sesuatu itu secara runtut‟. Maksim cara berhubungan dengan cara mengutarakan maksud. Pengungkapan maksud tuturan dilakukan dengan cara berbicara secara langsung, menghindari tuturan yang kabur, menyampaikan tuturan yang bukan mulitinterpretatif atau tidak taksa, berbicara secara singkat tidak berlebih- lebihan, dan runtut berbicara dengan teratur, tidak berbelit-belit.

1.6.5 Penciptaan Humor secara Pragmatis

Penciptaan wacana humor dapat dilakukan dengan memanfaatkan aspek- aspek lingual maupun prinsip-prinsip pragmatik. Pemanfaatan kedua aspek tersebut dapat menimbulkan efek ketidakterdugaan bagi mitra tutur. Unsur ketidakterdugaan ini menjadi hal yang pokok dalam proses penciptaan humor agar menimbulkan reaksi emosial dari mitra tutur Ibid., hlm.280-281. Lebih lanjut, Wijana Ibid., hlm.17 dan 36 mengemukakan, unsur ketidakterdugaan dapat diperoleh dengan melakukan penyimpangan pada aspek semantis bahasa dan prinsip-prinsip pragmatik. Di samping itu, berkenaan dengan kajian ini, penciptaan humor juga dapat dilakukan dengan mematuhi aspek-aspek tersebut, secara khusus aspek pragmatis. Di dalam penelitian ini, penciptaan wacana humor SUC tidak hanya menekankan pada bentuk tuturan-tuturan yang tidak mematuhi prinsip kerja sama agar dapat menggelakkan penonton. Sebagai pertunjukan komedi yang mengedepankan aspek verbal, tuturan di dalam SUC pun dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu. Salah satunya untuk menyampaikan kritik. Agar kritikan tersebut tersampaikan dan terpahami oleh penonton, maka tuturan dalam wacana humor SUC pun haruslah komunikatif dan informatif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyampaikan tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama.

1.6.6 Konteks

Menurut Kridalaksana 2008: 134, konteks adalah 1 aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu; 2 pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara. Sementara itu, di dalam KBBI Sugono, dkk. eds., 2008: 728 konteks didefinisikan sebagai 1 bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2 situasi yg ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sementara itu, Leech 1983: 13 menerangkan bahwa konteks merupakan pengetahuan latar apapun yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan apa yang dimaksud oleh penutur.

1.6.7 Komponen Tutur

Teori komponen tutur yang digunakan dalam kajian ini adalah teori komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo via Baryadi, 2015: 24- 25. Adapun komponen-komponen tutur tersebut yang digunakan dan berkaitan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, orang ke-satu O1, yaitu penutur –dalam pertunjukan SUC mengacu pada comic. Pribadi si penutur berkaitan dengan dua hal, yaitu siapakah O1 dan dari manakah asal atau latar belakang O1. Kedua, orang ke-dua O2, yaitu mitra tutur –dalam pertunjukan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SUC mengacu pada penonton. Dalam kajian ini, peneliti juga bertindak sebagai penonton. Ketiga, maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 sangat mempengaruhi bentuk-bentuk tutur yang diujarkannya.

1.6.8 Struktur Wacana SUC

Struktur atau bagian utama dari wacana SUC terdiri atas setup dan punch line. Menurut Dean 2012: 14, setup adalah bagian pertama dari humor SUC, yang menyiapkan orang untuk tertawa. Punch line adalah bagian kedua dari humor SUC, yang membuat orang tertawa. Dengan kata lain, setup menciptakan ekspektasi dan punch line menghadirkan kejutan. Bagian setup menuntun penonton menuju sebuah ekspektasi. Selanjutnya, punch line mengejutkan penonton, namun berbeda dengan ekspektasi yang telah terbentuk di dalam benak penonton. Dean Ibid., hlm.18 memberi contoh sebagai berikut. 7 Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati saya hanya ada di satu perempuan. Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh. Setup: Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati saya hanya ada di satu perempuan. Saat dan setelah comic mengucapkan setup-nya, di benak penonton akan tercipta asumsi pada tuturan tersebut yang kira-kira seperti ini: Pria ini membanggakan betapa ia mencintai istrinya sepenuh hati. Mereka sudah menikah selama empat puluh tahun dan mereka sangat bahagia. Pria ini tidak pernah sekali pun berselingkuh dan akan setia seumur hidupnya. Melalui asumsi itu, para penonton akan menduga dan berekspektasi bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perempuan yang dicintai laki-laki itu adalah istrinya sendiri. Akan tetapi, comic memberikan punch line dan sekaligus mematahkan atau membelokkan ekspektasi penonton. Punch Line: Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh. Ternyata, meskipun sudah menikahi istrinya selama empat puluh tahun, laki-laki ini tidak bahagia dan lebih memilih untuk mencintai perempuan lain. Akan tetapi, laki-laki ini merasa takut dibunuh oleh istrinya jika mengetahui perselingkuhannya dengan perempuan lain.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah 1 siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4 dan 2 bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice. Objek ini berada dalam data berupa wacana humor SUCI 4. Data-data diperoleh dari situs YouTube yang menayangkan pertunjukan SUCI 4 pada Februari sampai Juni 2014. Data yang dikumpulkan berupa tuturan yang mengandung nilai humor kritik sosial. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data ini adalah metode simak, yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa Sudaryanto, 2015: 203. Metode ini diwujudkan dalam dua teknik penjaringan data. Dalam kajian ini, teknik sadap berperan sebagai teknik dasar; teknik simak bebas libat cakap sebagai teknik lanjutannya; lalu diakhiri dengan teknik catat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pelaksanaan teknik sadap dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang Ibid., hlm.203. Sementara itu, teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan hanya menyimak tuturan yang disampaikan oleh penutur secara reseptif atau tanpa terlibat dalam pembentukan dan pemunculan calon data Ibid., hlm.203. Untuk melengkapi teknik ini, digunakan teknik catat, yaitu teknik yang dilakukan dengan mentranskripsikan tuturan humor yang mengandung kritik sosial.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data sesuai rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam kajian ini adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis yaitu metode yang alat penentunya mitra tutur Ibid., hlm.18. Dalam metode padan pragmatis, segala reaksi atau tanggapan mitra tutur menjadi penentu identitas satuan-satuan lingual tertentu. Adapun dalam kajian ini, peneliti berperan sebagai penonton SUCI 4 sekaligus penafsir tuturan comic. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi tuturan-tuturan humor yang mengandung kritik sosial. Dalam penerapannya, metode ini akan didahului dengan mengidentifikasi clue tanda, isyarat Titscher, dkk. via Subagyo, 2012: 59. Clue dalam wujud tanda baca, kata, frasa, kalimat atau tuturan tunggal, gugus kalimat atau gugus tuturan, hingga paragraf. Selanjutnya, clue tersebut diidentifikasikan, ditafsirkan, dan dipaparkan sesuai konteks Ibid., hlm.59. Pada kajian ini, pengidentifikasian clue untuk menentukan dan mendeskripsikan: 1 sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; 2 kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang akan dikaji di dalam penelitian ini, maka tahapan analisis data dilakukan sebagai berikut. Pertama, untuk mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4, maka dilakukan pengidentifikasian clue berupa kata ganti orang, nama orang, nama lembaga, dan pernyataan-pernyataan bermuatan informasi kritik sosial, lalu dideskripsikan, ditafsirkan, dan dijelaskan sesuai konteks WHKS SUCI 4. Selanjtunya, data-data yang telah dianalisis diklasifikasi menurut kesamaan sasaran kritiknya. Berikut ini adalah contoh analisis datanya. 8 Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya kan naik motor. O 1 : Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng. O 1 : Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai. O 2 : Di mana nih? O 1 : Kantor Satpol PP. Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. Dodit, show 8. Sasaran tutur pada wacana 8 mengacu pada kaum perempuan. Hal tersebut ditunjukkan dengan kata pengemis dan Bu. Tuturan ini mengimplikasikan seorang ibu yang berprofesi sebagai pengemis. Pada wacana 8, comic mengimbau kaum perempuan untuk mengilhami dan memanifestasikan perjuangan Kartini. Hal ini ditandai melalui tuturan Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. Kartini mengangkat martabat perempuan Indonesia agar dapat hidup secara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mandiri, cerdas, produktif, dan tangguh. Berkat kegigihannya itu, dewasa ini, sudah banyak perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi sosok penting dan sumber inspirasi bagi rakyat Indonesia. Namun, pada kenyataan lain, gambaran nasib kaum perempuan Indonesia ada yang masih memilukan. Comic mencontohkan perempuan yang berprofesi sebagai pengemis: para perempuan yang hanya mendapat uang hasil rasa haru orang lain. Pada wacana 8 diceritakan bahwa comic O 1 menaruh iba pada seorang perempuan pengemis O 2 yang kesulitan menaiki dan menuruni angkutan umum. Oleh karena itu, O 1 pun berinisiatif untuk mengantar O 2 dengan menggunakan sepeda motornya. Tanpa disadari oleh O 2 , O 1 justru mengantarnya ke kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja Satpol PP. O 1 bermaksud agar O 2 mendapat pembinaan agar kelak tidak mengemis lagi. Menilik sikap comic pada seorang perempuan pengemis yang semula dikasihaninya, hal ini dimaksudkan agar siapapun dapat terlibat dan bahu-membahu bersama para aparatur pemerintah terkait dalam pengentasan persoalan pada penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di samping itu, comic juga memberi peringatan kepada kaum perempuan agar terus menghidupkan semangat, perjuangan, dan cita-cita Kartini untuk memperadabkan diri perempuan itu sendiri maupun kaum perempuan pada umumnya. Kedua, untuk mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice, maka dilakukan pengidentifikasian data tuturan yang menghasilkan tawa. Langkah berikutnya adalah mendeskripsikan setiap tuturan yang telah teridentifikasi berdasarkan kepatuhan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dan ketakpatuhan pada prinsip kerja sama. Langkah terakhir dalam tahapan ini adalah mengelompokkan setiap tuturan berdasarkan tipe-tipe kepatuhan dan ketakpatuhannya pada prinsip kerja sama. Berikut ini adalah contoh hasil analisis datanya. 9 Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya kan naik motor. O 1 : Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng. O 1 : Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai. O 2 : Di mana nih? O 1 : Kantor Satpol PP. Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. Dodit, show 8. Wacana 9 mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Bagian wacana ini yang mematuhi maksim kuantitas dapat dilihat dari tuturan O 1 yang menggambarkan dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati dan punya empati terhadap orang lain. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan. Sebagai bukti kebaikan hatinya, lantas comic menerangkannya berupa tuturan tambahan melalui dialog. O 2 , yang merupakan seorang pengemis, dibantu oleh O 1 dengan memboncengkannya di sepeda motornya karena tidak tahan melihat O 2 yang kesulitan saat keluar-masuk dari angkutan umum. Nahasnya, O 1 tidak mengantarkan O 2 ke tempat yang dikehendakinya, melainkan menurunkannya di kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja Satpol PP. Sementara itu, bagian wacana 9 yang mematuhi maksim kualitas yakni PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terdapat pada tuturan Saya pengen membonceng dia dan Ayo Bu, saya bonceng. Kedua tuturan ini mengimplikasikan keselarasan perbuatan dan perkataan comic. Selain itu, wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturan comic jelas dan tidak ada tuturan yang taksa. Berkenaan dengan ketaksaan, tuturan yang bergaris bawah di atas menimbulkan reaksi tawa karena adanya pemahaman penonton terhadap konteks tuturan tersebut, yakni bahwa pengemis yang dibawa maupun ditahan di kantor tersebut pada umumnya akan diberi pendampingan dan pembinan agar tidak mengemis lagi. Hal ini justru tidak dikehendaki oleh pengemis karena meminta-minta adalah satu-satunya jalan bagi mereka agar tetap hidup. Wacana di atas tidak mematuhi maksim relevansi karena tuturan awal O 1 yang mengklaim dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati, tidak sejalan dengan realitasnya, yaitu ketika O 1 memboncengi O 2 , O 1 justru mengantarkannya ke kantor Satpol PP.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode infromal dan metode formal. Metode informal menyajikan hasil analisis data berupa kata-kata biasa yang dapat dipahami secara mudah oleh pembaca, sedangkan metode formal menyajikan hasil analisis data berupa tanda dan lambang Sudaryanto, 2015: 241. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1.8 Sistematika Penyajian

Penyajian hasil penelitian ini dijabarkan ke dalam empat bab. Bab I merupakan pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi pembahasan perihal sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4. Bab III berisi analisis kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama. Bab IV merupakan bab penutup, yang mencakup kesimpulan dan saran. BAB II SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4

2.1 Pengantar