BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini membahas wacana humor kritik sosial WHKS dalam pertunjukan Stand Up Comedy Indonesia Season 4 SUCI 4 yang ditayangkan di
Kompas TV secara pragmatis. Stand up comedy SUC adalah salah satu bentuk komedi verbal yang dilakukan secara perseorangan atau bermonolog mengenai
suatu topik
di hadapan
penonton secara
langsung https:id.wikipedia.orgwikipelawak_tunggal. SUC dapat disebut juga sebagai
komedi tunggal. Di Indonesia, pelaku SUC biasa disebut comic, komika, atau stand up comedy-an.
SUCI 4 adalah kompetisi SUC atau ajang pencarian bakat di bidang SUC musim keempat yang ditayangkan di Kompas TV pada Februari sampai Juni 2014.
Tahapan penyelenggaraan kompetisi ini diawali dengan audisi di beberapa kota- kota besar di Indonesia. Para comic yang lolos babak audisi tampil pada babak
utama di Jakarta. Pada babak utama, pertunjukan diadakan sekali dalam seminggu. Pada setiap pekannya para juri akan mengeliminasi salah seorang
comic. Puncak dari babak utama ini menyisakan atau menghasilkan dua comic yang bertarung pada babak final untuk memperebutkan status jawara dalam
kompetisi ini. Humor dalam SUC berbeda dengan genre komedi-komedi lainnya.
Kekuatan SUC terletak pada penggunaan bahasa verbal yang sangat dominan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Comic secara aktif bercerita tentang hasil pengalaman, pengamatan, dan aspirasinya terhadap kehidupan di sekitarnya yang dikemas menjadi sesuatu yang
lucu kepada penonton. Mengacu pada hal tersebut, sebagai entitas komunikasi verbal, tuturan di
dalam SUCI 4 pun tidak terlepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana Leech 1983: 24 menyatakan bahwa di dalam pragmatik, berbicara merupakan
aktivitas yang berorientasi pada tujuan goal oriented activities. Tuturan yang disampaikan oleh penutur pada hakikatnya dilandasi oleh maksud dan tujuan
tertentu. Demikian pun dengan wacana SUC –yang di dalamnya tercakup berbagai
dimensi makna dan maksud yang luas. Pertunjukan SUC tidak hanya sebagai sarana hiburan semata, tetapi juga dapat berperan sebagai media didaktis karena
informasi atau materi yang disampaikan mengandung pesan-pesan yang bersifat informatif dan mengedukasi para penonton.
Di panggung pertunjukan SUCI 4, para comic sering kali membawakan materi humor yang mengandung kritik sosial. Secara umum, kritik sosial tersebut
meliputi kritik terhadap konstelasi sosial, ekonomi, dan tirani kekuasaan, baik dalam lingkup daerah asal comic maupun dalam lingkup nasional. Oleh karena itu,
di dalam penelitian ini akan dibahas dua masalah terkait dengan WHKS dalam SUCI 4. Pertama, siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan comic?
Perhatikan beberapa contoh WHKS dalam SUCI 4 berikut ini. 1
Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu
maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya
begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara
tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku.
Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua
terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku,
ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri
lagi. Dzawin, show 10.
2
Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. Abdur,
show 3.
3 Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun,
maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue,
cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see.
Kita samperin; kita omelin.
O
1
: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O
2
: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju you can see daripada you can touch.
Ya Allah gue kesel, gua marahin. O
1
: Eh, anak sape loe? Pulang sono O
2
: Ngapain, Bang? O
1
: Ganti you can touch. David, show 7. Sasaran kritik comic dalam wacana 1 adalah kaum perempuan, secara
khusus yang sering kali membicarakan dan menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Hal tersebut ditandai melalui kalimat Cewek itu sering banget
ngomongin masalah kesetaraan gender. Hal yang dikritik pada wacana ini ihwal kesalahpahaman kaum perempuan
terhadap konsepsi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Dalam ilustrasinya di atas: seorang wanita di kereta api yang tengah berdiri karena tidak mendapatkan kursi
kosong; ia selalu memandangi comic yang sedang duduk bersama adiknya, dengan harapan comic mempersilakan wanita tersebut menduduki kursinya.
Comic tidak memberikan kursinya untuk ditempati oleh wanita tersebut karena 1 ia memiliki hak untuk tetap menduduki kursi yang sudah ditempatinya sejak awal
dan 2 ia merasa tidak adil jika ia harus berdiri karena memberikan kursi yang didudukinya ditempati oleh wanita tersebut. Dengan kata lain, wanita itu ingin
berusaha mendapatkan haknya untuk menduduki kursi tersebut dengan melanggar atau mengabaikan hak comic menempati kursi itu.
Comic penutur wacana 2 bernama Abdur, yang berasal dari Desa Lamakera, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yang menjadi
sasaran kritik comic adalah pemerintah. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. Tuturan tersebut
mengimplikasikan kegagalan pemerintah dalam pengadaan teknologi informasi di kampung halaman comic.
Kritikan comic menyiratkan sikap diskrimitif pemerintah dalam memeratakan fasilitas teknologi informasi pada berbagai daerah di Indonesia.
Pada wacana ini, comic mengungkapkan dikotomi keberadaan dan kemajuan teknologi antara daerah asalnya yang sangat memprihatinkan, yang ditandai
melalui tuturan oh lain, dengan Jakarta, yang diungkapkan melalui frasa di sini, yang
perkembangan teknologinya
informasinya sudah
maju, yaitu
tersistematisasinya berbagai aktivitas berbasis online. Hal ini diterangkan melalui tuturan semua yang di sini sudah bersistem dengan online.
Comic yang mennuturkan wacana 3 adalah David, yang berasal dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bintaro, Jakarta Selatan. Wacana di atas disampaikannya di hadapan para siswa SMAN 52 Jakarta di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sasaran kritik comic
adalah pelajar di Bintaro, yang ditandai melalui tuturan nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener.
Hal yang dikritik pada wacana ini adalah perihal tingkah laku pelajar Bintaro. Kritikan tersebut ditunjukkan melalui tuturan Anak kecil di sekolahan
gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Adapun tuturan pada frasa baju you can see mengimplikasikan masalah tingkah laku pelajar yang
dimaksud, karena merunut pada konteks etika sosial, baju you can see atau baju tanpa lengan dianggap tidak memenuhi kaidah kesopanan.
Kedua, bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice? Masalah ini terkait dengan proses
penciptaan humor secara pragmatis. Menurut Wijana 2003:6, salah satu bentuk penciptaan wacana humor yaitu melalui penciptaan tuturan yang tidak mematuhi
norma-norma pragmatik bahasa, yang terdiri prinsip kerja sama cooperative principle Grice dan prinsip kesopanan politeness principle Leech. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya membahas prinsip kerja sama. Grice 1975, menyebut ada empat maksim percakapan dalam prinsip kerja
sama yang berfungsi untuk mengatur proses komunikasi antara peserta tutur, yaitu maksim kuantitas quantity maxim, maksim kualitas quality maxim, maksim
relevansi relation maxim, dan maksim cara manner maxim. Maksim kuantitas menekankan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang secukupnya yang
dibutuhkan atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kualitas mewajibkan setiap peserta tutur mengatakan hal yang sebenarnya atau apa adanya. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan
memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim cara mewajibkan setiap peserta tutur berbicara secara jelas, tidak ambigu, tidak kabur,
serta runtut. Wijana 2003: 6 menyebutkan, wacana humor secara tekstual dan
interpersonal tidak patuh pada salah satunya prinsip kerja sama Grice. Dengan menyimpangkan tuturan dari keempat maksim di atas, tujuan penutur dalam
menyampaikan humornya dapat tercapai, yaitu timbulnya efek lucu comic effect. Di samping itu, proses penciptaan humor pada wacana SUCI 4 ini tidak
hanya menekankan pada penciptaan tuturan yang tidak mematuhi prinsip pragmatik Grice. Penelitian ini juga mengemukakan bahwa tuturan yang
mematuhi prinsip kerja sama dapat memberikan efek lucu dan komunikatif –
sebagaimana hakikat komunikasi – bagi yang menyaksikan pertunjukan SUCI 4.
Perhatikan contoh berikut ini: 4
Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener gak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa
sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis,
gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional
karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek
mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak
gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua
berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. Dzawin,
show 10. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5 Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di
tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. Abdur, show 3.
6 Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun,
maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue,
cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see.
Kita samperin; kita omelin. O
1
: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O
2
: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju you can see daripada you can touch.
Ya Allah gue kesel, gua marahin. O
1
: Eh, anak sape loe? Pulang sono O
2
: Ngapain, Bang? O
1
: Ganti you can touch. David, show 7. Wacana 4 memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana ini mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh
comic memadai. Yang menjadi pokok permasalahan pada wacana di atas yaitu perihal kesalahpahaman konsepsi kesetaraan gender oleh kaum perempuan. Hal
tersebut terimplikasi melalui tuturan comic yang mempersoalkan keseringan kaum perempuan membicarakan masalah kesetaraan gender serta mempertanyakan
esensi dari konsepsi kesetaraan tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Untuk mengurai kesalahpahaman tersebut, comic lantas memberikan
informasi pendukung berupa ilustrasi praktis dan solusi terkait masalah tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Contohnya begini. Gua naik bis
… dan seterusnya. Wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi karena pokok
pembicaraannya bersangkut paut secara langsung dengan infromasi pendukung. Selain itu, wacana ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas. Hal
tersebut ditunjukkan melalui tuturan Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Jika merunut pada faktanya, persoalan kesetaraan gender
menjadi salah satu isu aktual dan kontekstual yang masih dan sering kali diperbicarakan dalam berbagai forum perbincangan kaum perempuan.
Tuturan yang menimbulkan efek humor terletak pada ambiguitas frasa adik gua. Pada awal tuturan, frasa adik gua
bermakna „saudara kandung yang lebih muda‟. Sementara pada akhir tuturan, frasa „adik gua‟ yang bergaris bawah
dapat bermakna „kemaluan laki-laki‟ mengalami ketaksaan, terutama saat diikuti oleh kata kerja „berdiri‟. Maknanya tidak saja berarti tunggal „saudara mudanya
yang berdiri‟, namun bisa juga berarti „kemaluannya berereksi‟. Dengan demikian, tuturan ini tidak mematuhi maksim cara.
Wacana 5 memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana ini
mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic tidak kurang dan tidak lebih.
Wacana ini juga mematuhi maksim kualitas. Berikut penjelasannya. Comic yang menuturkan wacana 5 adalah Abdur, seorang warga Desa Lamakera,
Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur NTT. Tuturan comic berkenaan dengan kondisi faktual pembangunan atau keberadaan sarana dan pra-sarana
dalam bidang informasi dan teknologi di Desa Lamakera atau daerah-daerah di NTT yang belum terlaksana atau memadai. Provinsi NTT mengalami
keterbelakangan dalam hal perkembangan dan pertumbuhan informasi dan teknologi. Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena karena comic
menyampaikan tuturannya secara jelas dan tidak ada tuturan yang ambigu. Wacana 5 tidak mematuhi maksim relevansi. Hal tersebut diterangkan
melalui tuturan online dan oh lain. Terminologi online memiliki makna „konektivitas antarperanti elektronik atau peranti elektronik dengan jaringan
intern et‟. Pada wacana ini, tuturan tersebut mengimplikasikan kemajuan
teknologi informasi di Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sementara itu, tuturan oh lain bukan merupakan terminologi khusus sebagai antitesis dari istilah online,
meskipun tuturan tersebut mengimplikasikan disparitas perkembangan teknologi informasi di Nusa Tenggara Timur, secara khusus Larantuka.
Wacana 6 berikut ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi.
Wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturannya jelas dan tidak mengandung informasi yang ambigu.
Wacana tersebut mengandung tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas. Hal ini tampak pada tuturan you can touch. Tuturan ini diasumsikan
sebagai model baju yang mengumbar aurat. Pada kenyataannya, baju yang memiliki desain atau nama tersebut tidak ada.
Wacana di atas juga memiliki tuturan yang tidak relevan, yaitu tampak pada percakapan O
1
dan O
2
. Percakapan berawal dari pertanyaan O
1
kepada O
2
mengenai alasannya memakai baju yang mengumbar aurat tersebut. O
1
bertanya dengan maksud memarahi O
2
dan menasihatinya agar memakai pakaian yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lebih sopan. O
2
menjawabnya tidak secara langsung. O
2
berasumsi bahwa O
1
menganggapnya sebagai gadis yang nakal. Melalui tuturan aku mendingan pakai you can see daripada you can touch, O
2
ingin menegaskan bahwa ia bukanlah gadis yang seperti disangkanya karena baju yang dikenakannya masih dalam
tataran wajar. O
1
yang bertambah kesal terhadap jawaban O
2
karena iktikad baiknya ditolak sontak berang, menanyakan siapa orangtuanya, lalu menyuruhnya
pulang. Dalam percakapan yang wajar, seseorang yang disuruh pulang atau diusir umumnya akan memberikan dua kemungkinan jawaban: iya atau tidak. Akan
tetapi, O
2
justru balik bertanya kepada O
1
untuk apa dia harus pulang. Di sinilah letak ketidakterkaitan pertama tuturan di atas.
Pada akhir percakapan, O
1
menyuruh O
2
untuk mengganti baju you can see- nya dengan baju you can touch. Ungkapan O
1
ini tidak selaras atau relevan dengan sikapnya pada awal percakapan yang kesal dengan perangai buruk gadis-
gadis di kampung halamannya. Hal ini bisa berarti bahwa maksud dan motivasi baik dari comic mengalami pembiasan, yakni O
1
menggoda O
2
. Oleh karena tuturan O
1
yang berlebihan tersebut, maka tuturan itu tidak mematuhi maksim kuantitas.
Peneliti memilih topik ini sebagai objek kajian penelitiannya berdasarkan alasan-asalan berikut. Pertama, pertunjukan SUCI 4 di Kompas TV masih relatif
baru, sehingga sejauh kajian tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti, kajian wacana humor verbal secara pragmatik, khususnya mengkaji kepatuhan dan
ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama Grice sebagai wahana penciptaan humor belum pernah dilakukan. Kedua, penelitian terhadap penciptaan
wacana humor pada umumnya masih ditinjau berdasarkan aspek ketidakpatuhan prinsip kerja sama. Melalui kajian ini, peneliti tidak hanya akan mengkaji proses
penciptaan wacana humor SUCI 4 berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama, tetapi juga akan mengkajinya berdasarkan kepatuhan
tuturannya tersebut.
1.2 Rumusan Masalah