kegiatan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini pun tercantum dan dijamin secara konstitusional oleh negara melalui Pasal 28E ayat
3 UUD 1945 amandemen IV yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Singkatnya,
aturan ini pun memicu kelahiran dan pertumbuhan partai politik parpol baru di Indonesia. Tercatat, parpol nasional maupun lokal peserta pemilu 1999
berjumlah 48, parpol peserta pemilu 2004 berjumlah 24, parpol peserta pemilu 2009 berjumlah 44, dan parpol peserta pemilu 2014 berjumlah 15.
Idealnya, keberadaan parpol-parpol ini tentu membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia, terutama karena jumlahnya relatif banyak. Logikanya,
semakin besar jumlahnya, maka harapan dan cita-cita rakyat semakin banyak yang tersalur dan terserap. Akan tetapi, berjibunnya jumlah parpol pada setiap
penyelenggaraan pemilu nyatanya berbanding terbalik dengan hasil pengentasan persoalan ekonomi dan sosial masyarakat. Salah satu indikatornya: jumlah
penduduk miskin Indonesia masih memilukan, yaitu pada angka 27,73 juta jiwa per
September 2014
http:bisniskeuangan.kompas.comread20150103 070700226Turun.Jumlah.Penduduk.Miskin.Capai.27.7.Juta.Orang. Oleh karena
itu, comic lantas menyimpulkan bahwa partai-partai politik di Indonesia adalah partai harapan palsu alias pemberi harapan palsu.
2.3.2 Kebiasaan Tidur Saat Rapat
Wacana berikut ini memuat kritikan terhadap kebiasaan tidur anggota DPR saat rapat.
25
Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan
lebih parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin tidur, rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat
yang lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat:
O
1
: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di sebelah sana, mana suaranya?
O
2
: Rghhhh Mendengkur. O
1
: Yang sebelah, sana mana suaranya? O
3
: Rhghhh Mendengkur. Akhirnya,
O
1
: Oke, kita mulai rapatnya. Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? Coki, show 6.
Comic mengkritik perilaku atau tingkah buruk para anggota DPR saat mengikuti rapat. Hal ini terimplikasi dalam kalimat Caleg ini mereka berebut
kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur. Pada nukilan tersebut, tuturan berebut kursi
bermakna „merebut atau meraih jabatan‟ sebagai anggota legislatif dan tuturan duduk di kursi itu bermakna
„menduduki jabatan‟ sebagai anggota legislatif. Di tengah bertumbuh dan berkembangnya sikap kritis dan skeptis rakyat
Indonesia terhadap para wakilnya di kursi legislatif, para wakil rakyat ini belum mampu menunaikan sumpah jabatannya. Harapan dan tuntutan rakyat tidak
kunjung tercapai. Sebagai bukti, hasil survei nasional Institut Riset Indonesia Inisis dan Poltracking Institute masing-masing pada September dan Oktober
2013 lalu menunjukkan bahwa DPR mendapatkan tingkat kepuasan publik paling rendah.
Survei Inisis menunjukkan sebanyak 60,9 persen responden menilai kinerja anggota
DPR tidak
memuaskan http:nasional.kompas.comread2013
09291224051Survei.Insis.Publik.Makin.Tak.Puas.pada.Kinerja.DPR. Survei
Poltracking Institute juga memperlihatkan tingkat ketidakpuasan responden sebesar
61,68 persen
http:nasional.tempo.coreadnews20131020 078523131lagi-hasil-survei-kinerja-dpr-buruk. Alhasil, kebiasaan tidur anggota
DPR saat rapat –yang seharusnya membahas kebijakan-kebijakan publik– sudah
barang tentu membuat masyarakat Indonesia semakin berang. Comic memberikan ide yang inovatif untuk mencegah rasa kantuk yang
dialami anggota DPR saat rapat. Pemimpin rapat harus melakukan tindakan atraktif, seperti menyapa para anggota rapat layaknya seorang biduan menyapa
para penontonnya. Hal ini diyakini oleh comic dapat meningkatkan antusiasme para peserta rapat untuk terus terjaga saat sidang atau rapat berlangsung. Namun,
anggapan itu lantas dipatahkan oleh rasa skeptis comic bahwa tabiat anggota DPR ini tidak dapat berubah dalam waktu relatif singkat. Alhasil, pada akhir wacana di
atas comic menuturkan bahwa anggota DPR tetap pada kebiasaannya: tidur saat rapat.
2.3.3 Perilaku Korupsi