hal tersebut juga menunjukkan bahwa wacana ini mematuhi maksim relevansi karena keterkaitan setiap informasi yang disampaikan comic.
Adapun bagian wacana yang tidak mematuhi maksim kualitas diungkapkan melalui tuturan kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi
badan sebagai syarat utama. Tuturan tersebut diasumsikan oleh penonton sebagai informasi yang tidak valid, karena pada umumnya aturan tersebut memang jarang
ada atau tidak diketahui publik, dan hanya sebagian kecil instansi pemerintah yang memberlakukan aturan tersebut.
Sementara itu, ujaran yang tidak mematuhi maksim cara diungkapkan melalui tuturan berikut: 1 Rakyat kecil, dalam arti sebenarnya; 2 Katanya
memperjuangkan rakyat kecil. Untuk menciptakan efek humor, frasa rakyat kecil pada kedua tuturan tersebut dibuat taksa oleh comic dengan membiaskannya dari
pengertian umumnya „orang yang tingkat sosial ekonominya rendah‟ menjadi „orang yang berukuran tubuh kecil atau pendek‟.
3.3.3 Subtipe IIc
Subtipe IIc adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim relevansi. Perhatikan
keempat wacana yang tergolong ke dalam Subtipe IIc berikut ini. 93
Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di
aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata. Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau ke
mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di grup
What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu, kita ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di langit
.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main handphone,
What‟s Ap-an gitu kan. 94
Tapi teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai
lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu
dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Bahkan
orang dari tribun barat itu berteriak ke tribun timur, “Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi di
situ. Kami kasih makan enak.” Tetapi, sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. Abdur, show 9.
95 Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia dan
Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci banget. Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena hanya
menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya dibikin lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadi-pribadi
yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada setan
gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan. O
1
: Oi …. O
2
: Apa rumus pitagoras? Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya
bisa lebih interaktif gitu. O
3
: Oe ….
O
4
: Namanya siapa, Pak? O
3
: Joko. O
4
: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia? O
3
: Sunda Kelapa. O
4
: Salah. Jakarta. O
3
: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa. Coki, show 5.
96 DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat,
aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi,
pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya kan? Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di
tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus,
cabe-cabean. Dzawin, show 6. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Wacana 93 mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan comic atas pokok pembicaraan yang disampaikannya memadai.
Intisari tuturan comic yakni perihal kekesalannya pada perilaku masyarakat pengguna telepon seluler ponsel pintar yang lebih gemar berkomunikasi melalui
peranti tersebut, alih-alih secara langsung. Berikut ini tuturan kuncinya: Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada
ngomong di kehidupan nyata. Untuk mendukung gagasan ini, comic lantas memberikan argumentasi dan ilustrasi ihwal perilaku komunikasi pengguna
ponsel pintar, yaitu ditunjukkan melalui dialog. Wacana 93 mematuhi maksim cara karena penyampaiannya jelas dan
terutama tuturan yang bersifat ambigu tidak terdapat di dalam wacana ini, secara khusus pada punch line tuturan yang bergaris bawah. Tuturan tersebut
menimbulkan efek humor semata-mata karena memuat unsur ketidaklogisan dan ketidakrelevansian. O
1
meminta jus kepada O
2
melalui aplikasi WhatsAap. O
2
yang merasa kesal karena O
1
memintanya menggunakan aplikasi obrolan elektronik tersebut lantas menyuruhnya untuk memintanya secara langsung, tanpa
melalui medium alat komunikasi. Ini tuturan pertama yang tidak mematuhi maksim relevansi.
Selanjutnya, O
1
pun menanggapi anjuran O
2
dengan berbicara langsung kepadanya. Nahasnya, yang diminta O
1
dalam percakapan langsung itu bukanlah jus, melainkan menyuruh O
2
untuk mengecek aplikasi WhatsAap-nya karena O
1
baru saja mengirim pesan yang berisi permintaan jus kepadanya. Tentu yang dimaksudkan O
2
bukanlah demikian. Tuturan ini jelas tidak mematuhi prinsip PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
maksim relevansi. Tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas tampak pada pernyataan O
2
yang menceritakan tentang rencana mereka saat berjumpa: ngobrol bareng, ngopi bareng, dan berenang di langit. Hal ketiga dianggap tidak logis karena lazimnya
aktivitas berenang hanya dilakukan di air, bukan di darat maupun di langit. Wacana 94 mematuhi maksim kuantitas karena informasi yang
disampaikan comic memberi kontribusi yang memadai terhadap informasi yang lainnya. Wacana ini menceritakan tentang disparitas pembangunan infrastruktur
antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Comic mendeskripsikan dikotomi tersebut secara informatif dalam bentuk ilustrasi. Berikut bagian wacana yang
menunjukkan pematuhan maksim kuantitas: 1 paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari tribun timur; 2 karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu,
cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada; 3 Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-
enak; 4 di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Tuturan 2, 3, dan 4 memberikan informasi deksriptif pada tuturan 1 untuk
menerangkan informasi perihal situasi yang tidak mengenakkan saat berada di tribun timur akibat penyelenggaraan pembangunan infrastruktur yang cenderung
berpusat di tribun barat. Selain itu, pada wacana 94 tidak terdapat tuturan yang ambigu.
Penggunaan terminologi dan dikotomi tribun barat dan tribun timur dapat dipahami oleh penonton sebagai analogi dari kesenjangan pembangunan
Indonesia Barat dan Indonesia Timur, sebagaimana yang dimaksudkan oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
comic. Pemahaman penonton terbangun karena entitas komedi yang dibawakan Abdur pada umumnya berkenaan dengan fenomena persoalan sosial-ekonomi di
Indonesia Timur beserta komparasinya dengan Indonesia Barat. Di samping itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas ditunjukkan
melalui ujaran berikut: di tribun barat itu nonton pakai lampu..., tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu dikasih kursi..., tapi di
tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Tuturan ini mengimplikasikan fakta kesenjangan pembangunan di Indonesia Barat dan
Indonesia Timur. Jika konteks implikasi itu dilepaskan, maka nilai kebenaran dari informasi pada tuturan itu pun hampa, karena faktanya, perbedaan fasilitas
pada setiap tribun di stadion tidak semencolok tuturan comic, terutama stadion yang diilustrasikan di atas merupakan milik Arema, yang pada kenyataanya tidak
sama seperti yang dideskripsikan comic melalui ilustasi tersebut. Bagian wacana 94 yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada
tuturan Tetapi, sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. Ujaran ini berhasil memicu tawa karena disimpangkan dari tuturan sebelumnya serta asumsi
penonton. Comic mengawali punch line itu dengan memberikan set up melalui tuturan Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi
di situ. Kami kasih makan enak. Idealnya, setelah menyampaikan tuturan tersebut, penonton akan berasumsi bahwa comic akan berujar bahwa penghuni tribun barat
akan menepati perkataannya, sehingga penghuni tribun timur terbebas dari situasi muskil. Akan tetapi, comic membelokkan harapan penonton. Penghuni tribun
barat justru hanya memburas, dan penghuni tribun timur tetap menjalani PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupannya dengan penuh kemalangan. Wacana 95 mematuhi maksim kuantitas. Berikut beberapa tuturan kunci
yang menerangkan unsur informatif setiap ujaran yang disampaikan comic: 1 acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani;
2 bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Adapun wacana ini mengungkapkan kritikan comic terhadap acara uji nyali bertajuk Masih Dunia
Lain yang dipelesetkan comic menjadi Dunia dan Lain-lain. Keresahan comic ini terimplikasi melalui tuturan kunci pertama. Untuk menanggulangi
keresahannya pada acara tersebut, comic memberikan ide inovatif bagi acara itu agar dapat memberikan manfaat bagi penonton. Hal tersebut diterangkan pada
tuturan kunci kedua. Kehadiran dialog O
1
, O
2
, dan O
3
juga memberikan kontribusi memadai untuk mengilustrasikan dan menegaskan kebermanfaatan acara Masih
Dunia Lain jika mengusung nilai-nilai didaktis. Selain mematuhi maksim kuantitas, wacana di atas pun mematuhi maksim
cara. Tidak ada satupun tuturan yang mengandung ketaksaan. Meskipun penyebutan nama tayangan Dunia dan Lain-lain dipelesetkan dari nama
sebenarnya, konteks tuturan tersebut tetap dapat dipahami oleh penonton, sebagaimana yang dimaksudkan comic, yaitu tayangan uji nyali bertajuk Masih
Dunia Lain. Sementara itu, bagian wacana 95 yang tidak mematuhi maksim kualitas
ditandai melalui tuturan kunci berikut: Jadi, nanti kalau ada setan gitu nakut- nakutin, jadi berpendidikan. Ujaran ini dianggap tidak logis dan benar karena
pada hakikatnya tayangan ini merupakan sebuah acara uji nyali dengan hal-hal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mistis roh halus. Setiap kontestan uji nyali akan berada di lokasi gelap dan angker sendirian selama semalam hingga dua malam konsekutif. Kontestannya
pun sering kali mengalami kerasukan. Pada saat itulah, pakar supranatural yang mendampingi acara ini biasanya menjalin komunikasi dengan kontestan.
Nahasnya, ilustrasi ihwal interaksi komunikatif dan edukatif yang disampaikan comic melalui dialog, justru tidak masuk akal. Sulit membayangkan dan
mempercayai perstiwa seseorang yang sedang dirasuki dan dikuasai oleh roh halus memberikan ilmu pengetahuan bagi penonton tayangan itu.
Selain itu, ujaran pada wacana ini yang tidak mematuhi maksim relevansi ditunjukkan melalui tuturan Sunda Kelapa. Tuturan ini merupakan punch line,
Punch line tersebut dibangun oleh set up pada tuturan Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia? Pada tuturan yang wajar, setelah comic mengucapkan set up
tersebut, penonton berasumsi bahwa jawaban ideal atas pertanyaan tersebut ialah DKI Jakarta. Akan tetapi, untuk menciptakan efek komedi, comic mematahkan
harapan penonton dengan mengatakan Sunda Kelapa sebagai ibukota Indonesia. Wacana 96 mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
disampaikan memadai. Sisi informatif wacana ini dapat dilihat dari pokok pembicaraan wacana ini, yakni sorotan comic atas rendahnya kinerja anggota DPR
dalam mengemban amanah rakyat kecil. Hal ini ditandai melalui tuturan kunci berikut ini: DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi
rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi.... Lebih lanjut, comic pun memaparkan
opininya berupa solusi bagi anggota dewan untuk dapat memperjuangkan suara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan nasib masyarakat, yang ditandai melalui tuturan Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-tengah pasar. Wacana di atas juga
mematuhi maksim cara karena comic menyampaikan tuturannya secara jelas, tidak ada tuturan yang memiliki tafsiran ganda.
Sementara itu, ujaran yang tidak mematuhi maksim kualitas ditandai melalui tuturan Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-
tengah pasar. Pendapat comic melalui tuturan tersebut terlalu mengada-ada dan mustahil terjadi karena luasnya cakupan tugas dan fungsi anggota DPR, terlebih
kompleksitas persoalan parlemen tidak hanya mencakup pada ranah pasar atau pada level rakyat kecil.
Bagian wacana 96 yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada tuturan ayam kampus dan cabe-cabean. Kedua tuturan ini merupakan punch line
atau tuturan yang memiliki efek humor. Frasa ayam kampus merupakan ungkapan idiomatis yang bermakna „penjaja seks yang berasal dari kalangan mahasiswi‟,
dan frasa cabe-cabean bermakna „gadis di bawah umur yang baru menggeluti
profesi sebagai pramuria‟. Punch line ini dibangun oleh set up yang terdapat pada tuturan Dari tukang ayam sampai tukang cabe. Ketika comic menyampaikan set
up tersebut, penonton akan berasumsi bahwa tuturan berikutnya berupa informasi profesi lainnya yang ada pada ranah pasar tradisional. Namun, comic
membelokkan dugaan tersebut dengan melontarkan ujaran ayam kampus, cabe- cabean. Pada umumnya, keberadaan perempuan yang berasal dari kedua
kelompok ini bukan di pasar tradisional, melainkan di tempat-tempat orang mencari hiburan. Dengan demikian, tuturan ini pun berhasil mengundang gelak
tawa penonton.
3.3.4 Subtipe IId