Wacana humor kritik sosial dalam "Stand Up Comedy Indonesia Season 4" di Kompas TV: tinjauan Pragmatik.

(1)

ABSTRAK

Mitang, Marius Peng. 2016. “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Skripsi Strata Satu (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam acara Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) di Kompas TV. Dua masalah yang dibahas: (a) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; serta (b) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama? Kajian dilakukan dengan pendekatan pragmatik.

Data penelitian ini berupa WHKS yang diperoleh dari situs YouTube yang menayangkan pertunjukan SUCI 4. Data dikumpulkan dengan metode simak, lalu ditranskrip sebagai bahasa tulis. Data kemudian dianalisis menggunakan metode padan dengan submetode padan pragmatik. Hasil penelitian disajikan dengan metode informal dan formal.

Hasil penelitian ialah sebagai berikut. Pertama, pihak yang dikritik dan hal yang dikritik adalah: (a) pemerintah (kebijakan diskriminatif, kinerja, dan kegagalan penegakan aturan); (b) anggota DPR (kinerja, kebiasaan tidur saat rapat, dan perilaku korupsi); (c) anggota ormas (sikap munafik dan sikap intoleransi); (d) perempuan Indonesia (kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender, profesi perempuan, kecemburuan yang berlebihan, dan kesadaran wanita muslim untuk berkerudung,); (e) pertelevisian Indonesia (kualitas program, jam tayang iklan, diskriminasi peran keaktoran); (f) pedangdut wanita (musikalitas); (g) orangtua (pola asuh terhadap anak); (h) masyarakat lokal (sikap apatis pemuda Betawi pada tanjidor, kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir, perilaku penonton dangdut, tingkah laku pelajar Bintaro, stigma masyarakat terhadap orang kurus); (i) masyarakat luas (sikap politik dalam Pileg dan Pilpres 2014, minimnya penghargaan terhadap dokter, sikap individualistis akibat penggunaan handphone); (j) persepakbolaan (kualitas permainan tim nasional Indonesia, kualitas wasit Indonesia, tindakan provokasi); (k) institusi pendidikan (implementasi metode pembelajaran kontekstual, ketiadaan pembelajaran sasando, pelaksanaan MOS, kualitas gizi di pesantren); (l) tokoh (pemilihan lokasi pendeklarasian sebagai capres, dan tindakan kekerasan fisik).

Kedua, humor pada WHKS dalam SUCI 4 diciptakan dengan mematuhi dan/atau tidak mematuhi prinsip kerja sama. Kepatuhan dan ketakpatuhan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu: (a) tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim (Tipe I); (b) tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim (Tipe II); (c) tuturan yang mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim (Tipe III).


(2)

ABSTRACT

Mitang, Marius Peng. 2016. “The Social Criticism Humor Discourse in Stand Up Comedy Indonesia Season 4 on Kompas TV: Pragmatics Study”. An Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This research discusses the social criticism humor discourse (TSCHD) in Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) show on Kompas TV. There are two matters to be observed: (a) who are the targets of criticism and what are the criticisms of humor in SUCI 4; and (b) how does the obedience and disobedience utterance of TSCHD in SUCI 4 to cooperative principle? The main problems were analyzed with pragmatics approach.

The data are TSCHD that collected from YouTube contains SUCI 4 show. The method that be used to collect data is simak method, and then the data were transcribed into written language. The data were analyzed using padan method and padan pragmatics sub-method. The researcher served informal method and formal method to present the analytic result.

The researcher finds out two results of this research. First, the targets of criticism and the criticisms in SUCI 4 humor discourse are (a) the government (discriminatory policy, achievement, and regulation established); (b) the People’s Representative Council Members (achievement, sleep in the meeting, and corruption); (c) the mass organization members (the hypocrisy and intolerant behavior); (d) the Indonesian women (misunderstanding of gender equality concept, occupation, excessive jealousy in relationship, and awareness to wear a hijab); (e) Indonesian television (the program quality, the time of commercial break, and discrimination on role play scenarios); (f) the women dangdut musician (musicality); (g) the parents (parenting), (h) the local society (Betawi youth is apathy toward tanjidor, awareness to beating the Jakarta floods, the

behavior of Bintaro’s student, and stigma of being naturally skinny); (i) the general society (political preference in Indonesian Legislative Election and

Presidential Election in 2014, unappreciated for the doctor’s kindness, and individualistic disposition caused by cellphone usage); (j) football (Indonesian national team quality, Indonesian referee quality, the provocation); (k) the educational institutions (implementation of contextual learning method, lack of sasando learning, implementation of orientation programs, and nutritional quality of food in pesantren); (l) the public figure (the place where to declaration as a presidential candidate, and the violent behavior).

Second, humor of TSCHD in SUCI 4 are created by obeying and/or disobeying cooperative principle. The obedience and disobedience are classified to three types, which include: (a) the utterance that obeys three maxims, but disobeys one maxim (Type I); (b) the utterance that obeys two maxims, but disobeys two maxims (Type II); (c) the utterance that obeys one maxim, but disobeys three maxims (Type III).


(3)

i

WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL

DALAM STAND UP COMEDY INDONESIA SEASON 4 DI KOMPAS TV: TINJAUAN PRAGMATIK

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Marius Peng Mitang 124114003

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

vi

Skripsi ini saya persembahkan kepada keluarga: Bapa Bonefasius Osias, Mama Petronela Emiliana Nimat, serta Adik Yoseph Venansius Mitang dan Yohana Dalima Mitang

Tinggallah di dalam Aku,

sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh, 15:14-15)


(9)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang tidak jemu memberikan rahmat, penyertaan, dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini terselesaikan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Tuntunan dan dukungan moril beliau banyak bermanfaat dalam membentuk dan mematangkan kemampuan berpikir penulis.

2. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Ilmu dan petuah yang beliau berikan dalam perjalanan akademik ini telah menuntun penulis menuju ke kematangan berpikir dan kematangan jiwa.

3. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Indonesia: Drs. Hery Antono, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Drs. F.X. Santosa, M.S., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dra. F. Tjandrasih Adji, M. Hum., dan Sony Christian Sudarsono, S.S., M.Hum. yang telah menuntun dan membekali berbagai ilmu pengetahuan, semangat spiritual, dan falsafah kehidupan kepada penulis.

4. Segenap staf sekretariat Fakultas Sastra atas pelayanan administrasi.

5. Keluarga penulis, yang senantiasa bernama anugerah, doa, motivasi, pengorbanan, dan terima kasih: Bapa Bonefasius Osias, Mama Petronela Emiliana Nimat, serta adik Yoseph Venansius Mitang dan Yohana Dalima Mitang.

6. Ibu Agnes Triana sekeluarga. Terima kasih atas segala kebaikan yang tersemat dalam setiap kebersamaan, dukungan, dan doa yang terucap.


(10)

(11)

ix ABSTRAK

Mitang, Marius Peng. 2016. “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Skripsi Strata Satu (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam acara Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) di Kompas TV. Dua masalah yang dibahas: (a) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; serta (b) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama? Kajian dilakukan dengan pendekatan pragmatik.

Data penelitian ini berupa WHKS yang diperoleh dari situs YouTube yang menayangkan pertunjukan SUCI 4. Data dikumpulkan dengan metode simak, lalu ditranskrip sebagai bahasa tulis. Data kemudian dianalisis menggunakan metode padan dengan submetode padan pragmatik. Hasil penelitian disajikan dengan metode informal dan formal.

Hasil penelitian ialah sebagai berikut. Pertama, pihak yang dikritik dan hal yang dikritik adalah: (a) pemerintah (kebijakan diskriminatif, kinerja, dan kegagalan penegakan aturan); (b) anggota DPR (kinerja, kebiasaan tidur saat rapat, dan perilaku korupsi); (c) anggota ormas (sikap munafik dan sikap intoleransi); (d) perempuan Indonesia (kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender, profesi perempuan, kecemburuan yang berlebihan, dan kesadaran wanita muslim untuk berkerudung,); (e) pertelevisian Indonesia (kualitas program, jam tayang iklan, diskriminasi peran keaktoran); (f) pedangdut wanita (musikalitas); (g) orangtua (pola asuh terhadap anak); (h) masyarakat lokal (sikap apatis pemuda Betawi pada tanjidor, kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir, perilaku penonton dangdut, tingkah laku pelajar Bintaro, stigma masyarakat terhadap orang kurus); (i) masyarakat luas (sikap politik dalam Pileg dan Pilpres 2014, minimnya penghargaan terhadap dokter, sikap individualistis akibat penggunaan handphone); (j) persepakbolaan (kualitas permainan tim nasional Indonesia, kualitas wasit Indonesia, tindakan provokasi); (k) institusi pendidikan (implementasi metode pembelajaran kontekstual, ketiadaan pembelajaran sasando, pelaksanaan MOS, kualitas gizi di pesantren); (l) tokoh (pemilihan lokasi pendeklarasian sebagai capres, dan tindakan kekerasan fisik).

Kedua, humor pada WHKS dalam SUCI 4 diciptakan dengan mematuhi dan/atau tidak mematuhi prinsip kerja sama. Kepatuhan dan ketakpatuhan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu: (a) tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim (Tipe I); (b) tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim (Tipe II); (c) tuturan yang mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim (Tipe III).


(12)

x ABSTRACT

Mitang, Marius Peng. 2016. “The Social Criticism Humor Discourse in Stand Up Comedy Indonesia Season 4 on Kompas TV: Pragmatics Study”. An Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This research discusses the social criticism humor discourse (TSCHD) in Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) show on Kompas TV. There are two matters to be observed: (a) who are the targets of criticism and what are the criticisms of humor in SUCI 4; and (b) how does the obedience and disobedience utterance of TSCHD in SUCI 4 to cooperative principle? The main problems were analyzed with pragmatics approach.

The data are TSCHD that collected from YouTube contains SUCI 4 show. The method that be used to collect data is simak method, and then the data were transcribed into written language. The data were analyzed using padan method and padan pragmatics sub-method. The researcher served informal method and formal method to present the analytic result.

The researcher finds out two results of this research. First, the targets of criticism and the criticisms in SUCI 4 humor discourse are (a) the government (discriminatory policy, achievement, and regulation established); (b) the People‟s Representative Council Members (achievement, sleep in the meeting, and corruption); (c) the mass organization members (the hypocrisy and intolerant behavior); (d) the Indonesian women (misunderstanding of gender equality concept, occupation, excessive jealousy in relationship, and awareness to wear a hijab); (e) Indonesian television (the program quality, the time of commercial break, and discrimination on role play scenarios); (f) the women dangdut musician (musicality); (g) the parents (parenting), (h) the local society (Betawi youth is apathy toward tanjidor, awareness to beating the Jakarta floods, the

behavior of Bintaro‟s student, and stigma of being naturally skinny); (i) the general society (political preference in Indonesian Legislative Election and

Presidential Election in 2014, unappreciated for the doctor‟s kindness, and individualistic disposition caused by cellphone usage); (j) football (Indonesian national team quality, Indonesian referee quality, the provocation); (k) the educational institutions (implementation of contextual learning method, lack of sasando learning, implementation of orientation programs, and nutritional quality of food in pesantren); (l) the public figure (the place where to declaration as a presidential candidate, and the violent behavior).

Second, humor of TSCHD in SUCI 4 are created by obeying and/or disobeying cooperative principle. The obedience and disobedience are classified to three types, which include: (a) the utterance that obeys three maxims, but disobeys one maxim (Type I); (b) the utterance that obeys two maxims, but disobeys two maxims (Type II); (c) the utterance that obeys one maxim, but disobeys three maxims (Type III).


(13)

xi

DAFTAR SINGKATAN

O1 : orang pertama dalam wacana SUCI 4 berupa dialog O2 : orang kedua dalam wacana SUCI 4 berupa dialog O3 : orang ketiga dalam wacana SUCI 4 berupa dialog O4 : orang keempat dalam wacana SUCI 4 berupa dialog SUC : Stand Up Comedy

SUCI 4 : Stand Up Comedy Indonesia Season 4 WHKS : Wacana Humor Kritik Sosial

DAFTAR TANDA PADA DATA

U : Tanda garis bawah menandai punch line atau tuturan yang mengandung efek humor

B : Tulisan bercetak tebal menandai sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam wacana.


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

a. Latar Belakang Masalah ... 1

b. Rumusan Masalah ... 11

c. Tujuan Penelitian ... 11

d. Manfaat Penelitian ... 11

e. Tinjauan Pustaka ... 13

f. Landasan Teori ... 17

1.6.1 Pengertian Wacana ... 17

1.6.2 Pengertian Humor ... 18

1.6.3 Wacana Humor Kritik Sosial ... 19

1.6.4 Prinsip Kerja Sama ... 20

a. Maksim Kuantitas ... 21

b. Maksim Kualitas ... 21

c. Maksim Relevansi ... 22

d. Maksim Cara ... 22


(15)

xiii

1.6.6 Konteks ... 24

1.6.7 Komponen Tutur ... 24

1.6.8 Struktur Wacana Stand Up Comedy ... 25

1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 26

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 26

1.7.2 Metode Analisis Data ... 27

1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 31

1.8 Sistematika Penyajian ... 32

BAB II SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4 ... 33

2.1 Pengantar ... 33

2.2 Pemerintah ... 35

2.2.1 Kebijakan Diskriminatif ... 37

2.2.2 Kinerja Pemerintah ... 40

2.2.3 Kegagalan Penegakan Aturan ... 43

2.3 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ... 45

2.3.1 Kinerja Anggota DPR ... 47

2.3.2 Kebiasaan Tidur saat Rapat ... 50

2.3.3 Perilaku Korupsi ... 52

2.4 Anggota Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ... 54

2.4.1 Kemunafikan Anggota Ormas Islam ... 56

2.4.2 Sikap Intoleransi Ormas Islam ... 56

2.5 Perempuan Indonesia ... 57

2.5.1 Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender ... 59

2.5.2 Profesi Perempuan... 60

2.5.3 Kecemburuan yang Berlebihan ... 61

2.5.4 Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung ... 63

2.6 Pertelevisian Indonesia ... 64

2.6.1 Kualitas Program ... 66


(16)

xiv

2.6.3 Diskriminasi Peran Keaktoran ... 71

2.7 Pedangdut Wanita ... 72

2.7.1 Musikalitas ... 73

2.8 Orangtua ... 74

2.8.1 Pola Asuh terhadap Anak ... 76

2.9 Masyarakat Lokal ... 79

2.9.1 Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor ... 80

2.9.2 Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir ... 82

2.9.3 Perilaku Penonton Dangdut ... 83

2.9.4 Tingkah Laku Pelajar Bintaro ... 84

2.9.5 Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus ... 85

2.10 Masyarakat Luas ... 86

2.10.1 Sikap Politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 ... 88

2.10.2 Minimnya Penghargaan terhadap Dokter ... 89

2.10.3 Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone ... 90

2.11 Persepakbolaan ... 91

2.11.1 Kualitas Permainan Tim Nasional Indonesia ... 93

2.11.2 Kualitas Wasit Indonesia ... 94

2.11.3 Tindakan Provokasi... 95

2.12 Institusi Pendidikan ... 96

2.12.1 Ketiadaan Pembelajaran Sasando ... 98

2.12.2 Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa ... 99

2.12.3 Kualitas Gizi di Pondok Pesantren ... 100

2.13 Tokoh ... 101

2.13.1 Pemilihan Tempat Pendeklarasian sebagai Calon Presiden ... 103


(17)

xv

BAB III KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN

TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4

PADA PRINSIP KERJA SAMA ... 106

3.1 Pengantar ... 106

3.2 Tuturan yang Mematuhi Tiga Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Satu Maksim (Tipe I) ... 109

3.2.1 Subtipe Ia ... 109

3.2.2 Subtipe Ib ... 113

3.2.3 Subtipe Ic ... 115

3.3 Tuturan yang Mematuhi Dua Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Dua Maksim (Tipe II) ... 117

3.3.1 Subtipe IIa ... 117

3.3.2 Subtipe IIb ... 119

3.3.3 Subtipe IIc ... 122

3.3.4 Subtipe IId ... 130

3.3.5 Subtipe IIe ... 133

3.4 Tuturan yang Mematuhi Satu Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Tiga Maksim (Tipe III) ... 136

3.4.1 Subtipe IIIa ... 136

3.4.2 Subtipe IIIb ... 137

BAB IV PENUTUP ... 140

4.1 Kesimpulan ... 140

4.2 Saran ... 144

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 145

PUSTAKA LAMAN ... 147


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Sasaran Kritik dan Hal yang Dikritik dalam WHKS SUCI 4 ... 33

Tabel 2: Tipe-tipe Kepatuhan dan Ketakpatuhan Tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada Prinsip Kerja Sama ... 108


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penelitian ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam pertunjukan Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) yang ditayangkan di Kompas TV secara pragmatis. Stand up comedy (SUC) adalah salah satu bentuk komedi verbal yang dilakukan secara perseorangan atau bermonolog mengenai suatu topik di hadapan penonton secara langsung (https://id.wikipedia.org/wiki/pelawak_tunggal). SUC dapat disebut juga sebagai komedi tunggal. Di Indonesia, pelaku SUC biasa disebut comic, komika, atau stand up comedy-an.

SUCI 4 adalah kompetisi SUC atau ajang pencarian bakat di bidang SUC musim keempat yang ditayangkan di Kompas TV pada Februari sampai Juni 2014. Tahapan penyelenggaraan kompetisi ini diawali dengan audisi di beberapa kota-kota besar di Indonesia. Para comic yang lolos babak audisi tampil pada babak utama di Jakarta. Pada babak utama, pertunjukan diadakan sekali dalam seminggu. Pada setiap pekannya para juri akan mengeliminasi salah seorang comic. Puncak dari babak utama ini menyisakan atau menghasilkan dua comic yang bertarung pada babak final untuk memperebutkan status jawara dalam kompetisi ini.

Humor dalam SUC berbeda dengan genre komedi-komedi lainnya. Kekuatan SUC terletak pada penggunaan bahasa verbal yang sangat dominan.


(20)

Comic secara aktif bercerita tentang hasil pengalaman, pengamatan, dan aspirasinya terhadap kehidupan di sekitarnya yang dikemas menjadi sesuatu yang lucu kepada penonton.

Mengacu pada hal tersebut, sebagai entitas komunikasi verbal, tuturan di dalam SUCI 4 pun tidak terlepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana Leech (1983: 24) menyatakan bahwa di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Tuturan yang disampaikan oleh penutur pada hakikatnya dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu. Demikian pun dengan wacana SUC –yang di dalamnya tercakup berbagai dimensi makna dan maksud yang luas. Pertunjukan SUC tidak hanya sebagai sarana hiburan semata, tetapi juga dapat berperan sebagai media didaktis karena informasi atau materi yang disampaikan mengandung pesan-pesan yang bersifat informatif dan mengedukasi para penonton.

Di panggung pertunjukan SUCI 4, para comic sering kali membawakan materi humor yang mengandung kritik sosial. Secara umum, kritik sosial tersebut meliputi kritik terhadap konstelasi sosial, ekonomi, dan tirani kekuasaan, baik dalam lingkup daerah asal comic maupun dalam lingkup nasional. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini akan dibahas dua masalah terkait dengan WHKS dalam SUCI 4. Pertama, siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan comic? Perhatikan beberapa contoh WHKS dalam SUCI 4 berikut ini.

(1) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara


(21)

tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin, show 10).

(2) Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. (Abdur, show 3).

(3) Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun, maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see. Kita samperin; kita omelin.

O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju

you can see daripada you can touch. Ya Allah gue kesel, gua marahin.

O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono! O2: Ngapain, Bang?

O1: Ganti you can touch. (David, show 7).

Sasaran kritik comic dalam wacana (1) adalah kaum perempuan, secara khusus yang sering kali membicarakan dan menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Hal tersebut ditandai melalui kalimat Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender.

Hal yang dikritik pada wacana ini ihwal kesalahpahaman kaum perempuan terhadap konsepsi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Dalam ilustrasinya di atas: seorang wanita di kereta api yang tengah berdiri karena tidak mendapatkan kursi


(22)

kosong; ia selalu memandangi comic yang sedang duduk bersama adiknya, dengan harapan comic mempersilakan wanita tersebut menduduki kursinya. Comic tidak memberikan kursinya untuk ditempati oleh wanita tersebut karena (1) ia memiliki hak untuk tetap menduduki kursi yang sudah ditempatinya sejak awal dan (2) ia merasa tidak adil jika ia harus berdiri karena memberikan kursi yang didudukinya ditempati oleh wanita tersebut. Dengan kata lain, wanita itu ingin berusaha mendapatkan haknya untuk menduduki kursi tersebut dengan melanggar atau mengabaikan hak comic menempati kursi itu.

Comic penutur wacana (2) bernama Abdur, yang berasal dari Desa Lamakera, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yang menjadi sasaran kritik comic adalah pemerintah. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. Tuturan tersebut mengimplikasikan kegagalan pemerintah dalam pengadaan teknologi informasi di kampung halaman comic.

Kritikan comic menyiratkan sikap diskrimitif pemerintah dalam memeratakan fasilitas teknologi informasi pada berbagai daerah di Indonesia. Pada wacana ini, comic mengungkapkan dikotomi keberadaan dan kemajuan teknologi antara daerah asalnya yang sangat memprihatinkan, yang ditandai melalui tuturan oh lain, dengan Jakarta, yang diungkapkan melalui frasa di sini, yang perkembangan teknologinya informasinya sudah maju, yaitu tersistematisasinya berbagai aktivitas berbasis online. Hal ini diterangkan melalui tuturan semua yang di sini sudah bersistem dengan online.


(23)

Bintaro, Jakarta Selatan. Wacana di atas disampaikannya di hadapan para siswa SMAN 52 Jakarta di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sasaran kritik comic adalah pelajar di Bintaro, yang ditandai melalui tuturan nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener.

Hal yang dikritik pada wacana ini adalah perihal tingkah laku pelajar Bintaro. Kritikan tersebut ditunjukkan melalui tuturan Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Adapun tuturan pada frasa baju you can see mengimplikasikan masalah tingkah laku pelajar yang dimaksud, karena merunut pada konteks etika sosial, baju you can see atau baju tanpa lengan dianggap tidak memenuhi kaidah kesopanan.

Kedua, bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice? Masalah ini terkait dengan proses penciptaan humor secara pragmatis. Menurut Wijana (2003:6), salah satu bentuk penciptaan wacana humor yaitu melalui penciptaan tuturan yang tidak mematuhi norma-norma pragmatik bahasa, yang terdiri prinsip kerja sama (cooperative principle) Grice dan prinsip kesopanan (politeness principle) Leech. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membahas prinsip kerja sama.

Grice (1975), menyebut ada empat maksim percakapan dalam prinsip kerja sama yang berfungsi untuk mengatur proses komunikasi antara peserta tutur, yaitu maksim kuantitas (quantity maxim), maksim kualitas (quality maxim), maksim relevansi (relation maxim), dan maksim cara (manner maxim). Maksim kuantitas menekankan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang secukupnya yang dibutuhkan atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim


(24)

kualitas mewajibkan setiap peserta tutur mengatakan hal yang sebenarnya atau apa adanya. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim cara mewajibkan setiap peserta tutur berbicara secara jelas, tidak ambigu, tidak kabur, serta runtut.

Wijana (2003: 6) menyebutkan, wacana humor secara tekstual dan interpersonal tidak patuh pada (salah satunya) prinsip kerja sama Grice. Dengan menyimpangkan tuturan dari keempat maksim di atas, tujuan penutur dalam menyampaikan humornya dapat tercapai, yaitu timbulnya efek lucu (comic effect). Di samping itu, proses penciptaan humor pada wacana SUCI 4 ini tidak hanya menekankan pada penciptaan tuturan yang tidak mematuhi prinsip pragmatik Grice. Penelitian ini juga mengemukakan bahwa tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama dapat memberikan efek lucu dan komunikatif – sebagaimana hakikat komunikasi– bagi yang menyaksikan pertunjukan SUCI 4. Perhatikan contoh berikut ini:

(4) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener gak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin, show 10).


(25)

(5) Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. (Abdur, show 3).

(6) Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun, maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see. Kita samperin; kita omelin.

O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju

you can see daripada you can touch. Ya Allah gue kesel, gua marahin.

O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono! O2: Ngapain, Bang?

O1: Ganti you can touch. (David, show 7).

Wacana (4) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana ini mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic memadai. Yang menjadi pokok permasalahan pada wacana di atas yaitu perihal kesalahpahaman konsepsi kesetaraan gender oleh kaum perempuan. Hal tersebut terimplikasi melalui tuturan comic yang mempersoalkan keseringan kaum perempuan membicarakan masalah kesetaraan gender serta mempertanyakan esensi dari konsepsi kesetaraan tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas.

Untuk mengurai kesalahpahaman tersebut, comic lantas memberikan informasi pendukung berupa ilustrasi praktis dan solusi terkait masalah tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Contohnya begini. Gua naik bis… dan seterusnya.


(26)

pembicaraannya bersangkut paut secara langsung dengan infromasi pendukung. Selain itu, wacana ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Jika merunut pada faktanya, persoalan kesetaraan gender menjadi salah satu isu aktual dan kontekstual yang masih dan sering kali diperbicarakan dalam berbagai forum perbincangan kaum perempuan.

Tuturan yang menimbulkan efek humor terletak pada ambiguitas frasa adik gua. Pada awal tuturan, frasa adik gua bermakna „saudara kandung yang lebih muda‟. Sementara pada akhir tuturan, frasa „adik gua‟ (yang bergaris bawah) dapat bermakna „kemaluan laki-laki‟ mengalami ketaksaan, terutama saat diikuti oleh kata kerja „berdiri‟. Maknanya tidak saja berarti tunggal „saudara mudanya yang berdiri‟, namun bisa juga berarti „kemaluannya berereksi‟. Dengan demikian, tuturan ini tidak mematuhi maksim cara.

Wacana (5) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana ini mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic tidak kurang dan tidak lebih.

Wacana ini juga mematuhi maksim kualitas. Berikut penjelasannya. Comic yang menuturkan wacana (5) adalah Abdur, seorang warga Desa Lamakera, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tuturan comic berkenaan dengan kondisi faktual pembangunan atau keberadaan sarana dan pra-sarana dalam bidang informasi dan teknologi di Desa Lamakera atau daerah-daerah di NTT yang belum terlaksana atau memadai. Provinsi NTT mengalami


(27)

keterbelakangan dalam hal perkembangan dan pertumbuhan informasi dan teknologi. Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena karena comic menyampaikan tuturannya secara jelas dan tidak ada tuturan yang ambigu.

Wacana (5) tidak mematuhi maksim relevansi. Hal tersebut diterangkan melalui tuturan online dan oh lain. Terminologi online memiliki makna „konektivitas antarperanti elektronik atau peranti elektronik dengan jaringan internet‟. Pada wacana ini, tuturan tersebut mengimplikasikan kemajuan teknologi informasi di Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sementara itu, tuturan oh lain bukan merupakan terminologi khusus sebagai antitesis dari istilah online, meskipun tuturan tersebut mengimplikasikan disparitas perkembangan teknologi informasi di Nusa Tenggara Timur, secara khusus Larantuka.

Wacana (6) berikut ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi. Wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturannya jelas dan tidak mengandung informasi yang ambigu.

Wacana tersebut mengandung tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas. Hal ini tampak pada tuturan you can touch. Tuturan ini diasumsikan sebagai model baju yang mengumbar aurat. Pada kenyataannya, baju yang memiliki desain atau nama tersebut tidak ada.

Wacana di atas juga memiliki tuturan yang tidak relevan, yaitu tampak pada percakapan O1 dan O2. Percakapan berawal dari pertanyaan O1 kepada O2 mengenai alasannya memakai baju yang mengumbar aurat tersebut. O1 bertanya dengan maksud memarahi O2 dan menasihatinya agar memakai pakaian yang


(28)

lebih sopan. O2 menjawabnya tidak secara langsung. O2 berasumsi bahwa O1 menganggapnya sebagai gadis yang nakal. Melalui tuturan aku mendingan pakai you can see daripada you can touch, O2 ingin menegaskan bahwa ia bukanlah gadis yang seperti disangkanya karena baju yang dikenakannya masih dalam tataran wajar. O1 yang bertambah kesal terhadap jawaban O2 karena iktikad baiknya ditolak sontak berang, menanyakan siapa orangtuanya, lalu menyuruhnya pulang. Dalam percakapan yang wajar, seseorang yang disuruh pulang atau diusir umumnya akan memberikan dua kemungkinan jawaban: iya atau tidak. Akan tetapi, O2 justru balik bertanya kepada O1 untuk apa dia harus pulang. Di sinilah letak ketidakterkaitan pertama tuturan di atas.

Pada akhir percakapan, O1 menyuruh O2 untuk mengganti baju you can see-nya dengan baju you can touch. Ungkapan O1 ini tidak selaras atau relevan dengan sikapnya pada awal percakapan yang kesal dengan perangai buruk gadis-gadis di kampung halamannya. Hal ini bisa berarti bahwa maksud dan motivasi baik dari comic mengalami pembiasan, yakni O1 menggoda O2. Oleh karena tuturan O1 yang berlebihan tersebut, maka tuturan itu tidak mematuhi maksim kuantitas.

Peneliti memilih topik ini sebagai objek kajian penelitiannya berdasarkan alasan-asalan berikut. Pertama, pertunjukan SUCI 4 di Kompas TV masih relatif baru, sehingga sejauh kajian tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti, kajian wacana humor verbal secara pragmatik, khususnya mengkaji kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama Grice sebagai wahana penciptaan humor belum pernah dilakukan. Kedua, penelitian terhadap penciptaan


(29)

wacana humor pada umumnya masih ditinjau berdasarkan aspek ketidakpatuhan prinsip kerja sama. Melalui kajian ini, peneliti tidak hanya akan mengkaji proses penciptaan wacana humor SUCI 4 berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama, tetapi juga akan mengkajinya berdasarkan kepatuhan tuturannya tersebut.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4?

2. Bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4.

2. Mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian


(30)

Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik” adalah deskripsi tentang: (1) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; serta (2) kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice. Adapun manfaat hasil penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.

1.4.1. Manfaat Teoretis

Secara pragmatis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan penjelasan bagaimana mengkaji (mengungkap) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam wacana humor kritis verbal serta proses penciptaan WHKS pada SUCI 4 berdasarkan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama Grice. Sejauh penelusuran peneliti, kajian perihal aspek-aspek penciptaan wacana humor verbal pada umumnya hanya berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama dan kesopanan saja. Oleh karena itu, penelitian ini, secara khusus kajian ihwal penciptaan humor berdasarkan kepatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama, dapat menjadi informasi atau referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan secara praktis agar dapat melakukan kritikan yang jenaka dan tidak menyinggung perasaan orang yang dikritik. Penelitian ini juga dapat dipakai sebagai salah satu acuan bagi untuk melakukan SUC dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pragmatik.


(31)

1.5 Tinjauan Pustaka

Kajian tentang wacana humor yang berkaitan dengan linguistik pernah dilakukan oleh Sudarsono (2013), Cahyaprasetya (2015), Wati (2013), Sari (2012), Fadilah (2015), dan Wijayanti (2015). Sudarsono (2013), melalui

skripsinya “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural,

Pragmatis, dan Kultural”, melihat penciptaan humor dalam wacana gombal melalui proses berikut ini. Pertama, pemanfaatan aspek kebahasaan dari tataran yang rendah hingga tataran yang tinggi, yaitu (1) aspek fonologi, berupa permainan fonem dan penambahan suku kata, (2) aspek sintaksis, berupa pertalian kata dalam frasa dan pertalian antarklausa, (3) aspek semantik, berupa polisemi, homonimi, idiom, peribahasa, hiperbola, elipsis, metafora, dan personifikasi, dan (4) aspek wacana, berupa pantun, silogisme, dan entailmen. Kedua, proses penciptaan humor dalam wacana gombal dilakukan dengan membelok dari prinsip kerja sama untuk menghasilkan nilai rasa gombal. Wujud pelanggaran prinsip kerja sama berupa sumbangan informasi yang berlebihan, kurang logis, keluar dari konteks, dan ambigu.

Cahyaprasetya (2015), dalam skripsinya: “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Acara Tatap Mata Trans 7 sebagai Wahana

Menciptakan Humor Verbal Lisan”, menemukan hasil kajiannya sebagai berikut.

Pertama, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kerja sama sebagai wahana penciptaan humor dalam acara Tatap Mata Trans 7, yang meliputi: (1) maksim kuantitas berupa informasi yang berlebihan dan informasi yang kurang informatif, (2) maksim kualitas berupa informasi yang salah dan informasi tidak logis, (3)


(32)

maksim relevansi berupa informasi tidak relevan dengan masalah pembicaraan, dan (4) maksim pelaksanaan berupa kesalahan dalam menafsirkan mitra tutur, informasi implisit. Kedua, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kesopanan, yaitu (1) maksim kebijaksanaan berupa perintah yang mempermalukan mitra tutur dan informasi yang membingungkan mitra tutur, (2) maksim kemurahan berupa pemanfaatan ketidaktahuan mitra tutur dan permintaan sesuatu kepada mitra tutur, (3) maksim penerimaan berupa merendahkan mitra tutur dan mencela mitra tutur, (4) maksim kerendahan hati berupa bangga terhadap diri sendiri, (5) maksim kecocokan berupa informasi tidak sebenarnya, dan (6) maksim kesimpatian berupa sikap antipati terhadap kesusahan mitra tutur.

Wati (2013) mengkaji humor SUC dalam skripsinya yang berjudul “Bahasa Humor Pertunjukan: Kajian Prinsip Kerja Sama terhadap Pertunjukan Stand Up Comedy Show di Metro TV”. Penelitian ini membahas bentuk pendayagunaan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama Grice dan implikatur tuturan humor yang mendayagunakan prinsip kerja sama dalam SUC Show di Metro TV. Berikut ini adalah hasil penelitiannya. Pertama, pendayagunaan maksim kualitas pada terbagi atas sembilan jenis: pelesetan, pemahaman yang salah, dianggap salah oleh comic, generalisasi yang salah, tidak masuk akal, tidak didukung bukti-bukti, hal yang belum tentu benar, pemikiran yang menyimpang atau tidak lazim, dan kombinasi tidak masuk akal dan dianggap salah oleh comic. Kedua, pendayagunaan maksim cara terdiri atas penuturan yang tidak jelas, kabur, dan tidak langsung. Ketiga, pendayagunaan maksim relevansi terdiri dari selipan, ketidaksinambungan dengan pernyataan sebelumnya dalam satu topik


(33)

pembicaraan, ketidaksinambungan karena ambiguitas, ketidaksinambungan karena tuturan yang kurang lengkap, dan penggunaan kata yang kurang tepat.

Sari (2012), dalam skripsi berjudul “Humor dalam Stand Up Comedy oleh Raditya Dika (Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi)”, mengkaji tentang jenis tindak tutur dan penerapan prinsip kerja sama beserta penyimpangan yang terjadi dalam humor SUC oleh Raditya Dika serta mengetahui jenis dan fungsi humor yang digunakan. Adapun hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, jenis tindak tutur dalam humor SUC oleh Raditya Dika yang menimbulkan kelucuan adalah tindak tutur lokusi naratif, deskriptif, dan informatif; ilokusi asertif, direktif, deklaratif, dan ekspresif; serta tindak tutur perlokusi. Kedua, ditemukannya penerapan dan penyimpangan maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun dalam tuturan untuk memancing tawa penonton. Ketiga, jenis humor yang terdapat dalam SUC oleh Raditya Dika adalah guyonan parikena, satire, sinisme, plesetan, analogi, unggul-pecundang, dan apologisme. Keempat, fungsi yang termuat di dalam SUC oleh Raditya Dika adalah fungsi (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan solidaritas suatu kelompok, (3) sebagai sarana kritik sosial, (4) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (5) mengubah pekerjaan yang menyenangkan menjadi permainan.

Fadilah (2015), melalui skripsinya: “Humor dalam Wacana Stand-up

Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV”, mengemukakan hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, penciptaan humor SUCI 4 menggunakan teknik praanggapan, teknik implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, tuturan humor SUCI 4 berfungsi sebagai penyalur keinginan dan gagasan, pemahaman


(34)

diri untuk menghargai orang lain, pemahaman kritis terhadap masalah yang ada, penghibur, penyegaran pikiran, dan peningkatan rasa sosial.

Wijayanti dalam tesisnya: “Analisis Wacana Stand Up Comedy Indonesia

Session 4 Kompas TV” menemukan bahwa struktur wacana SUCI 4 terdiri atas struktur wajib, yaitu isi lawakan yang terdiri atas pengantar dan punch line, serta unsur opsional yang terdiri atas salam pembukan, pertanyaan kabar, kalimat penutup, dan penyebutan nama. Selain itu, kepaduan antarpremis dalam wacana ditemukan wacana yang kohesif saja, kohesif dan koheren, serta tidak kohesif dan koheren.

Wijayanti juga menemukan berbagai fenomena kebahasaan dalam acara SUCI 4 untuk menimbulkan efek humor, yaitu permainan bunyi yang terdiri atas penggantian bunyi pada kata dan suku kata, ambiguitas yang terdiri dari ambiguitas gramatikal (kata majemuk, frasa, amfipoli) dan ambiguitas leksikal (polisemi dan homonimi), relasi leksikal (hiponimi dan kohiponimi, meronimi, kolokasi, sinonimi, antonimi), permainan unsur pembatas, metonimi, hiperbola, simile, visualisasi referen, dan entailment. Fungsi komunikatif SUCI 4 yaitu untuk bercanda, menertawakan diri sendiri, menyindir, mengkritik, mempengaruhi penonton, dan menginformasikan budaya.

Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, kebaruan yang ditemukan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, penciptaan wacana humor secara pragmatis, terutama humor dalam SUCI 4, tidak hanya dapat dilakukan dengan tidak mematuhi prinsip pragmatik saja, tetapi juga dengan mematuhi prinsip pragmatik tersebut. Penelitian ini melengkapi tesis Wijayanti (2015) yang


(35)

hanya mengkaji humor dalam SUCI 4 secara struktural dan skripsi Fadilah (2015) yang hanya mengkaji proses penciptaan humor dengan teknik praanggapan, teknik implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, entitas wacana SUCI 4 adalah komunikasi verbal. Di dalam pragmatik, kegiatan berbicara berorientasi pada maksud dan tujuan. Humor dalam pertunjukan SUC tersebut tidak semata-mata untuk menghibur para penonton, tetapi juga menyingkap banyak persoalan sosial masyarakat Indonesia. Di atas panggung, para comic menyuarakan kritikan dan aspirasi melalui lawakan-lawakannya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan membahas secara komprehensif siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik oleh comic di dalam SUCI 4. Pembahasan ini tidak ditemukan di dalam penelitian pada tinjauan pustaka di atas.

1.6Landasan Teori

Dalam landasan teori ini dipaparkan tentang (1) wacana, (2) humor, (3) wacana humor kritik sosial, (4) prinsip kerja sama, (5) penciptaan humor secara pragmatis, (6) konteks, (7) komponen tutur, dan (8) struktur wacana SUC.

1.6.1 Wacana

Poerwadarminta (dikutip Baryadi, 2002: 1) mendefinisikan kata wacana merunut pada akar atau asal-usul katanya. Kata wacana berasal dari kata vacana yang berarti „bacaan‟ dalam bahasa Sanskerta yang kemudian masuk sebagai kosakata bahasa Jawa Kuna dan Jawa Baru wacana yang berarti „bicara, kata, ucapan‟. Dalam linguistik, istilah wacana dipandang sebagai satuan kebahasaan


(36)

tertinggi atau terbesar karena mencakup kalimat, gugus kalimat, alinea, penggalan wacana, dan wacana utuh (Ibid., hlm.2).

1.6.2 Humor

Humor menurut KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 512) berarti (i) sesuatu yang lucu dan (ii) keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan, kelucuan. Sedangkan menurut Wijana (2003: xx), humor adalah rangsangan verbal dan, atau visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada tiga aspek yang layak diperhatikan, yakni tindakan verbal atau nonverbal yang merupakan stimulusnya, aktivitas kognitif dan intelektual sebagai alat persepsi dan evaluasi rangsangan itu, dan respon yang dinyatakan dengan senyum (Ibid., hlm.37).

Menurut Danandjaja, seperti dikutip Wijana (2003: 3), menyatakan bahwa di dalam masyarakat, humor, apapun bentuknya, harus dapat menjadi pelipur lara. Humor, melalui reaksi emosional, misalnya tawa, dapat mengendurkan ketegangan batin dan pikiran akibat persoalan sosial yang dihadapi masyarakat tersebut. Dengan demikian, humor bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan dapat menciptakan kondisi psikis seseorang menjadi lebih baik dan keseimbangan jiwa tetap terjaga.

Wacana di dalam SUC termasuk wacana humor karena penciptaannya ditujukan untuk menghibur para penonton. Di dalam pertunjukan SUC, manifestasi dari penikmatan humor berupa tawa dan/atau tepukan tangan.


(37)

1.6.3 Wacana Humor Kritik Sosial

Untuk menerangkan pengertian WHKS, diuraikan terlebih dahulu pengertian kritik sosial. Istilah kritik sosial terdiri dari dua kata, yaitu kritik dan sosial. Kata kritik, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani krinein yang artinya „memisahkan, memerinci dan menimbang‟. Pengkritik berarti orang yang membuat pemisahan, perincian, dan penimbangan antara nilai dan yang bukan nilai, arti dan yang bukan arti, baik dan jelek (Kwant, 1975: 12). Kritik di dalam KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 742) berarti „kecaman atau tanggapan, kadang -kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya‟.

Seorang pengkritik harus lebih dahulu mengenal dan mengetahui kenyataan dari hal yang dikritiknya, menentukan apakah kenyataan yang dihadapinya itu benar-benar seperti apa yang seharusnya, lalu mengidealkan kenyataan yang dinilainya itu sesuai norma, hukum, atau falsafah masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu, orang yang dikritik memiliki kewajiban untuk memenuhi kritikan atau harapan pengkritik (Kwant, 1975: 11).

Kata sosial berasal dari bahasa Latin socius yang berarti „teman, kawan‟, dan kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris social yang artinya „berteman, bersama, berserikat‟ (Shadily, 1993: 1). Kata social pun lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi sosial yang berarti „berkenaan dengan masyarakat‟ (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 1331).

Berdasarkan pengertian kata kritik dan sosial di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kritik sosial adalah gambaran, kecamanan, tanggapan dan


(38)

penilaian terhadap persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Damono (1983: 22) menyebutkan, persoalan itu mencakup masalah manusia dengan lingkungannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan kelompok sosial, manusia dengan kelompok penguasa, dan manusia dengan institusi-institusi yang ada.

WHKS adalah wacana hiburan yang penciptaannya ditujukan untuk menghibur penonton (membangkitkan rasa tawa) di samping sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Humor merupakan salah satu sarana yang efektif di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya (Wijana, 2003: 1). Dengan humor, manusia dapat menghadapi persoalan sosial dengan canda dan tawa, terutama bagi masyarakat yang tengah menghadapi situasi yang pelik (Ibid., hlm.3). Sementara itu, bagi sasaran kritik dalam WHKS, kritikan-kritikan yang diungkapkan tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan karena disampaikan dengan jenaka.

1.6.4 Prinsip Kerja Sama

Grice (1975: 45), yang diterangkan kembali oleh Baryadi (2015: 88-89), mengemukakan prinsip kerja sama sebagai berikut.

Make your conversation contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the

talk exchange in which you are engaged”.

„Buatlah percakapan Anda sebagaimana yang diminta, sesuai dengan taraf percakapan itu terjadi, dengan tujuan dan arah yang dapat diterima dalam pertukaran percakapan yang Anda terlibat di dalamnya‟.


(39)

Lebih lanjut, Grice (1975: 47) menjelaskan bahwa dengan memperhatikan dan menaati prinsip kerja sama ini, tuturan-tuturan yang diutarakan dapat diterima secara efektif oleh mitra tutur. Dalam prinsip kerja sama ini, Grice menyebutkan empat maksim percakapan yang harus dipatuhi oleh setiap partisipan tutur, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim, relevansi, dan maksim cara.

a. Maksim Kuantitas

Menurut Grice (1975: 45), yang diperjelas oleh Baryadi (2015: 89), ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kuantitas, yaitu: (1) Make your contribution as informative as is required (for current purposes of the exchange). „Sampaikan informasi seinformatif mungkin (sesuai dengan tujuan percakapan)‟; (2) Do not make your contribution more informative than required. „Jangan menyampaikan informasi yang berlebihan yang melebihi yang dibutuhkan‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.

b. Maksim Kualitas

Grice (1975: 46), yang dikemukakan kembali oleh Baryadi (2015: 89), menjelaskan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kualitas, yaitu: (1) Do not say what you believe to false. „Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar‟; (2) Do not say that for which you lack adequate evidence. „Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka


(40)

dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.

c. Maksim Relevansi

Berikut pendapat Grice (1975: 46), yang diperjelas kembali oleh Baryadi (2015: 89) tentang maksim relevansi.

Under the category of RELATION I place single maxim, namely,

„Be relevant.‟

Di bawah kategori hubungan saya menempatkan sebuah maksim tunggal, „Usahakan relevan‟.

Maksim ini menekankan mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.

d. Maksim Cara

Menurut Grice (1975: 46), yang diterangkan kembali oleh Baryadi (2015: 90), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim ini.

Finally, under the category of MANNER, which I understand as relating not (like the previous categories) to what is said but, rather, to HOW what is said is to be said, I include the supermaxim „Be

perspicuous‟ and various maxims such as.

„Akhirnya, dalam kategori CARA, dalam hal ini saya memahami bukan sebagai apa yang dikatakan (seperti kategori sebelumnya), melainkan tentang BAGAIMANA apa yang dikatakan itu harus diungkapkan, saya merumuskan supermaksim –Ungkapan secara tepat– dan bermacam-macam maksim sebagai berikut.

1. Avoid obscurity of expression. „Hindari ungkapan yang kabur‟. 2. Avoid ambiguity. „Hindari ketaksaan‟.

3. Be brief (avoid unnecessary prolixity). „Buatlah ringkas (hindari ungkapan yang berkepanjangan‟.


(41)

Maksim cara berhubungan dengan cara mengutarakan maksud. Pengungkapan maksud tuturan dilakukan dengan cara berbicara secara langsung, menghindari tuturan yang kabur, menyampaikan tuturan yang bukan mulitinterpretatif atau tidak taksa, berbicara secara singkat (tidak berlebih-lebihan), dan runtut (berbicara dengan teratur, tidak berbelit-belit).

1.6.5 Penciptaan Humor secara Pragmatis

Penciptaan wacana humor dapat dilakukan dengan memanfaatkan aspek-aspek lingual maupun prinsip-prinsip pragmatik. Pemanfaatan kedua aspek-aspek tersebut dapat menimbulkan efek ketidakterdugaan bagi mitra tutur. Unsur ketidakterdugaan ini menjadi hal yang pokok dalam proses penciptaan humor agar menimbulkan reaksi emosial dari mitra tutur (Ibid., hlm.280-281). Lebih lanjut, Wijana (Ibid., hlm.17 dan 36) mengemukakan, unsur ketidakterdugaan dapat diperoleh dengan melakukan penyimpangan pada aspek semantis bahasa dan prinsip-prinsip pragmatik.

Di samping itu, berkenaan dengan kajian ini, penciptaan humor juga dapat dilakukan dengan mematuhi aspek-aspek tersebut, secara khusus aspek pragmatis. Di dalam penelitian ini, penciptaan wacana humor SUC tidak hanya menekankan pada bentuk tuturan-tuturan yang tidak mematuhi prinsip kerja sama agar dapat menggelakkan penonton. Sebagai pertunjukan komedi yang mengedepankan aspek verbal, tuturan di dalam SUC pun dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu. Salah satunya untuk menyampaikan kritik. Agar kritikan tersebut tersampaikan dan terpahami oleh penonton, maka tuturan dalam wacana humor


(42)

SUC pun haruslah komunikatif dan informatif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyampaikan tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama.

1.6.6 Konteks

Menurut Kridalaksana (2008: 134), konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu; (2) pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara. Sementara itu, di dalam KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 728) konteks didefinisikan sebagai (1) bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; (2) situasi yg ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sementara itu, Leech (1983: 13) menerangkan bahwa konteks merupakan pengetahuan latar apapun yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan apa yang dimaksud oleh penutur.

1.6.7 Komponen Tutur

Teori komponen tutur yang digunakan dalam kajian ini adalah teori komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (via Baryadi, 2015: 24-25). Adapun komponen-komponen tutur tersebut yang digunakan dan berkaitan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, orang ke-satu (O1), yaitu penutur –dalam pertunjukan SUC mengacu pada comic. Pribadi si penutur berkaitan dengan dua hal, yaitu siapakah O1 dan dari manakah asal atau latar belakang O1. Kedua, orang ke-dua (O2), yaitu mitra tutur –dalam pertunjukan


(43)

SUC mengacu pada penonton. Dalam kajian ini, peneliti juga bertindak sebagai penonton. Ketiga, maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 sangat mempengaruhi bentuk-bentuk tutur yang diujarkannya.

1.6.8 Struktur Wacana SUC

Struktur atau bagian utama dari wacana SUC terdiri atas setup dan punch line. Menurut Dean (2012: 14), setup adalah bagian pertama dari humor SUC, yang menyiapkan orang untuk tertawa. Punch line adalah bagian kedua dari humor SUC, yang membuat orang tertawa. Dengan kata lain, setup menciptakan ekspektasi dan punch line menghadirkan kejutan. Bagian setup menuntun penonton menuju sebuah ekspektasi. Selanjutnya, punch line mengejutkan penonton, namun berbeda dengan ekspektasi yang telah terbentuk di dalam benak penonton. Dean (Ibid., hlm.18) memberi contoh sebagai berikut.

(7) Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati saya hanya ada di satu perempuan. Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh.

Setup: Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati saya hanya ada di satu perempuan.

Saat dan setelah comic mengucapkan setup-nya, di benak penonton akan tercipta asumsi pada tuturan tersebut yang kira-kira seperti ini: Pria ini membanggakan betapa ia mencintai istrinya sepenuh hati. Mereka sudah menikah selama empat puluh tahun dan mereka sangat bahagia. Pria ini tidak pernah sekali pun berselingkuh dan akan setia seumur hidupnya.


(44)

perempuan yang dicintai laki-laki itu adalah istrinya sendiri. Akan tetapi, comic memberikan punch line dan sekaligus mematahkan atau membelokkan ekspektasi penonton.

Punch Line: Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh.

Ternyata, meskipun sudah menikahi istrinya selama empat puluh tahun, laki-laki ini tidak bahagia dan lebih memilih untuk mencintai perempuan lain. Akan tetapi, laki-laki ini merasa takut dibunuh oleh istrinya jika mengetahui perselingkuhannya dengan perempuan lain.

1.7Metode dan Teknik Penelitian

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah (1) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4 dan (2) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice. Objek ini berada dalam data berupa wacana humor SUCI 4. Data-data diperoleh dari situs YouTube yang menayangkan pertunjukan SUCI 4 pada Februari sampai Juni 2014.

Data yang dikumpulkan berupa tuturan yang mengandung nilai humor kritik sosial. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data ini adalah metode simak, yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 2015: 203). Metode ini diwujudkan dalam dua teknik penjaringan data. Dalam kajian ini, teknik sadap berperan sebagai teknik dasar; teknik simak bebas libat cakap sebagai teknik lanjutannya; lalu diakhiri dengan teknik catat.


(45)

Pelaksanaan teknik sadap dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Ibid., hlm.203). Sementara itu, teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan hanya menyimak tuturan yang disampaikan oleh penutur secara reseptif atau tanpa terlibat dalam pembentukan dan pemunculan calon data (Ibid., hlm.203). Untuk melengkapi teknik ini, digunakan teknik catat, yaitu teknik yang dilakukan dengan mentranskripsikan tuturan humor yang mengandung kritik sosial.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data sesuai rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam kajian ini adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis yaitu metode yang alat penentunya mitra tutur (Ibid., hlm.18). Dalam metode padan pragmatis, segala reaksi atau tanggapan mitra tutur menjadi penentu identitas satuan-satuan lingual tertentu. Adapun dalam kajian ini, peneliti berperan sebagai penonton SUCI 4 sekaligus penafsir tuturan comic. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi tuturan-tuturan humor yang mengandung kritik sosial.

Dalam penerapannya, metode ini akan didahului dengan mengidentifikasi clue (tanda, isyarat) (Titscher, dkk. via Subagyo, 2012: 59). Clue dalam wujud tanda baca, kata, frasa, kalimat atau tuturan tunggal, gugus kalimat atau gugus tuturan, hingga paragraf. Selanjutnya, clue tersebut diidentifikasikan, ditafsirkan, dan dipaparkan sesuai konteks (Ibid., hlm.59). Pada kajian ini, pengidentifikasian clue untuk menentukan dan mendeskripsikan: (1) sasaran kritik dan hal yang


(46)

dikritik dalam WHKS SUCI 4; (2) kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama.

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang akan dikaji di dalam penelitian ini, maka tahapan analisis data dilakukan sebagai berikut. Pertama, untuk mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4, maka dilakukan pengidentifikasian clue berupa kata ganti orang, nama orang, nama lembaga, dan pernyataan-pernyataan bermuatan informasi kritik sosial, lalu dideskripsikan, ditafsirkan, dan dijelaskan sesuai konteks WHKS SUCI 4. Selanjtunya, data-data yang telah dianalisis diklasifikasi menurut kesamaan sasaran kritiknya. Berikut ini adalah contoh analisis datanya.

(8) Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya kan naik motor.

O1: Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng. O1: Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai.

O2: Di mana nih? O1: Kantor Satpol PP.

Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. (Dodit, show 8).

Sasaran tutur pada wacana (8) mengacu pada kaum perempuan. Hal tersebut ditunjukkan dengan kata pengemis dan Bu. Tuturan ini mengimplikasikan seorang ibu yang berprofesi sebagai pengemis. Pada wacana (8), comic mengimbau kaum perempuan untuk mengilhami dan memanifestasikan perjuangan Kartini. Hal ini ditandai melalui tuturan Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis.


(47)

mandiri, cerdas, produktif, dan tangguh. Berkat kegigihannya itu, dewasa ini, sudah banyak perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi sosok penting dan sumber inspirasi bagi rakyat Indonesia. Namun, pada kenyataan lain, gambaran nasib kaum perempuan Indonesia ada yang masih memilukan. Comic mencontohkan perempuan yang berprofesi sebagai pengemis: para perempuan yang hanya mendapat uang hasil rasa haru orang lain.

Pada wacana (8) diceritakan bahwa comic (O1) menaruh iba pada seorang perempuan pengemis (O2) yang kesulitan menaiki dan menuruni angkutan umum. Oleh karena itu, O1 pun berinisiatif untuk mengantar O2 dengan menggunakan sepeda motornya. Tanpa disadari oleh O2, O1 justru mengantarnya ke kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). O1 bermaksud agar O2 mendapat pembinaan agar kelak tidak mengemis lagi. Menilik sikap comic pada seorang perempuan pengemis yang semula dikasihaninya, hal ini dimaksudkan agar siapapun dapat terlibat dan bahu-membahu bersama para aparatur pemerintah terkait dalam pengentasan persoalan pada penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di samping itu, comic juga memberi peringatan kepada kaum perempuan agar terus menghidupkan semangat, perjuangan, dan cita-cita Kartini untuk memperadabkan diri perempuan itu sendiri maupun kaum perempuan pada umumnya.

Kedua, untuk mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice, maka dilakukan pengidentifikasian data (tuturan) yang menghasilkan tawa. Langkah berikutnya adalah mendeskripsikan setiap tuturan yang telah teridentifikasi berdasarkan kepatuhan


(48)

dan ketakpatuhan pada prinsip kerja sama. Langkah terakhir dalam tahapan ini adalah mengelompokkan setiap tuturan berdasarkan tipe-tipe kepatuhan dan ketakpatuhannya pada prinsip kerja sama. Berikut ini adalah contoh hasil analisis datanya.

(9) Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya kan naik motor.

O1: Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng. O1: Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai.

O2: Di mana nih? O1: Kantor Satpol PP.

Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. (Dodit, show 8).

Wacana (9) mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Bagian wacana ini yang mematuhi maksim kuantitas dapat dilihat dari tuturan O1 yang menggambarkan dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati dan punya empati terhadap orang lain. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan. Sebagai bukti kebaikan hatinya, lantas comic menerangkannya berupa tuturan tambahan melalui dialog. O2, yang merupakan seorang pengemis, dibantu oleh O1 dengan memboncengkannya di sepeda motornya karena tidak tahan melihat O2 yang kesulitan saat keluar-masuk dari angkutan umum. Nahasnya, O1 tidak mengantarkan O2 ke tempat yang dikehendakinya, melainkan menurunkannya di kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).


(49)

terdapat pada tuturan Saya pengen membonceng dia dan Ayo Bu, saya bonceng. Kedua tuturan ini mengimplikasikan keselarasan perbuatan dan perkataan comic.

Selain itu, wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturan comic jelas dan tidak ada tuturan yang taksa. Berkenaan dengan ketaksaan, tuturan yang bergaris bawah di atas menimbulkan reaksi tawa karena adanya pemahaman penonton terhadap konteks tuturan tersebut, yakni bahwa pengemis yang dibawa maupun ditahan di kantor tersebut pada umumnya akan diberi pendampingan dan pembinan agar tidak mengemis lagi. Hal ini justru tidak dikehendaki oleh pengemis karena meminta-minta adalah satu-satunya jalan bagi mereka agar tetap hidup.

Wacana di atas tidak mematuhi maksim relevansi karena tuturan awal O1 yang mengklaim dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati, tidak sejalan dengan realitasnya, yaitu ketika O1 memboncengi O2, O1 justru mengantarkannya ke kantor Satpol PP.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode infromal dan metode formal. Metode informal menyajikan hasil analisis data berupa kata-kata biasa yang dapat dipahami secara mudah oleh pembaca, sedangkan metode formal menyajikan hasil analisis data berupa tanda dan lambang (Sudaryanto, 2015: 241).


(50)

1.8 Sistematika Penyajian

Penyajian hasil penelitian ini dijabarkan ke dalam empat bab. Bab I merupakan pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi pembahasan perihal sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4. Bab III berisi analisis kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama. Bab IV merupakan bab penutup, yang mencakup kesimpulan dan saran.


(51)

BAB II

SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4

2.1 Pengantar

Stand Up Comedy merupakan genre komedi yang disampaikan melalui aktivitas berbicara (secara lisan). Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. Dengan demikian, pertunjukan SUC, termasuk SUCI 4, dilandasi oleh orientasi pada tujuan tertentu, di samping sebagai media hiburan. Di dalam penelitian ini, tujuan komedi para comic dalam SUCI 4 berorientasi pada kritik sosial. Berkenaan dengan itu, hal yang dikaji dalam bab ini adalah siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan oleh comic. Pada pembahasan berikut ini, data pertama-tama diklasifikasi menurut siapa sasaran kritik, kemudian ditelaah apa saja hal yang dikritik. Sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS dijabarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1

Sasaran Kritik dan Hal yang Dikritik dalam WHKS SUCI 4

No. Sasaran Kritik Hal yang Dikritik

1 Pemerintah

Kebijakan Diskriminatif Kinerja Pemerintah

Kegagalan Penegakan Aturan

2 Anggota DPR

Kinerja Anggota DPR Kebiasaan Tidur saat Rapat Perilaku Korupsi


(52)

3 Anggota Ormas Kemunafikan Anggota Ormas Islam Sikap Intoleransi Ormas Islam

4 Perempuan Indonesia

Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender Profesi Perempuan

Kecemburuan yang Berlebihan

Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung

5 Pertelevisian Indonesia

Kualitas Program Jam Tayang Iklan

Diskriminasi Peran Keaktoran 6 Pedangdut Wanita Musikalitas

7 Orangtua Pola Asuh Orangtua terhadap Anak

8 Masyarakat Lokal

Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir

Perilaku Penonton Dangdut Tingkah Laku Pelajar Bintaro

Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus

9 Masyarakat Luas

Sikap Politik dalam Pileg dan Pilpres 2014 Minimnya Penghargaan terhadap Dokter Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone

10 Persepakbolaan

Kualitas Permainan Timnas Indonesia Kualitas Wasit Indonesia

Tindakan Provokasi

11 Institusi Pendidikan

Ketiadaan Pembelajaran Sasando Pelaksanaan MOS

Kualitas Gizi di Pondok Pesantren

12 Tokoh Pemilihan Lokasi Pendeklarasian sebagai Capres Tindakan Kekerasan Fisik


(1)

LAMPIRAN

KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN

TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4

1. Subtipe Ia

Subtipe Ia adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas. Wacana-wacana berikut ini dikelompokkan ke dalam Subtipe Ia.

(104) Teman-teman, di sini ada yang tahu Rokatenda? Tidak ada. Inilah suara minor yang mau saya bawa malam ini. Teman-teman, Rokatenda adalah gunung berapi di Pulau Flores. Dia meletus dari bulan Oktober 2012 sampai Desember 2013. Empatbelas bulan, empatbelas bulan. Bahkan dari pertama kali dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama, tiup-tiup lilin, tidak ada kado yang datang, tidak ada. Wajar kalau teman-teman tidak tahu karena memang berita Rokatenda meletus pada waktu itu, itu tertutup oleh berita banjir Jakarta. Bahkan berita banjir Jakarta itu diarahkan menjadi bencana nasional karena merugikan negara hampir duapuluh triliun. Rokatenda selama empatbelas bulan meletus itu negara cuma rugi seribu rupiah. Iya, dua koin lima ratus untuk tutup telinga. (Abdur, show 1).

(105) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas. Sekarang gini, untuk orang-orang yang tidak mencintai matematika, buat apa loe belajar matematika terlalu dalam. Ingat, men, loe belajar matematika dari SD sampai SMA persamaan linear dua variabel enggak kepakai pas loe lagi beli siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay.

O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan tiga ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu. Berapakah harga satu siomay?

Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8).

(106) Biasa ke kantor pakai Camry, ini jalan kaki. Pas lagi jalan ketemu preman. Tapi, nggak akan dipalak. Ya, kali preman pasar malak preman negara? Loe tahu kan preman pasar itu.


(2)

O2: Tukang daging, bang. O1: Duit, duit!

O1: Woi, siapa loe? O2: Anggota dewan. O1: Duit.

O2: Kenapa, kok saya nggak jadi dipalak.

O1: Maaf nih ya, Pak. Saya preman biasa malak duit halal. Kalau saya malak Bapak, dosanya dobel. (Dzawin, show 6).

(107) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi sejak tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya juga. Ini anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup naroh aki-aki buat adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi adzan subuh, siang main tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud syukur. (David, show 2).

(108) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge mati). Stop. Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa? Salah kite. Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa jalan di air itu sakti. Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang nemu orang jalan di air mah banyak. Saban banjir kita jalan di air. Saktian kita ama Pitung. Jalan di airnya rutin setahun sekali. (David, show 14).

(109) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke Messi, gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-teki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana. (Pras Teguh, pre show 1).

(110) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di Piala Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit Indonesia ragu-ragu. Pelanggaran:

O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya? O2: Apa, kartu?

O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15).

(111) Lampung itu banyak begal. Kalau orang naik motor sendirian, apalagi kalau di jalan sepi, udah itu. Berharap aja di rumah punya nyawa cadangan, karena pasti dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja kebegal. Bahkan mau ke warung aja kebegal. Orang mau ngebegal, dibegal. Karena begal itu suka nyari tempat sepi; bawa golok nungguin orang datang. Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa pistol, todong.


(3)

O1: Oi, sini motor kamu.

O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok saya ini.

O1: Woi, saya bawa pistol.

O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil motor saya.

Udahnya, dia nelpon polisi kan.

O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak.

O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre show 2).

2. Subtipe Ib

Subtipe Ib adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana di bawah ini digolongkan ke dalam Subtipe IIb.

(112) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan. Laki-bini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba, lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap.

O1: Kampung mane yang baru ade jande? Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi. O1: Biasanya tak pakai minyak wangi. Lakinya marah.

O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai minyak wangi. (David, show 13).

(113) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang religius, gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat. Survei, serius gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai foto.

O1: Mau yang mana, Mas? O2: Yang ini ajalah.

Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk. O3: Bang.

O2: Iye.

O3: Mau mulai dari mana?

O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim? O3: Iya, Bang.

O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah.

Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut. O2: Eh, mau ke mana, loe?


(4)

(114) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak yang mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak senang. Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika. Kalau semua orang beranggapan seperti itu, terus bidang-bidang lain siapa yang mau ngisi? Siapa yang mau ngisi? Ya, diisi sama anak yang dulunya dianggap bodoh di sekolah yang bahkan nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh. Bidang lain mau diisi sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi pinggiran yang dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa nyai, apa-apa nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak pesisir timur yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika datang ke Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh, Dzawin, Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain mau diisi sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren yang dulunya hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan ceramah, padahal nggak bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15).

(115) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat prostitusi. Rame-rame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin ormas sendiri, Pak. Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada mobil mewah mau masuk, dia setopin.

O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit. (David, show 1)

(116) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya habis operasi, “Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih, Tuhan.” Tapi, kalau kejadiannya lain. “Bapak, kami telah berusaha, tapi anak Bapak tidak bisa selamat dalam operasi ini.” “Dokter melakukan malpraktek! Dokter melakukan malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil, yang diterimkasihin Tuhan; kalau gagal yang disalahi dokter. Mungkin orang-orang lupa, tangan Tuhan bekerja lewat siapa. Maradona, tangan Tuhan. (Liant, show 6).

(117) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Teman-teman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum itu. Saya takutnya, ini lama-kelamaan sasando itu hanya bisa tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya anak datang, tanya ke saya.


(5)

O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara main bagaimana e?

O2: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu. O1: Ya begitu bagaimana?

O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik gitar). Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu.

O2: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak saja.(Abdur, show 14).

(118) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung, kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan.

O1: Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap? O2: Maaf, Kak, tadi ketinggalan.

O1: Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum! O2: Hukumannya apa, Kak?

O1: Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu? (Dzawin, show 7).

(119) Kalau menurut gua fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian, fungsi dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua fungsional. Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap. Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Ya kan? Padahal udah ditirai. Padahal udah ditirai, masih digerebek. Kan kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show 13).

(120) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan. Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak mengingat kita. Maksud saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi kalau kalian sudah korupsi. Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan begini, kalau misalnya. Tapi, jangan kalian pilih caleg yang seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus kalian pilih itu caleg yang jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri, show 6).

(121) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu sama seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut. Buat apa? Mau usir paus pakai orang-orangan sawah, hah? Maksud saya, tempatkan


(6)

segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya. Kementerian Desa Tertinggal ya taruh di desa tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela, begitu. Dia buka.

O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah, Indonesia sudah maju.

Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela. O1: Hei, ini jendela di mana ini?

Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini, desanya ditinggal. (Abdur, show 17).