mengundang gelak tawa penonton. Selain itu, pada wacana di atas terdapat tuturan yang mengandung informasi
yang  ambigu,  yakni  pada  kata  SSB.  Pada  umumnya,  terminologi  ini  dipahami sebagai  singkatan  dari  Sekolah  Sepak  Bola.  Namun,  untuk  menciptakan  efek
humor, comic menyimpangkan artinya menjadi Sekolah Senggol Bacok. Wacana  102  juga  tidak  mematuhi  maksim  relevansi,  yakni  ditandai
melalui tuturan dalam dialog O
1
dan O
2
. Pada saat O
1
memarahi dan menanyai O
2
karena  menyenggolnya,  penonton  berasumsi  bahwa  O
2
adalah  orang  lain  orang yang  tidak  dikenalinya  atau  tidak  setempat  asal  dengan  O
1
. Akan  tetapi,  comic membelokkan asumsi penonton dengan menyebut bahwa O
2
adalah anak O
1
.
3.4.2 Subtipe IIIb
Subtipe  IIIb  adalah  tuturan  yang  mematuhi  maksim  cara,  tetapi  tidak mematuhi  maksim  kuantitas,  maksim  kualitas,  dan  maksim  relevansi. Wacana  di
bawah ini termasuk dalam Subtipe IIIb. 103
Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi  Factor X, tapi nggak jadi.  Soalnya  yang  dinilai  bukan  suaranya,  tapi  tampangnya.
Lihat  aja  Mika  tuh  ya.  Mika  itu  cuma  modal  tampang  cakep. Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak
gini , “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih
suka  waktu  kamu  nyanyiinnya.  Feel-nya  lebih  dapet .”  Ini
bahaya kalau penontonnya itu  kebawa ke kehidupan sehari-hari gitu ya. Ada guru gitu, misal.
O
1
: Fatin, satu tambah satu berapa? O
2
: Dua, Bu. O
1
: Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka, tapi saya lebih  suka suka jawaban kamu  ya.  Feel-nya lebih
dapet. Beni, show 1. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Wacana  103  tidak  memiliki  tuturan  yang  bersifat  ambigu. Adapun  nama- nama penyanyi, seperti Mika, Once, dan Fatin, yang disebutkan pada wacana ini,
diucapkan secara jelas tanpa dipelesetkan oleh comic. Lain halnya dengan ujaran Factor  X. Tuturan  ini  dipelesetkan  comic  dari  nama  sebenarnya  X  Factor
–salah satu  ajang  pencarian  bakat  dalam  bidang  tarik  suara,  yang  tayang  di  stasiun
RCTI –, tetapi tidak menimbulkan ambiguitas.
Bagian wacana 103 yang tidak mematuhi maksim kuantitas ditandai dalam tuturan  kalo  dia  nggak  cakep,  pasti  jelek.  Keberadaan  tuturan  pasti  jelek
berlebihan dan tidak menambah informasi apapun dari tuturan sebelumnya. Frasa nggak cakep merupakan parafrasa dari kata jelek. Dengan demikian, kedua tuturan
tersebut memiliki dimensi makna yang sama. Adapun  tuturan  yang  tidak  mematuhi  masim  kualitas  ditandai  pada  ujaran
Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka, tapi saya lebih suka suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih dapet.  Tuturan tersebut dinilai tidak logis
dan  tidak  benar,  karena  pada  kenyataannya  penilaian  yang  diberikan  oleh  guru atas  jawaban  siswa  tidak  berdasarkan  pada  nilai  rasa  yang  didapatkannya  saat
siswa menjawab pertanyaannya, melainkan karena nilai kebenarannya. Sementara  itu,  tuturan  yang  tidak  mematuhi  maksim  relevansi  terdapat
pada tuturan Coba kalo dia nggak cakep –bagian set up– dan  tuturan pasti jelek –
yang  menjadi  punch  line.  Idealnya,  setelah  comic  melontarkan  set  up  ini, penonton  akan  berasumsi  bahwa  jika  Mika,  kontestan  bertampang  rupawan  di
X  Factor,  diandaikan  berburuk  rupa,  maka  keberadaannya  pada  kontes  tersebut tidak  akan  pernah  ada,  karena  menurut  opini  comic  ajang  kontes  bernyanyi  ini
hanya diperuntukkan bagi individu yang memiliki tampang menarik. Akan tetapi, comic  membiaskan  asumsi  tersebut  dengan  memberi  punch  line  yang  tidak
koheren dengan harapan penonton. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan