H. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di
Indonesia Tahun 2013 1.
Jenis Kelamin Balita
Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Konsistensi
hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil survei nasional di Brazil dan di Ghana yang menemukan bahwa anemia paling banyak terjadi pada
anak laki-laki Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014. Penelitian lainnya di Haiti juga menemukan hal yang sama bahwa anemia terjadi sedikit lebih
tinggi pada anak laki-laki di bandingkan dengan anak perempuan Ayoya dkk, 2013. Begitupun dengan penelitian Santos dkk 2011 juga
menemukan prevalensi anemia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan konsistensi hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa anemia cenderung terjadi pada anak laki-laki.
2. Usia Balita
Berdasarkan karakteristik usia, proporsi balita anemia lebih banyak ditemukan pada usia 24-35 bulan sedangkan proporsi balita yang tidak
anemia anemia lebih banyak ditemukan pada usia 48-59 bulan. Beberapa hasil penelitian lainnya juga menemukan hal yang serupa. Proporsi balita
anemia paling banyak terjadi pada kelompok usia ≤35 bulan Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011. Begitupun dengan penelitian
Santos dkk 2011 yang menemukan bahwa prevalensi anemia balita semakin tinggi pada kelompok usia yang lebih muda. Berdasarkan
konsistensi hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anemia balita cenderung terjadi pada usia ≤35 bulan.
3. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir pada penelitian ini diukur berdasarkan dokumen catatan kelahiran, hasil analisis pada penelitian ini menemukan bahwa
proporsi anemia lebih bayak ditemukan pada balita yang tidak BBLR. Namun pada proporsi tidak anemia, mayoritas balita tidak memiliki
riwayat BBLR. Hasil ini juga sesuai dengan hasil survei pada balita pribudi di Brazil yang menemukan bahwa proporsi anemia pada balita
BBLR dan tidak BBLR sama besar Leite dkk, 2013. Penelitian Lofoz dkk 2012 juga menemukan bahwa balita anemia cenderung memiliki
riwayat BBLR.
4. Riwayat Penyakit Malaria
Riwayat penyakit malaria berdasarkan hasil diagnosis dokter yang dikumpulkan melalui wawancara. Berdasarkan hasil analisis pada
penelitian ini, 98,9 balita yang anemia tidak memiliki riwayat penyakit malaria. Hal ini dimungkinkan karena daerah endemis malaria di
Indonesia hanya sebesar 15 yaitu provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Riskesdas, 2013.
Pada dasarnya, malaria merupakan penyumbang utama anemia di dunia Shaw dan Frieman, 2011. Malaria memiliki hubungan yang kuat
dengan peningkatan prevalensi anemia karena mekanisme penghancuran sel darah merah oleh parasit plasmodium. Penyebab anemia pada penderita
malaria disebabkan karena parasit menempati sel darah merah sehingga membuat sel hemolisis. Malaria berat disertai dengan defisit glukosa-6-
fosfat dehidrogenase G6PDD sangat berisiko memperparah hemolisis Hussein dan Mohammed, 2014.
Penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan antara anemia dan infeksi malaria. Hal ini dikarenakan rendahnya prevalensi malaria di
area penelitian Gutema dkk, 2014. Namun penelitian pada balita di wilayah rural di Kenya menemukan 32,5 balita anemia terinfeksi malaria
Foote dkk, 2013.Penelitian di Sudan juga menemukan sebagian besar balita terkena beberapa serangan malaria pada tahun sebelum tanggal
penelitian. Hal ini disebabkan karena Sudan merupakan wilayah endemis malaria Hussein dan Mohammed, 2014.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa sebesar sebesar 66,7 balita yang memiliki riwayat penyakit malaria Tropicana falcifarum
menderita anemia. Berbagai spesies Plasmodium menyebabkan malaria, namun P. falciparum adalah yang paling sering menimbulkan anemia pada
anak-anak. Bertentangan dengan anemia defisiensi besi yang berkembang perlahan, P. falciparum menyebabkan anemia berat dan mendalam dalam
waktu hanya 48 jam setelah demam. Plasmodium lain juga berkontribusi terhadap malaria termasuk P. vivax dan P malaria namun tidak separah P.
falciparum Sanou dan Ngnie-Teta, 2012 Menurut teori, infeksi Plasmodium sp. menjadi infeksi yang
dominan secara signifikan menurunkan kadar hemogoblin dan meningkatkan risiko anemia. Semakin berat infeksinya semakin
berdampak pada rendahnya level hemoglobin. Siklus hidup parasit plasmodium meningkatkan hemolisis sel darah merah secara langsung atau
pada proses inflamasi cytokine sehingga pada individu yang terinfeksi, proses produksi sel darah merah yang baru tidak akan mencukupi untuk
mengganti sel darah yang rusak Green dkk, 2011.
5. Status Gizi Balita