2. Usia balita
Usia merupakan faktor risiko seseorang untuk terkena anemia. Menurut WHO 2008 anemia dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan
manusia namun lebih berisiko terjadi pada balita dan ibu hamil. Hasil penelitian menemukan bahwa terjadi peningkatan risiko pada kelompok
usia balita yang lebih muda 12-35 bulan sebesar 2,62 kali dibandingkan kelompok usia 36-59 bulan dan secara statistik ditemukan hubungan yang
signifikan antara kejadian anemia dengan usia balita 95 CI 1,96-3,50. Hasil penelitian ini telah memenuhi kriteria kausalitas Hill dengan
menunjukkan kekuatan hubungan secara statistik. Hubungan antara usia balita dengan kejadian anemia dalam
penelitian ini terlihat pada distribusi masing-masing kelompok anemia dan tidak anemia. Sebanyak 57,4 dari kelompok anemia adalah balita berusia
12-35 bulan. Sedangkan hanya 34 dari kelompok tidak anemia yang berusia 12-35 bulan. Berdasarkan kemampuan alat pencernaan dan juga
kebutuhan gizinya, balita terbagi menjadi dua, yaitu balita yang berusia 12-35 bulan dan balita berusia 36-60 bulan. Pada anak balita yang berusia
12-35 bulan bisa disebut sebagai konsumen pasif karena hanya menerima makanan dari pengasuhnya, sedangkan pada balita 36-60 bulan adalah
konsumen aktif karena dapat menentukan makanan dalam variasi yang berbeda sesuai keinginannya Prikasih dan Suganti, 2009. Dapat
disimpulkan bahwa anemia pada balita 12-36 bulan kemungkinan juga disebabkan karena praktik pemberian makanan dari orangtua.
Pendapat lain mengatakan bahwa balita yang memiliki usia lebih tua umumnya memiliki tingkat toleransi yang lebih baik terhadap makanan
yang mengandung besi serta peningkatan kekebalan tubuh sehingga terlindungi dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia Habte
dkk, 2013. Andriana dan Sumarmi 2006 menjelaskan pada penelitiannya di Sidoarjo bahwa pada usia 12
–23 bulan merupakan masa peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa serta masa yang paling
kritis karena adanya bahaya ketidakcukupan gizi dan penyakit infeksi pada balita. Selain itu, pada masa di atas satu tahun anak-anak memerlukan
makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya, sehingga balita rentan mengalami anemia terutama anemia gizi.
Hasil pada penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian lainnya yang menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dengan
umur balita, Leal dkk 2011 menemukan bahwa balita usia 6-24 bulan lebih berisiko anemia baik pada wilayah urban [OR 2,4 95 CI 1.92-
2.94] maupun wilayah rural [OR 3.0 95 CI 2.46-3.63]. Hasil penelitian lainnya juga menemukan hal yang sama Ayoya dkk, 2011;
Foote dkk, 2013. Kelompok umur dibawah 24 bulan berisiko 2,6 kali lebih besar mengalami anemia p : 0,000 CI 1,7-3,8 Assefa dkk, 2014.
Pada hasil penelitian di kota Gaza Palestina, rata-rata anemia balita dalam komunitas ini terjadi pada usia 1,75 tahun. Penjelasan mengenai
penurunan kadar hemoglobin pada anak-anak ini yaitu anak-anak sedang berada pada periode ledakan pertumbuhan yang cepat tetapi kebutuhan
gizi untuk pembentukan sel darah merah tidak terpenuhi Alzain, 2012.
Berdasarkan hasil penelitian, semakin tua umur anak maka akan memiliki efek proteksi terhadap anemia Leite dkk, 2013. Hal ini juga didukung
oleh hasil penelitian Shinoda 2012, semakin muda umur anak maka semakin tinggi risikonya mengalami anemia. Anemia juga lebih banyak
ditemukan pada anak-anak usia 12-17 bulan dibandingkan dengan anak- anak usia 36-59 bulan Singh dan Patra, 2014. Penelitian Ewusie dkk
2014 juga mengatakan bahwa prevalensi anemia pada balita usia 3 tahun ditemukan paling tinggi 95 CI 8,44-8,98.
Meskipun usia balita merupakan faktor risiko anemia yang tidak bisa dimodifikasi, bukan berarti tidak dapat dilakukan upaya pencegahan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pemeriksaan anemia pada balita pada setiap kelompok usia risiko, disarankan kepada
pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk dapat melakukan kegiatan skrining tersebut di Puskesmas atau Posyandu di masing-masing wilayah
sebagai bagian dari kegiatan penyelenggaraan kesehatan anak.
3. Berat Badan Lahir