norma dan budaya mereka. Penduduk dalam penelitian ini menganggap makanan selain nasi adalah lauk, dan mereka tidak mempertimbangkan
jumlah tertentu yang diperlukan untuk setiap anggota keluarga Kounnavong dkk, 2011.
5. Tempat Tinggal
Hasil analisis berdasarkan tempat tinggal tidak menemukan adanya perbedaan risiko yang signifikan antara kota dan desa dengan kejadian
anemia balita dan secara statistik juga tidak ditemukan adanya hubungan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia. Hasil ini didukung dengan
hasil penelitian di Papua New Ginea yang juga tidak menemukan adanya hubungan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia Shinoda dkk,
2012. Konstantiyer dkk 2012 berpendapat bahwa balita yang tinggal di
daerah perkotaan berisiko tinggi mengalami anemia. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota dalam dekade baru-
baru ini. Di Indonesia, diperkirakan pertambahan penduduk kota akan mencapai 95 dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 Santoso,
2006. Akibatnya adanya urbanisasi ini, penduduk hidup dalam kondisi miskin di kota besar dan juga terjadi perubahan gaya hidup di daerah
perkotaan seperti
moderenisasi, banyaknya
industri makanan,
menurunnya kesadaran dan pengetahuan kebutuhan makanan balita serta ketiadaan pengasuhan yang diberikan orang dewasa. Hal ini
mengakibatkan kualitas hidup dan kesehatan populasi di wilayah perkotaan khususnya di kota bersiko karena adanya perubahan gaya hidup
dan mudahnya akses terhadap makanan hasil olahan industri Konstantiyer dkk 2012.
Selain itu, faktor risiko terjadinya anemia di perkotaan adalah adanya polusi timbal. Timbal yang terhirup pada saat bernafas akan masuk
ke dalam pembuluh darah paru-paru. Logam timbal yang masuk ke paru- paru akan terserap dan berikatan dengan darah. Sekitar 95 timbal dalam
darah diikat oleh sel darah merah. Hal ini dapat mengakibatkan keracunan timbal yang berdampak pada biosintesis hem dan menghambat eritroblas
sehingga menimbulkan anemia. Pencemaran timbal di udara biasanya disebabkan oleh industri dan gas buang kendaraan bermotor, seperti yang
terjadi di kota-kota Indonesia Gusnita, 2010. Hal ini dapat meningkatkan prevalensi anemia di wilayah perkotaan.
Akan tetapi hasil penelitian tidak menemukan hubungan antara tempat tinggal dan anemia, pendapat lainnya mengatakan bahwa wilayah
pedesaanrural lebih berisiko untuk menimbulkan anemia Foote dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014. Penelitian di Lao menemukan tingginya
prevalensi anemia pada balita yang tinggal di desa disebabkan karena akses ke sumber pangan yang sulit dan rendahnya pengetahuan tentang
sumber pangan gizi yang baik Kounnavong dkk, 2011.
89
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Prevalensi anemia pada balita di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 mencapai 31,56
2. Distribusi kejadian anemia balita lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dan pada usia 24-35 bulan. Kemudian anemia balita sebagian besar tidak
memiliki riwayat BBLR dan mayoritas tidak memiliki riwayat penyakit malaria. Berdasarkan status gizi BBU, anemia lebih banyak terjadi pada
balita dengan gizi baik. Begitupun dengan status gizi berdasarkan TBU dan BBTB, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan tinggi normal
dan berat normal. Proporsi anemia juga lebih banyak terjadi pada balita yang diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali dan memiliki status
imunisasi DPT lengkap. 3. Distribusi anemia balita paling banyak terjadi pada balita yang memiliki
ibu tamat SD. Hanya sebagian kecil anemia balita terjadi pada ibu yang bekerja dan sebagian besar anemia balita terjadi pada ibu yang bekerja
sebagai petaninelayanburuh. Kemudian anemia balita lebih banyak terjadi pada ibu dengan kelompok usia 25-34 tahun. Distribusi kejadian
anemia mayoritas terjadi pada jumlah anggota keluarga 5, sedangkan berdasarkan tempat tinggal, tidak ada perbedaan proporsi anemia balita di
desa atau kota.