Berdasarkan hasil penelitian, semakin tua umur anak maka akan memiliki efek proteksi terhadap anemia Leite dkk, 2013. Hal ini juga didukung
oleh hasil penelitian Shinoda 2012, semakin muda umur anak maka semakin tinggi risikonya mengalami anemia. Anemia juga lebih banyak
ditemukan pada anak-anak usia 12-17 bulan dibandingkan dengan anak- anak usia 36-59 bulan Singh dan Patra, 2014. Penelitian Ewusie dkk
2014 juga mengatakan bahwa prevalensi anemia pada balita usia 3 tahun ditemukan paling tinggi 95 CI 8,44-8,98.
Meskipun usia balita merupakan faktor risiko anemia yang tidak bisa dimodifikasi, bukan berarti tidak dapat dilakukan upaya pencegahan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pemeriksaan anemia pada balita pada setiap kelompok usia risiko, disarankan kepada
pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk dapat melakukan kegiatan skrining tersebut di Puskesmas atau Posyandu di masing-masing wilayah
sebagai bagian dari kegiatan penyelenggaraan kesehatan anak.
3. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir adalah pengukuran yang dilakukan sesaat setelah bayi lahir. Standar berat badan lahir pada penelitian ini menggunakan
standar dari WHO, yaitu dikatakan BBLR apabila berat lahir 2500 gram WHO, 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa BBLR berhubungan
dengan kejadian anemia, balita yang BBLR berisiko 4,36 lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan balita yang tidak BBLR 95 CI
2,74-6,94. Hal ini menunjukkan bahwa BBLR merupakan faktor risiko trjadinya anemia pada balita.
Pada dasarnya berat bayi saat lahir merupakan akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan
Uniceff, 2012. Berat badan lahir berhubungan dengan faktor maternal,
ibu yang mengalami anemia selama kehamilan cenderung untuk melahirkan anak dengan BBLR Leite dkk, 2013. Anemia merupakan
masalah yang sangat penting selama kehamilan karena dampak buruk yang ditimbulkan yaitu BBLR. Hal ini disebabkan karena pada ibu hamil yang
anemia tidak mampu membawa nutrisi dan oksigen untuk kecukupan perkembangan janin Uchimura dkk, 2003.
Hasil penelitian di Brazil menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi hemoglobin pada balita dengan BBLR adalah 9,7 grdl. Selain itu, balita
BBLR memiliki risiko 3,03 kali lebih besar menderita anemia. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan berat lahir di bawah 2.500 gram
tiga kali lebih mungkin mengalami anemia dibandingkan dengan berat lebih dari 2.500 gram Uchimura dkk, 2003. Penelitian di Cuba pada
tahun 2011 juga menemukan hubungan yang signifikan antara BBLR dan anemia yaitu OR 1.74 95 CI 1.04
–2.92 Pita dkk, 2011. Begitupun dengan penelitan Konstantyner dkk 2012 juga menemukan hubungan
antara BBLR dan anemia 95 CI 3.23-3.33. Meskipun begitu, pada penelitian lainnya tidak menemukan hubungan antara BBLR dengan
kejadian anemia baik diwilayah urban OR 1.2 0.84;1.65 maupun di wilayah rural OR 1.0 0.66;1.38 Leal dkk, 2011. Begitupun dengan
penelitian Assis dkk 2004 juga tidak menemukan hubungan antara BBLR dan anemia 95 CI 0.82 0.49-1.37.
Uchimura dkk 2003 menjelaskan bahwa dalam studi berbasis populasi, BBLR dan anemia selalu berkorelasi. Berat lahir merupakan
faktor yang sangat penting dalam penentuan anemia dan ketika terjadi pertumbuhan yang cepat dari seorang balita BBLR maka juga dapat terjadi
anemia. Hal ini dapat dikarenakan bayi yang lahir dengan berat lahir normal memiliki simpanan besi yang lebih banyak dibandingkan bayi
yang berat lahirnya kurang dari normal. Selain hal tersebut, berat bayi lahir kurang memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan bayi
yang lahir dengan berat normal, sehingga simpanan besi yang mereka miliki lebih cepat habis terpakai untuk proses metabolisme dibandingkan
bayi yang lahir dengan berat normal. Bayi yang BBLR mempunyai cadangan besi lebih rendah dibandingkan dengan bayi normal. Oleh sebab
itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka
pada usia 9 bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal Helmyati dkk, 2007.
Pada periode posnatal, zat besi digunakan untuk pertumbuhan, proses konsumsi dan penyerapan besi pada periode ini sangat cepat.
Semakin cepat pertumbuhan, semakin berisiko mengalami defisiensi zat besi. Anak-anak dengan berat lahir rendah memiliki risiko lebih banyak.
Pada kondisi ini mereka mulai tumbuh dengan cadangan besi yang rendah, sedangkan terjadi pertumbuhan posnatal yang cepat Pita dkk, 2014.
Berdasarkan hasil penelitian, pencegahan terhadap BBLR dapat mengurangi risiko kematian dan anemia Pita dkk, 2014. Suplementasi
tablet besi merupakan salah satu cara yang bermanfaat dalam mengatasi anemia khususnya anemia akibat kekurangan zat besi. Salah satu upaya
unuk mencegah terjadianya kekurangan gizi pada balita adalah yaitu dengan program taburia. Taburia merupakan suplementasi multivitamin
dimana salah satu kandungannya adalah zat besi Kemenkes, 2013. Oleh sebab itu, disarankan kepada pemerintah untuk dapat memberikan taburia
kepada balita dengan faktor risiko yang tinggi seperti BBLR. Selain itu, menurut IDI 2011 balita dengan berat lahir rendah yang tidak mendapat
formula yang difortifikasi besi perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan. Hal tersebut dilakukan untuk
menditeksi dan menanggulangi masalah anemia pada balita sehingga tidak menimbulkan dampak yang buruk.
4. Status Gizi Balita