Gambar 10 Perkembangan stok karbon tanaman pengayaan
5.3. Unsur-unsur yang Mengurangi Stok Karbon
5.3.1. Pemanenan Kayu
Besar kecilnya volume tebangan JPT pada setiap skenario berbeda-beda tergantung pada siklus tebang dan limit DBH tebang yang ditetapkan. JPT
diperoleh dari intensitas tebangan per hektar dikalikan JPT luasnya. JPT luas diperoleh dari luas efektif untuk produksi seluas 33.205 ha dibagi siklus
tebangnya. Intensitas tebangan itu sendiri nilainya sebesar 0,56 dari volume kayu pada batas DBH tebangan tertentu berdasarkan data volume tegakan hasil IHMB
2010. Pada Tabel 22 disajikan nilai JPT m
3
th dan intensitas tebangan m
3
ha setiap skenario. Skenario baseline dengan menerapkan rotasi tebang 30 th dan
batas DBH 40 cm, memiliki JPT tertinggi yakni 91.006 m
3
th, dengan intensitas tebangan 82,21 m
3
ha dan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 11,34 btgha. Adapun skenario-6 dengan siklus tebang 35 th dan limit DBH 60 cm, memiliki
JPT terkecil yaitu sebesar 56.807 m
3
th, dengan intensitas tebangan 59,86 m
3
ha dan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 8,26 btgha.
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
to n
C h
a
Tahun
Skenario baseline,1, 2, 3 Skenario 4, 5, 6
Tabel 22 Intensitas tebangan dan JPT volume pada setiap skenario
Skena rio
Rotasi tebang
th Batas
DBH cm
Intensitas tebang
m
3
ha Pohon yg
ditebang btgha
JPT luas
hath JPT vol.
m
3
th Base-
line 30
40 82,21
11,34 1107
91.006 1
30 50
71,74 9,89
1107 79.416
2 30
60 59,86
8,26 1107
66.265 3
30 40
61,66 8,50
1107 68.258
4 35
40 82,21
11,34 949
78.017 5
35 50
71,74 9,89
949 68.081
6 35
60 59,86
8,26 949
56.807
5.3.2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal a. Akibat kegiatan pemanenan kayu
Hasil kajian Indriyati 2010 di PT SSS menunjukkan bahwa pada intensitas tebangan 7,2 btgha jumlah tegakan tinggal DBH=20-49 cm yang
rusak sebanyak 16,5 btgha atau 21,48 dari kerapatan awal 76,8 btgha, yang terdiri dari : 9,3 btgha akibat penebangan dan 7,2 btgha akibat penyaradan. Jadi
setiap penebangan 1 pohon mengakibatkan 2,3 pohon rusak 3 dari kerapatan awal. Dari sejumlah tegakan tinggal yang rusak tersebut, sebanyak 10,6 btgha
mengalami rusak berat atau 13,8 dari kerapatan awal, yang terdiri dari 6,3 btgha rusak berat akibat penebangan 8,2 dan 4,3 btgha akibat penyaradan.
Dengan demikian setiap penebangan 1 pohon menyebabkan 1,5 pohon rusak berat 2 dari kerapatan awal. Kondisi pohon yang rusak berat tersebut
dijumpai pada kelas DBH 20-29 cm sebanyak 5 batang, pada DBH 30-39 cm sebanyak 3,2 batang dan pada DBH 40-49 cm sebanyak 1 batang. Untuk
kerusakan pada tingkat tiang DBH 10-19 cm mengacu hasil studi Elias et al. 1997 yakni sebesar 24,6, dan diasumsikan sebanyak 70 dari tingkat tiang
yang rusak tersebut masuk kategori rusak berat. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dihitung jumlah pohon per hektar
pada tegakan tinggal yang rusak berat. Pohon-pohon yang rusak berat ini diduga kuat semuanya akan mati. Tegakan tinggal yang tingkat kerusakannya sedang
atau ringan tidak dihitung karena akan bertahan hidup sehingga tidak akan
menambah jumlah nekromassa berkayu. Pada Tabel 23 tersaji data jumlah pohon btgha dan volume pohon m
3
ha yang mengalami kerusakan berat akibat kegiatan penebangan dan penyaradan untuk setiap skenario. Pada tabel tersebut
terlihat bahwa limit diameter tebangan selain memengaruhi jumlah pohon yang ditebang dalam satu hektar, juga akan menentukan jumlah tegakan tinggal yang
rusak oleh kegiatan pemanenan. Pada tebangan dengan limit diameter 40 cm dimana intensitas tebangannya 11,34 btgha mengakibatkan jumlah pohon rusak
berat terbanyak yaitu 58,90 btgha. Kegiatan pembalakan yang menerapkan RIL, berdasarkan hasil kajian Putz et al. 2008, akan mengurangi kerusakan tegakan
tinggal sebesar 50, sehingga jumlah pohon yang rusak berat pada skenario PHL dengan RIL hanya setengahnya dari skenario baseline dengan CL.
b. Akibat kegiatan pembukaan wilayah hutan PWH