1. Permenhut No. P.68Menhut-II2008, tertanggal 11 Desember 2008 tentang
Penyelengaraan Implementasi dari Kegiatan Demonstrasi Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan REDD.
2. Permenhut No. P.30Menhut-II2009, tertanggal 1 Mei 2009 tentang Tata
Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan REDD. 3.
Permenhut No. P.36Menhut-II2009, tertanggal 22 Mei 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan danatau Penyimpanan
Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. 4.
Permenhut No. P.20Menhut-II2012, tertanggal 23 April 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.
2.3. Pengelolaan Hutan Lestari PHL
Prinsip Pengelolaan Hutan Lestari PHL ini mengubah secara mendasar cara pandang terhadap hutan, yaitu dari cara pandang hutan sebagai penghasil
kayu dalam sustainable yield principles, yang kemudian disempurnakan menjadi fungsi hutan yang bermanfaat ganda multiple use of the forest
principle; ke arah cara pandang hutan sebagai ekosistem yang secara utuh harus memberikan manfaat ekonomis, ekologis, dan sosial budaya bagi manusia, untuk
generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berkelanjutan Suhendang 2002.
Sampai saat ini telah banyak ditetapkan konsep dan definisi mengenai PHL, beberapa di antaranya yang dianggap penting adalah Helms 1998 dalam
Suhendang 2002 :
a. Menurut hasil UNCED Rio de Janeiro 1992 PHL adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari
hutan untuk generasi kini dan tidak boleh mengorbankan kemampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang
akan datang.
b. Menurut International Tropical Timber Organization atau ITTO 1998
PHL adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan
yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak
yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Jadi, PHL mempunyai tiga ciri, yaitu: 1 kesinambungan produksi dan jasa hutan, 2
kelestarian lingkungan fisik hutan tanah, flora, fauna, hidrologi, iklim, dan 3 kelestarian lingkungan sosial masyarakat meliputi sosial, ekonomi, dan budaya
Soerianegara 1995 Guna kepentingan penerapan prinsip PHL dalam pengurusan hutan di
Indonesia, diperlukan seperangkat kriteria dan indikator mengenai PHL, baik untuk pengurusan hutan tingkat nasional maupun pengelolaan hutan pada tingkat
kesatuan pengelolaan hutan Suhendang 2002. Pada saat ini Indonesia telah memiliki kriteria dan indikator PHL untuk pengelolaan hutan produksi alam pada
tingkat kesatuan pengelolaan hutan yang disusun dengan mengacu kepada LEI 2000: 1 ITTO Criteria and Indicators for Sustainable Management of Natural
Tropical Forest, 2 The International Organization for Standardization ISO Standard 14.000 Series, dan 3 The Principles and Criteria for Forest
Management of Forest Stewardship Council FSC. Standar Pengelolaan Hutan Produksi Lestari PHPL dan Pedoman
Pelaksanaan Sertifikasi PHPL untuk Indonesia telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional BSN pada tahun 1998.
Kriteria dan indikator yang ditetapkan untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan di Indonesia
sebagaimana dimuat dalam Standar LEI 5000-1, Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, adalah LEI 2000:
1. Kelestarian Fungsi Produksi, dengan tiga kriteria yaitu: 1
Kelestarian Sumberdaya Hutan, 2 Kelestarian Hasil Hutan, dan 3 Kelestarian Usaha.
2. Kelestarian Fungsi Ekologi, dengan dua kriteria yaitu: 1 Stabilitas
Ekosistem, 2 Sintasan Survival Spesies EndemikLangkaDilindungi.
3. Kelestarian Fungsi Sosial,
dengan lima kriteria yaitu: 1 Terjaminnya Sistem Tenurial Hutan Komunitas, 2 Terjaminnya Ketahan dan
Pengembangan Ekonomi Kemunitas dan Karyawan, 3 Terjaminnya Keberlangsungan Integrasi Sosial dan Cultural Komunitas dan Karyawan, 4
Realisasi Tanggung Jawab Rehabilitasi Status Gizi dan Penanggulangan Dampak Kesehatan, dan 5 Jaminan atas Hak-hak Tenaga Kerja.
2.4. Simpanan Karbon melalui Penerapan PHL
Penerapan PHL di suatu areal IUPHHK-HA berpotensi mencegah emisi karbon melalui pencegahan degradasi hutan dan juga meningkatkan penyimpanan
karbon melalui pertumbuhan kembali regrowth dan restorasi rehabilitasi hutan Rusolono 2009. Di wilayah Peten, Guatemala, konsesi hutan bersertifikat FSC
20 kali lebih rendah laju deforestasi dan laju kebakaran hutannya dibandingkan areal yang dilindungi Hughell dan Butterfield 2008 dalam Rusolono 2009.
Menurut Masripatin 2010, terkait dengan perubahan iklim, selain PHL, semua kegiatan kehutanan Indonesia pada dasarnya masuk dalam kategori
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD+, sebagai contoh:
1 Pengurangan emisi dari deforestasi melalui pencegahan atau meminimalkan
konversi hutan, pencegahan perambahan yang berakhir dengan perubahan tata guna lahan,
2. Pengurangan degradasi hutan melalui pemanenan kayu ramah lingkungan
atau reduce impact logging RIL, pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, dan penanganan perladangan berpindah,
3. Menjaga stok karbon melalui konservasi hutan,
4. Peningkatan stok karbon hutan melalui penanaman dan kegiatan lain yang mendorong peremajaan hutan, misalnya melalui restorasi hutan.
Salah satu kriteria pengelolaan hutan produksi lestari PHPL adalah penerapan RIL yang merupakan kriteria 2 dan 3 dalam ”Kriteria dan Indikator
Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan” seperti yang tertuang dalam SK Menhut
Nomor 4795KPTS-112002. Di dalam Standar LEI 5000-1, Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, RIL tertera dalam Aspek Kelestarian Fungsi
Produksi yaitu pada Kriteria 2: Kelestarian Hasil Hutan dan Indikator P2.8: Penerapan reduce impact logging LEI 2000.
Upaya pengurangan emisi karbon global selain dilakukan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, juga dapat dicapai melalui perbaikan
pengelolaan hutan improved forest management, IFM Putz et al. 2008. Salah satu bentuk IFM adalah penerapan RIL di hutan alam produksi. Menurut Hurd
2009, RIL adalah serangkaian tindakan atau praktik guna meminimalkan dampak negatif terhadap hutan dari operasi pemanenan kayu. Adapun menurut
CIFOR 2009, RIL atau pembalakan berdampak rendah, adalah penebangan pohon yang dilakukan dengan terencana dan berdasarkan prinsip kehati-hatian
untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. RIL juga dapat mengurangi emisi gas yang disebabkan oleh kegiatan pembalakan.
Berdasarkan kajian Putz et al. 2008 di Malaysia, pada periode 30 tahun setelah penebangan, di kawasan hutan bekas tebangan LOA yang dibalak
dengan metode RIL diprediksi memiliki simpanan karbon lebih tinggi 30 tonha dibandingkan dengan LOA yang dibalak dengan metode pemanenan
konvensional conventional logging, CL. Dengan demikian penerapan RIL akan mengurangi emisi karbon sekitar 30. Hal yang sama ditemukan pula pada hasil
uji coba di kawasan hutan Amazon, Brasil Tabel 1. Tabel 1 Karbon yang hilang dan disimpan akibat penerapan metode CL dan RIL
No. Keterangan Malaysia Brasil
1 Total karbon di hutan yang tidak ditebang ton Cha
213 186
2 Intensitas tebangan m
3
ha 125
30 3
Karbon yang hilang dan disimpan setelah 30 tahun a. Hilang karena metode CL ton Cha
108 19
b. Hilang karena metode RIL ton Cha 78
12 c. Karbon yang disimpan oleh metode RIL ton Cha
30 7
4. Karbon yang hilang dan disimpan setelah 60 tahun
a. Hilang karena metode CL ton Cha 93
24 b. Hilang karena metode RIL ton Cha
57 14
c. Karbon yang disimpan oleh metode RIL ton Cha 36
10 Sumber: Putz et al. 2008
Selain itu, penerapan RIL dapat mencegah 50 kerusakan pada tegakan tinggal. Apabila RIL diterapkan di seluruh hutan tropika dunia, akan mengurangi
emisi sebesar 0,16 gigaton karbontahun, atau sekitar 10 dari total emisi karbon dari deforestasi hutan tropika global sebesar 1,5 gigaton karbontahun atau 20
total emisi karbon antropogenik global. Dari segi pembiayaan, Holmes et al. 1999 dalam Priyadi et al. 2009 mengestimasi biaya pembalakan dengan
metode RIL lebih hemat sebesar 12 dibandingkan metode CL.
2.5. Deforestasi dan Degradasi Hutan 2.5.1. Definisi Hutan