Kerusakan Mie Basah Aplikasi Ekstrak Kunyit (Curcuma Domestica) Sebagai Bahan Pengawet Mie Basah

24 lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal. Tahap selanjutnya adalah pembentukan lembaran. Proses ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan menjadi lembaran Badrudin, 1994. Lembaran yang diharapkan berupa lembaran yang halus dengan arah serat searah. Lembaran selanjutnya diistirahatkan selama 15 menit dan sebaiknya dalam keadaan digulung dan dibungkus. Tujuan pengistirahatan adalah untuk menyempurnakan pembentukan gluten. Setelah diistirahatkan, pemotongan lembaran dilakukan dengan memotong mie menjadi untaian benang-benang mie yang memiliki tebal 1-3 mm. Untuk mie basah mentah, proses selanjutnya adalah pemupuran dengan menggunakan tapioka. Tujuan pemupuran adalah agar mie tidak lengket satu sama lain. Sedangkan untuk mie basah matang, mie langsung direbusdikukus. Tujuan dari perebusanpengukusan adalah agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal Badrudin, 1994. Mie yang telah direbusdikukus selanjutnya dilumuri dengan minyak kelapa dengan tujuan untaian mie tidak lengket satu sama lain, memberikan citarasa, serta meningkatkan warna dan penampakan mie agar tampak lebih mengkilap Mugiarti, 2001.

3. Kerusakan Mie Basah

Masa simpan mie basah mentah berkisar 50-60 jam, sedangkan mie basah matang adalah 40 jam, pada suhu lemari es Hoseney, 1998. Umur simpan mie basah matang pada suhu ruang adalah 26 jam Pahrudin, 2005. Menurut Chamdani 2005, mie basah mentah memiliki umur simpan 24 jam pada suhu ruang. Kerusakan pada mie basah, baik mentah maupun matang, biasanya ditandai dengan tumbuhnya kapang. Hal ini disebabkan oleh kadar air mie basah yang cukup tinggi yaitu 35 mie basah mentah dan 52 mie basah matang. Tingginya kadar air pada mie basah matang disebabkan karena mie telah mengalami perebusan atau pengukusan. 25 Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mie. Miselium kapang pada mie umumnya berwarna putih atau hitam Hoseney, 1998. Mikroba lain yang tumbuh pada mie adalah bakteri yang ditandai dengan terbentuknya lendir dan diikuti dengan timbulnya bau asam. Mikroba yang terdapat pada mie diduga berasal dari bahan baku yaitu tepung. Selain dari tepung, mikroba juga dapat berasal dari lingkungan, pekerja dan alat yang digunakan pada pembuatan mie basah. Mikroorganisme yang terdapat pada tepung yaitu kapang, khamir, dan bakteri Christensen, 1974. Bakteri yang terdapat pada tepung yaitu Pseudomonas , Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium . Kapang yang ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium. Selain pertumbuhan kapang dan bakteri, pada mie basah mentah juga terjadi perubahan warna mie menjadi lebih gelap. Perubahan warna ini diperkirakan karena adanya enzim polifenoloksidase yaitu enzim yang menyebabkan terjadinya browning Hoseney, 1998. Enzim polifenoloksidase pada mie berasal dari tepung terigu. Tepung terigu dengan kandungan protein tinggi yaitu yang biasa digunakan untuk pembuatan mie memiliki aktivitas enzim polifenoloksidase yang tinggi. Sedangkan pada mie basah matang, tidak terjadi perubahan warna karena enzim polifenoloksidase telah rusak selama proses perebusanpengukusan Hoseney, 1998. Perubahan-perubahan yang terjadi lainnya adalah munculnya bau asam, tekstur mie menjadi lengket, hancur, patah-patah, dan lembek Gracecia, 2005. Menurut hasil penelitian Gracecia 2005, penyebab utama kerusakan mie basah untuk tiap daerah berbeda-beda. Penyebab kerusakan mie basah mentah untuk daerah Jakarta adalah mie telah kadaluarsa dan kurangnya pengawetobat, sedangkan untuk daerah Bogor penyebab utamanya adalah jamur dan kurangnya pengawet. Masa simpan mie basah yang cukup singkat menyebabkan banyak usaha untuk memperpanjang masa simpannya dengan menambahkan 26 pengawet. Pengawet menurut Departemen Kesehatan 1988, adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut Winarno dan Rahayu 1994, teknik pembuatan mie basah yang berhasil dan cukup awet adalah dengan menggunakan CMC atau bahan pengembang mie seperti natrium alginat, natrium kaseinat, gum guar, dan gum cayana serta zat pengawet kalsium propionat sebanyak 0.38. Campuran bahan kimia ini sering disebut sebagai obat mie atau dough improver . Chamdani 2005 pada penelitiannya mengaplikasikan pengawet kalsium propionat, metil parabens, natrium asetat, dan monolaurin pada mie basah mentah. Pemilihan keempat jenis pengawet tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan faktor ekonomis, aman, dan spektrum pH yang luas. Dari keempat jenis pengawet yang diperoleh, kombinasi Ca-propionat 0.075 + Parabens 0.025 + Na-asetat 2.5 memberikan daya pengawetan terpilih terhadap umur simpan mie basah mentah yaitu 76 jam. Pahrudin 2005 menerapkan pengawet tersebut pada mie basah matang. Mie basah matang yang diproduksi menggunakan kombinasi Monolaurin 0.25 + Metil-paraben 0.025 + Ca-propionat 0.075 + Na-asetat 2.5 merupakan mie dengan umur simpan terpanjang yaitu 56 jam. Keefektifan pengawet tergantung pada jumlah pengawet yang ditambahkan dan pH atau keasaman produk pangan. Menurut Winarno dan Rahayu 1994, aktivitas pengawet meningkat bila pH diturunkan. Pengawet terbagi atas dua jenis yaitu pengawet sintetis dan alami. Jenis pengawet yang digunakan pada penelitian ini adalah pengawet alami yaitu kunyit. B. KUNYIT 1. Botani Kunyit Kunyit adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan sebagai bumbu dalam berbagai jenis masakan. Kunyit memiliki nama latin Curcuma domestica yang menggantikan nama sebelumnya yaitu Curcuma 27 longa . Nama latin Curcuma domestica untuk kunyit diperkenalkan oleh Valeton pada tahun 1918. Tanaman kunyit termasuk jenis tanaman herba yaitu tanaman tahunan yang memiliki tinggi hampir mencapai 1 meter, berbatang pendek, dan berdaun jumbai. Gambar 2 menunjukkan penampakan tanaman kunyit. Gambar 2. Tanaman kunyit Curcuma domestica Anonim b, 2006 Tanaman kunyit dapat tumbuh dimana saja, baik dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut Sinaga 2006, pada dataran tinggi, tanaman kunyit dapat tumbuh di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya didukung oleh tanah yang tata pengairannya baik, curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, dan di tempat yang sedikit terlindung Sumiati dan Adnyana, 2004. Di Indonesia, tanaman kunyit mudah tumbuh hampir di seluruh wilayah, di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, lrian, dan lain-lain. Selain di Indonesia, kunyit juga banyak ditanam di Malaysia, Thailand, Cina, India, dan Vietnam. Kunyit biasanya dipanen pada umur berkisar 7-9 bulan setelah penanaman, yang ditandai dengan batang tumbuhan mulai layu atau mengering. Kunyit yang baru dipanen biasanya memiliki kadar air sekitar 90 Sumangat et al., 1994 atau 81.4-81.5 Jusuf, 1980. Kunyit memiliki umbi utama yang terletak di dasar batang, berbentuk elipsoidal, dan berukuran 5 x 2.5 cm. Umbi utama membentuk rimpang 28 yang sangat banyak jumlahnya pada sisi-sisinya. Rimpang-rimpang tersebut berbentuk pendek, tebal, dan lurus atau melengkung Sastrapraja, 1977. Bagian luar rimpang berwarna jingga kecoklatan, sedangkan di bagian dalamnya berwarna jingga terang atau kuning. Rimpang memiliki rasa yang agak getir dan berbau khas Sinaga, 2006. Gambar 3 menunjukkan penampakan rimpang kunyit. Gambar 3. Rimpang kunyit Curcuma domestica Anonim c, 2006 Tiga bentuk rimpang yang diperdagangkan secara Internasional, antara lain : umbi bulb, anak rimpang fingers, dan belahan splits Sumangat et al., 1994. Umbi bulb adalah rimpang induk yang berbentuk bulat telur oval, pendek, tetapi diameternya lebih besar dari anak rimpang. Anak rimpang adalah rimpang sekunder dengan panjang 2.5-7.5 cm dan diameter sekitar 1 cm. Sedangkan belahan splits adalah rimpang yang berasal dari umbi yang dibelah dua atau empat.

2. Komposisi Kunyit