Ketakutan Film Supehero sebagai Medan Ideologis

119 Analisis struktural naratif Barthes di bab tiga adalah dasar pembicaraan budaya media, khususnya film superhero, sebagai medan pertarungan ideologi, yang kadang keberadaannya tidak terlalu jelas di permukaan. Bagian ini berusaha memetakan nilai-nilai dan ideologi yang dibawa tiga film superhero yang diteliti, bagaimana film-film tersebut mengartikulasikannya, dan apa saja daerah yang masih abu-abu. Daerah abu-abu yang dimaksud adalah hal-hal yang sulit dibedakan oposisinya. Misalnya mana yang dianggap baik dan buruk dalam film tersebut.

1.1. Ketakutan

Kisah-kisah superhero bisa dibaca sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap hukum dan tatanan sosial. Dalam narasi, superhero selalu muncul ketika ada kejadian luar biasa yang tidak dapat diatasi oleh hukum, penegak hukum, atau tindakan biasa. Itulah salah satu daya tarik superhero. Mereka memiliki kekuatan khusus yang bisa melampaui batasan. Tujuan akhir superhero adalah menghapuskan ketakutan yang dipersonifikasikan dengan keberadaan musuh. Dalam hal ini juga superhero dan musuhnya menempati area pertarungan yang abu-abu. Keduanya menggarisbawahi kegagalan penguasapenegak hukumpemerintah dalam mengatasi masalah sosial. Apakah mereka mendukung atau melanggar hukum? Film-film superhero, dan barangkali film-film action lain pada umumnya, mengartikulasikan tentang ketakutan. Ketakutan menjadi musuh utama dalam setiap narasi dalam bentuk tokoh antagonis. Ras al Ghul dan Jonathan CraneScarecrow menjadi representasi ketakutan yang dilawan dalam Batman Begins. Ini tampak dari rencana mereka untuk menggunakan zat yang bisa menimbulkan halusinasi agar orang- 120 orang panik dan menghancurkan kota Gotham. Ras al Ghul adalah seorang teroris yang datang dari luar untuk menghancurkan dan menurutnya sekaligus membangun Gotham. Ra’s al Ghul, Jonathan Crane, dan Joker adalah teroris karena menggunakan ketakutan atau teror sebagai senjata untuk menghancurkan musuh. Ra’s al Ghul memanfaatkan keahlian Crane dalam membuat obat yang dapat menimbulkan halusinasi. Crane sendiri menggunakan senjata itu kepada Falcone yang hanya menjadi pion dalam rencana Ra’s al Ghul dan juga kepada Batman sendiri sehingga ia sempat merasa tidak berdaya karena traumanya kembali. Mereka ingin menimbulkan ketakutan di Gotham agar kota itu menghancurkan dirinya sendiri. Joker dalam film The Dark Knight menggunakan teror bukan sekedar untuk merusak Gotham, tetapi untuk membuka wajah sebenarnya kota tersebut, termasuk orang-orang yang dianggap pahlawan seperti Batman dan Harvey Dent. Menariknya, ketakutan tidak hanya digunakan oleh musuh, tetapi juga oleh Batman sendiri. Subjek berusaha menghilangkan ketakutan, yang dipersonifikasikan dalam bentuk musuh, tetapi ironisnya caranya juga dengan ketakutan. Ketakutan dibenci dan diinginkan sekaligus. Batman melaksanakan ajaran Ra’s al Ghul bahwa agar dapat mengalahkan ketakutan, seseorang harus menjadi ketakutan itu sendiri. Batman berusaha mengalahkan ketakutannya sendiri terhadap kelelawar dan trauma masa lalunya dengan menjadi pahlawan yang berwujud kelelawar Bahkan dia juga menganut perkataan gurunya tersebut bahwa orang paling takut dengan yang tidak dapat mereka lihat dengan menggunakan kostum Batman yang berwarna hitam agar sulit dilihat di kegelapan. Hal ini dapat disaksikan dengan jelas pada adegan Batman menghadapi 121 Falcone dan anak buahnya di pelabuhan. Mereka tampak ketakutan dengan cara Batman bertarung yang cepat dan tidak terlihat. Maka ketakutan dipandang sebagai suatu jalan untuk mencapai stabilitas, tidak peduli apakah dari sisi penjahat atau penegak hukum. Dengan demikian musuh dan subjek dalam film ini sama-sama mengalami pengaburan. Batman menjadi subjek karena dialah yang menginginkan objek dalam narasi. Baik dan jahat tidak dibedakan antara subjek dan musuh dengan oposisi biner seperti pada film-film era Reagan yang dengan gamblang menampakkan oposisinya 19 . Subjek dan musuh yang sama-sama menggunakan ketakutan sebagai senjata menandakan adanya kesejajaran di antara mereka. Batman, walaupun menolak menggunakan senjata api yang mematikan, dalam adegan interogasi menggunakan teknik yang keras untuk memaksa orang berbicara menggantung terbalik Flass di Batman Begins dan memukuli Joker dengan brutal di The Dark Knight. Adegan-adegan tersebut mengingatkan pada perlakuan interogasi AS terhadap para teroris. Seperti penggunaan teknik waterboarding yang pernah dikritik. Tidak penting bagaimana caranya, asalkan interogasi itu menghasilkan petunjuk. Ketakutan kembali menjadi tema utama dalam The Dark Knight, dan bahkan lebih ditingkatkan lagi intensitasnya. Joker menjadi personifikasi atas teror. Dia menjadi reaksi dari kemunculan Batman di Gotham. Apabila Batman berada di pihak hukum sambil seringkali menerobosnya, maka Joker berada di pihak para kriminal. Mereka menjadi semacam poster boy atau simbol dari pihak masing-masing. Akan tetapi ada 19 Douglas Kellner dalam Media Culture menulis: The binary oppositions of ideology are rooted in a system of antagonisms between unequal forces and serve to legitimate the privilege and domination of the more powerful forces Kellner, 2003, 61. Menurut Kellner, film seperti First Blood dan Top Gun berusaha menggambarkan superioitas Amerika dan ras kulit putih dengan menampakkan orang Amerika sebagai ”the good guys dan Vietnam dan Rusia sebagai embodiment of evil. 122 perbedaan tujuan penggunaan ketakutan dengan Batman Begins. Joker menggunakan ketakutan untuk membongkar wajah sebenarnya dari orang-orang yang menginginkan keamanan. Keamanan dan stabilitas dianggap sebagai kebohongan. Ketakutan berubah fungsi menjadi jalan menuju anarki. Hampir sama seperti dalam dua film Batman, ketakutan dalam film Madame X secara jelas digunakan oleh musuh, yaitu Kanjeng Badai dan ormas Bogem. Kanjeng Badai menangkap para waria yang dianggap sebagai penyimpangan moral dan harus dibersihkan. Dia juga menggunakan teror terhadap sanggar Om Rudy untuk menakuti para penari. Penari dianggap tidak berguna dan lebih baik digunakan sebagai barang dagangan . Adam sebagai subjek adalah representasi kelompok minoritas yang tertindas oleh kelompok yang lebih dominan. Kelompok yang tertindas dalam film ini adalah waria, yang digambarkan sulit mencari kerja, sering mendapat tekanan, dan hidup dengan pas-pasan. Selain itu ada juga penggambaran para wanita yang terpaksa menjadi tenaga kerja yang akan dikirim keluar negeri, namun ternyata hanya akan dijual. Ketakutan digunakan oleh kelompok dominan yang direpresentasikan Partai Bangsa Bermoral dan Bogem untuk menekan kelompok yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Adam adalah reaksi perlawanan terhadap kelompok dominan tersebut. Adam atau Madame X tidak pernah secara gamblang menggunakan ketakutan untuk menghadapi musuhnya, tetapi ada yang unik dalam film ini. Jika Batman terang- terangan menggunakan ketakutan dan penyiksaan saat beraksi sambil menghindari pembunuhan, Madame X justru membunuh musuh-musuhnya tanpa beban moral dan prinsip yang membatasi. Satu-satunya momen dia menyesal hanyalah ketika mengetahui bahwa Kanjeng Badai adalah teman masa kecilnya, jadi bukan karena dia membunuhnya. Maka dari itu, Madame X berbeda dari Batman. Batman memandang 123 ketakutan sebagai sesuatu yang perlu untuk menghadapi musuh yang luar biasa, sedangkan Madame X tidak memiliki prinsip yang khusus kecuali dia harus mencapai tujuannya, bagaimanapun caranya. Ketakutan menjadi musuh dalam narasi sehingga subjek memiliki sesuatu untuk dilawan. Di sisi lain, subjek sendiri merupakan personifikasi ketakutan. Jadi apakah ketakutan di sini dipandang sebagai sesuatu yang baik atau buruk? Hal ini menjadi sesuatu yang sulit dijawab karena film menjadikan ketakutan sebagai senjata Batman, padahal dia adalah subjek dalam narasi. Nilai yang ingin dituju oleh film lebih mudah untuk dibaca apabila mengikuti posisi subjek, atau tokoh protagonis. Akan tetapi kedua film Batman ini mengaburkan posisinya terhadap ketakutan. Bila film dibaca dari sudut pandang subjek, maka bisa dibilang bahwa Batman Begins dan The Dark Knight mempromosikan penggunaan ketakutan pada musuh yang luar biasa, yang tidak dapat dihadapi dengan cara hukum, atau dalam hal ini teroris. Tindakan yang ekstrem juga harus dihadapi dengan tindakan ekstrem untuk bisa mengimbanginya. Sayangnya ini tidak banyak dibicarakan dalam Madame X. Yang dapat diketahui hanya bahwa Madame X tidak segan-segan membunuh dalam mencapai tujuan. Bisa dibilang Madame X adalah versi yang lebih ekstrem dari Batman dan menjadikannya seorang anti-hero 20 .Akan tetapi, hal ini juga masih menimbulkan 20 Antihero adalah tokoh utama bukan musuh dalam cerita yang tidak memiliki sifat-sifat kepahlawanan yang tradisional, seperti idealisme, keberanian, atau moralitas. Mereka tidak segan menggunakan cara seperti musuh yang dilawan, seperti membunuh, merampok, dan sebagainya, asal tujuannya tercapai. Ada juga yang penuh kebingungan atau pengecut. Abrams menulis dalam buku A Glossary of Literary Terms tentang antihero: The chief person in a modern novel or play whose character is widely discrepant from that which we associate with the traditional protagonist or hero of a serious literary work. Instead of manifesting largeness, dignity, power, or heroism, the antihero is petty, ignominious, passive, ineffectual, or dishonest Abrams 1999: 11.Memberikan label anti-hero kepada suatu tokoh bukan hal yang mudah, apalagi jika narasinya cenderung abu-abu. Batman juga bisa diperdebatkan sebagai seorang anti-hero. Tokoh yang lazim dianggap sebagai anti-hero misalnya Don Quixote, atau Deadpool dalam dunia komik superhero. 124 pertanyaan. Akibat dari penggunaan ketakutan dan cara-cara yang melanggar hukum itu adalah kaburnya batas antara pahlawan dan penjahat. Superhero berada pada batas liminal yang menghasilkan kategori baru di luar pahlawan dan penjahat, dan di luar hukum dan kriminalitas.

1.2 Superhero dan Musuh dalam Ruang Liminal