48
Industri film Hollywood pada masa kontemporer banyak dipengaruhi oleh dominasi penonton muda, film-film seni Eropa, globalisasi, dan perkembangan inovasi
seperti video rumahan VHS, DVD, Bluray. Corrigan dan White juga menyebutkan tentang tren film kontemporer, yaitu “1 the elevation of image spectacles and special
effects, and 2 the fragmentation and reflexivity of narrative constructions” Corrigan dan White, 2004:370. Banyak film menonjolkan tontonan atau pertunjukan visual yang
besar dan adanya fragmentasi dan refleksivitas reflexivity konstruksi naratif. Konteks produksi film Hollywood yang di antaranya bertujuan komersial, ditonton banyak orang
muda, dan disebarkan secara global seperti itu harus dipertimbangkan ketika menganalisis film Hollywood.
5.2. Perfilman Indonesia Pasca Orde Baru
Hooker dan Dick dalam pengantar buku Culture and Society in New Order Indonesia seperti dikutip oleh Marshall Clark dalam tulisan Indonesian Cinema:
Exploring cultures of Masculinity, Censorship, and Violencemengatakan bahwa seni para pembuat film hanya dapat berarti apabila bisa mengekspresikan dan berekspresi
dan berkomunikasi dengan perasaan masyarakat. “As a result, during the New Order era in particular, Indonesian artists worked hard to communicate directly with their
audience, creatively engaging with issues of social and political significance Clark dalam Heryanto, 2008: 43. Contohnya dalam hal seksualitas remaja dan kekerasan
rumah tangga Virgin, 2005, narkotika Gerbang 13, 2005, geng kriminal 9 Naga, 2006, korupsi Kejar Jakarta, 2006, dan homoseksualitas Arisan, 2003.
Sinema Indonesia dibatasi oleh sensor, apalagi setelah munculnya wacana untuk mengesahkan Undang-Undang Anti Pornografi tahun 2006. Selain itu, ada juga risiko
49
mengundang kelompok-kelompok Islam radikal bila mengeluarkan film yang menampakkan erotisme dan homoseksualitas. Film 3 Hari Untuk Selamanya 2007
pernah merasakan gunting sensor tersebut. Akan tetapi, anehnya ada juga film yang lolos sensor walau menampakkan adegan homoerotis, seperti Kuldesak 1998 dan
Arisan. Keberadaan kelompok-kelompok radikal itu menyebabkan bioskop dan studio film tidak ingin ambil resiko. Clark menulis:
For instance, no cinema chain wants to risk its cinemas being trashed by mobs of rampaging Islamic radicals enraged by the cinematic depiction of
erotic or homosexual behaviour. Similarly, no film studio will want to see their latest cinematic investment fail to return a sizeable profit, due to poor
ticket sales associated with negative publicity and court cases Clark dalam Heryanto, 2008: 45.
Marshall Clark mengamati bahwa ada kecenderungan film-film Indonesia pasca Orde Baru mengarah pada tema maskulinitas dan kekerasan, yang bisa diamati misalnya
dalam film Mengejar Matahari 2004 dan 9 Naga. Clark mengacu pada tulisan Tom Boellstorff yang berjudul “The Emergence of Political Homophobia in Indonesia:
Masculinity and National Belonging”. Boellstorff misalnya menyebut pada tahun 2000 pernah ada acara pertunjukan yang dilakukan oleh 350 homoseksual dan transgender
yang didatangi dan dirusak oleh Gerakan Pemuda Ka’bah. Clark mencatat: Directed against public events where homosexual men are attempting to
stake a claim to Indonesian’s civil society, Boellstorff views these kinds of violent acts as a ‘masculine’ response to a homosexual threat... This pattern
of state-sanctioned homophobia, according to Boelstorff, indicates that Indonesia may be gaining ‘a new masculine cast’, where male
-to-male sexuality is not only a threat to normative masculinity, but indeed also to the
nation itselfClark dalam Heryanto, 2008: 46. Loncatan dari ancaman terhadap maskulinitas menjadi bangsa terebut diamati
Clark sebagai akibat indoktrinasi Orde Baru tentang keluarga ideal, yang mendukung ideologi heteroseksual dan posisi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Undang –
50
Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi menjadi salah satu jalan untuk membatasi film- film yang mengusung tema LGBT. Film-film yang mengembalikan maskulinitas dan
kekerasan juga menjadi penanda kemunculan kelompok-kelompok radikal yang ingin mengembalikan ‘identitas bangsa’ yang terancam.
6. Superhero dalam Film