Analisis Narasional Budaya Mediasebagai Medan Naratif, Ideologis, dan Utopis

25

c. Analisis Narasional

Setelah melihat analisis fungsional untuk mendeskripsikan fungsi dan sekuens, dan analisis tindakan untuk melihat hubungan antartokoh dalam kaitannya dengan perkembangan naratif, maka tahap selanjutnya adalah analisis narasional untuk melihat bagaimana kekuatan kisah dalam menceritakan dirinya dan makna apa yang didapat dari situ. Tahap terakhir ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna dengan melakukan integrasi tahap-tahap analisis yang sebelumnya ditempatkan dalam konteks komunikasi narasional. Penekanannya ada pada kemampuan kisah dalam menyampaikan pesan dan efek yang timbul dari cara penyampaian tersebut. Tahap ini berusaha melampaui teks itu sendiri dengan menunjukkan jenis komunikasi macam apa yang terjadi lewat bahasa naratif. Di sinilah pengguna metode dapat menggunakan kreativitasnya untuk menemukan sesuatu yang melampaui teksbeyond the text.

6.3 Budaya Mediasebagai Medan Naratif, Ideologis, dan Utopis

Ada beberapa cara mendefinisikan budaya populer menurut John Storey. Yang paling sederhana adalah budaya yang disukai oleh banyak orang. Sifatnya yang kuantitatif namun sulit untuk diukur menjadikan definisi ini ambigu. Definisi kedua adalah budaya yang lebih inferior dari budaya tinggi high culture. Popular culture, in this definition, is a residual category, there to accommodate texts and practices that fail to meet the required standards to qualify as high culture Storey, 2009: 6. Karena selera merupakan kategori yang sangat ideologis, pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah sendiri juga menjadi problematis. Cara mendefinisikan yang ketiga ialah budaya populer sebagai budaya massa mass culture. Budaya massa adalah budaya yang dibuat untuk konsumsi massa dan 26 tujuannya sangat komersial, bentuknya memiliki formula tersendiri dan efeknya manipulatif. Definisi ini erat kaitannya dengan pandangan Frankfurt School terhadap budaya populer. Budaya populer popular culture memiliki konotasi negatif menurut Frankfurt School. Mereka memandang bahwa budaya populer adalah budaya yang sudah distandardisasi dan digunakan untuk menjaga keberlangsungan kapitalisme.Budaya populer di sini merupakan suatu bentuk ideologi dominan, termasuk di dalamnya ideologi patriarkal yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan. Dominic Strinati dalam buku An Introduction to Theories of Popular Culture menyebutkan: For the Frankfurt School, popular culture is the culture produced by the culture industry to secure the stability and continuity of capitalism. The Frankfurt School thus shares a theory which sees popular culture as a form of dominant ideology with other versions of Marxism, such as those put forward by Althusser and Gramsci. The Marxist political economy perspective comes close to this understanding of popular culture, while variants of feminist theory define it as a form of patriarchal ideology which works in the interests of men and against the interests of women Strinati, 2004: xvi. Definisi keempat adalah budaya populer sebagai budaya yang datang dari masyarakat. Definisi ini kurang dapat diterima karena tidak menyetuh sisi budaya populer itu ditentukan dari atas dan segi komersialnya. John Storey menyebut definisi kelima budaya populer erat kaitannya dengan teori hegemoni Antonio Gramsci. Budaya populer di sini merupakan alat untuk menghegemoni dan menyebarkan ideologi dominan kepada masyarakat sebagai konsumennya. Budaya populer dalam definisi keenam berhubungan dengan perdebatan tentang posmodernisme. Budaya posmodern mengklaim bahwa tidak ada lagi pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah. Cara pendefinisian ini membawa efek ganda: for 27 some this is a reason to celebrate an end to an elitism constructed on arbitrary distinctions of culture; for others it is a reason to despair at the final victory of commerce over culture Storey, 2009: 12. Dua sisi definisi ini yang dieksplorasi oleh Douglas Kellner tentang teori budaya populer sebagai budaya media. Kellner dalam buku Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern memandangnya dengan cara berbeda. Kellner lebih memilih istilah budaya media media culture, yaitu “a culture of the image and often deploys sight and sound” Kellner, 2003: 1. Kellner menggunakan istilah tersebut karena langsung merujuk pada berbagai jenis teks yang diproduksi industri dan disebarkan secara masal, seperti film, musik, acara televisi, majalah, dan sebagainya. Perbedaan definisi tersebut merujuk pada penitikberatan teori masing-masing. Frankfurt School lebih membahas tentang dominasi industri terhadap masyarakat, sedangkan Kellner lebih menekankan pada jenis teks dan efeknya di dalam masyarakat. Masih dalam buku yang sama, Kellner berpendapat bahwa budaya media merupakan artefak yang kompleks, bukan hanya sekedar sarana ideologi dominan dan juga hiburan murni. Budaya media mengartikulasikan berbagai wacana politis dan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut: It is my conviction that cultural studies cannot be done wihtout social theory, that we need to understand the structures and dynamics of a given society to understand and interpret its culture. I am also assuming that media cultural texts are neither merely vehicles of a dominant ideology, nor pure and innocent entertainment. Rather they are complex artifacts that embody social and political discourses whose analysis and interpretation require methods of reading and critique that articulate their embeddedness in the political economy, social relations, and the political environment within which they are produced, circulated, and received Kellner, 2003: 4. Masyarakat yang mengkonsumsi budaya media itu sendiri tidak dipandang sebagai konsumen yang pasif dan menerima berbagai teks begitu saja, tetapi juga bisa menolak 28 dan menghasilkan pembacaan atau identitas mereka sendiri: “Media culture thus induces individuals to conform to the established organization of society, but it also provides resources that can empower individuals against that society” Kellner, 2003: 3. Peran ideologi dalam budaya media penting untuk dibahas karena bisa memperkuat cara pembacaan suatu teks agar tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata. Ada lima definisi ideologi yang dikumpulkan John Storey. Pertama, ideologi adalah suatu badan ide yang sistematis, yang diartikulasikan oleh masyarakat tertentu. Definisi kedua mengindikasikan adanya penyembunyian atau distorsi realitas. Ideologi menghasilkan sesuatu yang disebut “kesadaran palsu false consciousness, yang bekerja mendukung kedudukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemahbentuk ideologis” ideological forms. Penggunaan tersebutmerujuk pada teks buku, film, acara televisi, lagu, dll yang secara sadar atau tidak sadar selalu mengambil suatu posisi dalam konflik eksploitasi atau penindasan oppression. Definisi keempat merupakan konsep ideologi atau mitos Roland Barthes yang bekerja pada level konotasi, yang biasanya dibawa oleh teks secara tidak sadar. Definisi kelima adalah konsep ideologi menurut Louis Althusser. Anggapan Althusser tentang ideologi bukanlah ideologi sebagai badan ide yang abstrak, tetapi sebagai “praktik material” material practice yang terjadi sehari-hari. Storey menulis: “Principally, what Althusser has in mind is the way in which certain rituals and customs have the effect of binding us to the social order: a social order that is marked by enormous inequalities of wealth, status and power” Storey, 2009: 5. Salah satu definisi ideologi yang bersifat negatif, yaitu pembohongan, juga memiliki sifat positif ketika dikaitkan dengan konsep utopia menurut Karl Mannheim. 29 Utopia selama ini dipakai untuk menunjukkan hal-hal yang mustahil atau yang tidak perlu diperhitungkan atau diikuti.Kemudian konsep utopia yang berbau negatif tersebut berubah ketika dipakai Karl Mannheim untuk menjelaskan fungsi ideologi. Konsep utopia dalam ideologi adalah usaha untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Karl Mannheim mengatakan bahwa suatu keadaan pikiran bersifat utopis apabila itu berbeda dengan realitas. Akan tetapi, tidak semua yang berbeda itu adalah utopia. Pemikiran disebut utopia ketika memecahkan keteraturan yang berlaku saat itu dan melebihi transcends realitas. Dalam buku Ideology and Utopia, Mannheim menulis: In limiting the meaning of the term utopia to that type of orientation which transcends reality and which at the same time breaks the bonds of the existing order, a distinction is set up between the utopian and the ideological state of mind” Mannheim, 1979: 173. Sejalan dengan Mannheim, Fredric Jameson juga mengungkapkan bahwa utopia adalah pandangan politik yang membayangkan, dan bahkan merealisasikan, suatu sistem yang berbeda dengan sistem yang ada pada saat ini. Dalam buku Archeologies of the Future: The Desire Called Utopiaand Other Science Fictions, Jameson menulis “The fundamental dynamic of any Utopian politics or of any political Utopianism will therefore always lie in the dialectic of Identity and Difference, to the degree to which such a politics aims at imagining, and sometimes even at realizing, a system radically different from this one Jameson, 2005: xii. Jameson juga menambahkan bahwa utopia bisa menunjukkan keterkurungan ideologis imajinasi kita yang dibatasi oleh berbagai mode produksi dan sisa-sisa masa lalu. Dia menulis: 30 On the social level, this means that our imaginations are hostages to our own mode of production and perhaps to whatever remnants of past ones it has preserved. It suggests that at best Utopia can serve the negative purpose of making us more aware of our mental and ideological imprisonment something I have myself occasionally asserted; and that therefore the best Utopias are those that fail the most comprehensivelyJameson, 2005: xiii. Ideologi dan utopia bila dikaitkan dengan film sebagai hasil budaya populer atau budaya media adalah sebagai penerapan ideologi tersebut. Dalam buku New Vocabularies in Film Semiotics, disebutkan bahwa film sebagai teks tidak hanya gambaran sebuah event, namun juga sebuah event sendiri, sesuatu yang berpartisipasi dalam produksi subjek tertentu 1992: 184. Teori film yang dikembangkan oleh jurnal film Prancis seperti Cahiers du Cinéma dan Cinétique menggunakan teori Althusser untuk membentuk pemahaman yang ilmiah tentang sinema sebagai alat apparatus ideologi. Para penulisnya mengklaim bahwa ideologi borjuis sudah termasuk dalam cinematic apparatus tersebut. Jean-Louis Baudry berkata bahwa apparatus itu harus diteliti dalam konteks ideologi yang memproduksinya sebagai efek. Kekhususan cinematic apparatussebagai bentuk representasi dan sebagai praktik material berada pada caranya merealisasikan proses-proses suatu subjek yang dikonstruksi dalam ideologi. “The specific function of the cinema, as support and instrument of ideology, was to constitute the subject by the illusory delimitation of a central location, thus creating a “phantasmization” of the subject and collaborating in the maintenance of bourgeois idealism” 1992: 186. Jean-Paul Fargier berpendapat bahwa impresi realitas impression of reality merupakan bagian penting ideologi yang diproduksi oleh cinematic apparatus. Jean- Louis Comolli dan Jean Narboni yang berargumen dengan kerangka Althusserian mengatakan: 31 What the camera registers in fact is the vague, unformulated, untheoreticalized, unthought-out world of the dominant ideology … reproducing things not as they really are but as they appear when refracted through the ideology. This includes every stage of process of production: subject, “styles,” forms, meanings, narrative traditions; all underline the general, ideological discourse1992: 186. Yang direkam oleh kamera merupakan dunia ideologi dominan yang abstrak. Hal tersebut terkandung dalam setiap tingkatan proses produksi. Pada tulisan “Ideology” oleh Luc Herman dan Bart Vervaeck dalam buku The Cambridge Companion to Narrative, definisi ideologi berdasarkan Karl Marx, Louis Althusser, dan Antonio Gramsci, adalah norma-norma dan ide-ide yang tampak alami sebagai hasil kekuatan dominan yang berkelanjutan dan promosi terselubungnya dalam masyarakat. “Building on the work of Karl Marx, Louis Althusser, and Antonio Gramsci, we define ideology as a body of norms and ideas that appear natural as a result of their continuous and mostly tacit promotion by the dominant forces in society” Herman dalam Herman, 2007: 217. Teori Greimas yang meneliti fabula terdiri dari actionsevents; actantsroles, dan setting waktutempat dengan memperhatikan oposisi biner dalam hubungan antara tokoh actant digunakan di sini untuk membaca ideologi dalam narasi. “This model splits up roles into clearly delineated unities and therefore has its own ideological leanings, but it also enables the narratologists to see the ideological workings of a story” 2007: 220. Herman memberi contoh, jika peran tokoh perempuan selalu ditempatkan sebagai objek object, dan tokoh pria sebagi subjek subject, ini menunjukkan indikasi adanya bias gender. Ideologi yang ada pada teks pun harus ditempatkan dalam konteks, baik itu waktu, tempat, produksi, dan lain-lain. Cara ini dilakukan sejalan dengan metode 32 pembacaan teks oleh Richard Johnson et.al dalam buku The Practice of Cultural Studies: Reading, therefore, is not simply about the mechanistic identification of formal elements or functions, it is also about tracing the ways in which textual formations are linked to larger cultural formations. As our circuit model and discussion of setting suggest, texts are always part of larger cultural processes and connected to social relations of power via the production context and the economic relations involved those of the publisher, studio or television channel responsible, for example and the context of the text’s appearance and reception by particular audiences at particular times and placesJohnson, 2004: 165 Pembacaan tidak hanya sebatas identifikasi fungsi-fungsi formal, namun juga dikaitan dengan formasi kultural yang lebih besar. Teks merupakan bagian dari proses kultural dan berhubungan dengan relasi sosial kekuasaan, baik dalam konteks produksi, ekonomi, dan penerimaannya pada waktu dan tempat tertentu.

7. Metode Penelitian