34
BAB II SUPERHERO DAN PERKEMBANGANNYA
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tesis ini akan menganalisis narasi superhero yang kembali menjadi tren di awal abad 21. Analisis narasi itu digunakan sebagai dasar
untuk membahas konteks dan medan ideologis dan utopis dalam tiga film superhero yang digunakan sebagai sampel. Bab ini menjadi pengantar latar belakang film-film
superhero tersebut dan berguna khususnya sebagai konteks yang dikaitkan dengan pembahasan di bab empat. Bagian-bagian di bab ini membicarakan tentang sejarah
perkembangan cerita superhero antara lain di Amerika, Jepang, dan Indonesia, konteks perfilman di Amerika Serikat dan Indonesia, dan latar belakang produksi tiga film yang
akan dibahas di tesis ini.
1. Munculnya Superhero
Apakah superhero itu? Sejak kapankah superhero muncul? Kedua pertanyaan tersebut tampaknya mudah namun sebenarnya sulit dijawab. Tidak ada definisi
superhero yang benar-benar baku, dan karena itulah menentukan kapan sebenarnya cerita-cerita superhero itu pertama muncul merupakan sesuatu yang kabur, tergantung
dari sudut pandang yang diambil. Secara umum tokoh-tokoh semacam Superman dan Spider-Man tidak ragu akan
dipandang sebagai superhero. Akan tetapi, bagaimana dengan Hercules, James Bond, atau Si Pitung? Hercules memiliki kekuatan sangat besar bagai dewa, hingga pernah
suatu kali dia pernah menggantikan Atlas untuk memanggul bumi. James Bond digambarkan sebagai mata-mata dan manusia biasa, tetapi memiliki kecakapan sangat
tinggi. Kalau bukan superhero, bagaimana mungkin dia tidak pernah mati melalui
35
berbagai bahaya yang menghadangnya di setiap novel dan film? Bagaimana caranya menghindari berondongan peluru yang disemburkan ribuan kali padanya? Si Pitung
digambarkan kebal terhadap peluru. Kalau bukan superhero, manusia macam apa dia? Maka dari itu, bab ini akan mencoba menjelaskan dan memetakan apa yang dimaksud
dengan superhero dan bagaimana mereka muncul. Cerita-cerita kepahlawanan sudah ada dari zaman dahulu dalam bentuk cerita
rakyat, mitologi, ataupun kisah keagamaan. Joseph Campbell yang menulis buku The Hero with a Thousand Faces mengumpulkan pendapat bahwa mitologi telah
diinterpretasikan sebagai usaha primitif dan meleset untuk menjelaskan alam, sebagai produk fantasi puitis dari masa prasejarah yang salah dipahami oleh masa-masa
setelahnya, sebagai kumpulan alegori berisi pelajaran untuk membentuk seorang individu menjadi anggota kelompoknya, sebagai mimpi kolektif yang merupakan gejala
symptom dorongan arketipal dalam psike manusia, sebagai wahana wawasan metafisik yang terdalam, dan wahyu Tuhan kepada manusia.
Mythology has been interpreted by the modern intellect as a primitive, fumbling effort to explain the world of nature Frazer; as a production of poetical fantasy
from prehistoric times, misunderstood by succeeding ages Muller; as a repository of allegorical instruction, to shape the individual to his group
Durkheim;as a group dream, symptomatic of archetypal urges within thedepths of the human psyche Jung; as the traditional vehicle ofmans profoundest
metaphysical insights Coomaraswamy; andas Gods Revelation to His children the Church Campbell, 2004: 343-344.
Begitulah mitologi berperan dalam masyarakat. Selain itu, kisah-kisah tersebut juga sering menceritakan tentang kepahlawanan. Campbell dalam buku yang sama juga
mengatakan bahwa pahlawan adalah seseorang yang dapat bertarung melampaui batasan diri dan historisnya. “The hero, therefore, is the man or woman who has been
able to battle past his personal and local historical limitations to the generally valid, normally human forms” Campbell, 2004: 17.
36
Campbell meneliti alur kisah-kisah kepahlawanan klasik dari berbagai tempat dan menarik kesimpulan bahwa ada persamaan struktur dalam penceritaannya. Struktur
tersebut dinamakan dengan monomyth
6
. Monomyth sebagai formula alur kepahlawanan terdiri dari pemisahan—inisiasi—kembali separation—initiation—return. Campbell
menjelaskan petualangan mitologis sang pahlawan dalam kutipan berikut: A hero ventures forth from the world of common day into a region of supernatural wonder:
fabulous forces are there encountered and a decisive victory is won: the hero comes back from this mysterious adventure with the power to bestow boons on his fellow man
Campbell, 2004: 28. Analisis struktural narasi yang dilakukan di bab tiga mencari tahu apakah narasi superhero juga masih mengikuti narasi kepahlawanan klasik seperti yang
disebutkan Campbell tersebut ataukah sudah mengalami perkembangan. Pertanyaan selanjutnya ialah apakah superhero juga menjadi berbeda dari pahlawan biasa?
Danny Fingeroth menjelaskan apa itu superhero dalam bukunya Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society:
individu-individu yang memiliki kekuatan fantastis baik itu berdasarkan sihir atau “sains”, dan orang-orang yang berperang dengan teknologi tinggi biasanya dibedakan
dari sihir hanya karena penulisnya mengatakan demikian atau orang-orang yang sekedar beranigilaberuntung. “individuals with fantastic powers whether magic or
“science” based, as well as pople who fight their battles with advanced technology often differentiated from magic only because the author says so or people who are just
plain bravecrazylucky” Fingeroth, 2004: 16. Menurut Fingeroth, tokoh-tokoh superhero memiliki beberapa karakteristik yang sama, yaitu: memiliki suatu kekuatan
walau mungkin masih terkubur, percaya pada suatu sistem nilai-nilai yang positif
6
Campbell mengambil istilah monomyth dari novel James Joyce, Finnegans Wake.
37
positive values, dan determinasi untuk melindungi nilai-nilai tersebut. Menariknya, karakteristik superhero tersebut juga merupakan karakteristik musuhnya villain.
Hampir sama dengan definisi Danny Fingeroth tentang superhero, Roz Kaveney mengatakan bahwa superhero adalah manusia dengan kekuatan yang melebihi
kemampuan atau berbeda dari manusia biasa, yang dia gunakan untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan melindungi orang tak bersalah. Ada juga tokoh-tokoh yang
tidak memiliki kekuatan semacam itu, tetapi berkomitmen seperti jenis tokoh sebelumnya, sehingga mereka tetap dianggap sebagai superhero Kaveney, 2008: 4.
Sementara itu Paul Heru Wibowo dalam buku Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture berpendapat bahwa penerjemahan istilah superhero ke
dalam bahasa Indonesia menghadapi suatu kendala. Pertama, kata hero sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam mitologi dan tradisi
rakyat. Sifat yang paling menonjol dari tokoh-tokoh tersebut adalah “mampu menunjukkan keberanian dan kehendak untuk mengorbankan diri dalam menghadapi
berbagai bahaya meskipun secara fisik mereka terlihat lemah” Wibowo, 2012: 50. Kedua, saat diadopsi ke bahasa Inggris pun sebenarnya kata itu sudah mengalami
perbedaan makna, karena identitas hero berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Yunani pada masa lalu, yang membentuk bagian dari sejarah awal masyarakat Yunani.
Maka saat diterjemahkan ke bahasa Indonesia ada kerancuan apakah kata tersebut berubah menjadi tokoh, pahlawan, jagoan, pendekar, kesatria, wirawan, atau lakon 51.
Akan tetapi sebagai konsep yang utuh, tidak cukup jika hanya membicarakan kendala bahasa. Superhero sebagai sebuah konsep, simbol, dan bentuk produksi budaya modern
juga harus ditafsirkan ulang 65.
38
Sebenarnya istilah “Super Heroes” sendiri sudah menjadi merek dagang trademark yang telah didaftarkan oleh DC Comics dan Marvel Comics di United
States Patent and Trademark Office pada tahun 2004 dan dipatenkan secara resmi pada tahun 2009.
7
Hal ini sebenarnya banyak ditentang oleh para penggemarnya karena kedua perusahaan itu memonopoli istilah yang sebenarnya sudah menjadi milik umum.
Contoh perdebatan ini terjadi pada tahun 2013 ketika Ray Felix, seorang kreator komik, menerbitkan serial komik berjudul “A World Without Superheroes” dan dituntut oleh
DC dan Marvel karena menggunakan merek dagang “super heroes”
8
. Superhero melebihi pahlawan fiksi yang lain dalam merepresentasikan nilai-nilai
masyarakat yang memproduksinya. “So somehow, the superhero—more than even the ordinary ficitional hero—has to represent the values of the society that produces him”
Fingeroth, 2004: 17. Nilai-nilai yang dianut itu tergantung sudut pandang tokohnya dan bagaimana mereka memeercayai itu. Danny Fingeroth mencontohkan dengan cerita
Superman yang diterbitkan di komik. Pada periode 1950-an Superman memburu orang- orang komunis, tetapi pada 1970-an Superman memperjuangkan pembebasan aktivis
kedamaian yang difitnah oleh sistem hukum yang korup. Maka bisa dibilang Superman adalah representasi salah satu ideologi yang sedang berlaku di Amerika Serikat
menyesuaikan dengan zamannya.
2. Superhero Amerika