Pemeliharaan Ulat Sutera AGROINDUSTRI SUTERA ALAM

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM

Sutra atau sutera merupakan serat protein alami yang dapat ditenun menjadi tekstil. Jenis sutra yang paling umum adalah sutra dari kepompong yang dihasilkan larva ulat sutra murbei Bombyx mori yang diternak peternakan ulat itu disebut serikultur. Sutra bertekstur mulus, lembut, namun tidak licin. Rupa berkilauan yang menjadi daya tarik sutra berasal dari struktur seperti prisma segitiga dalam serat tersebut yang membolehkan kain sutra membiaskan cahaya pada berbagai sudut Atmosoedarjo 2000. Peningkatan kualitas bibit sutera masih perlu dilaksanakan di Indonesia, terutama karena bibit yang digunakan sekarang merupakan bibit dari daerah subtropik, yang biasa dipelihara pada kondisi optimum. Untuk kondisi tropik, yang agroklimatnya berfluktuasi, kualitas daun rendah dan kemampuan para pemelihara ulat terbatas, diperlukan jenis ulat yang lebih kuat. Menurut Balasubramanian 1988, daerah tropik sebaiknya mempunyai ras ulat yang relatif tahan terhadap iklim yang panas dan lembab. Sementara itu, menurut Kumar dan Yamamoto 1966, di Negara yang mempunyai zona agroklimat yang bervariasi, pengembangan jenis yang spesifik terhadap daerah dan musim benar-benar diperlukan. Bibit ulat sutera berupa telur ulat sutera yang dikembangkan dari jenis bibit unggul yaitu bivoltine. Pada saat sekarang telur diproduksi dan dikembangbiakkan oleh Perum Perhutani. Pemeliharaan ulat sutera yang berlokasi di Candiroto, Jawa Tengan dan Sopeng, Sulawesi Selatan, dengan produksi riil sebanyak 25.000 kota per tahun yang dapat menghasilkan kokon.

1. Pemeliharaan Ulat Sutera

Ulat sutera adalah serangga yang masuk ke dalam ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu-kupu. Ulat sutera adalah serangga holometabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Hal ini berarti bahwa setiap generasi melewati empat stadia, yaitu telur, larva, pupa, dan imago kupu-kupu. Selama metamorfosis, stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat makan, merupakan massa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur. Klasifikasi ulat sutera diperlihatkan pada Tabel 2 Atmosoedarjo et al. 2000. Pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di Cina sejak berabad-abad yang lalu. Leluhurnya adalah ulat sutera liar yaitu spesies Bombyx mandarina, yang ditemukan di pohon murbei di Cina, Jepang, dan Negara Asia Timur lainnya. Ulat sutera menurut daerah asalnya dibagi dalam empat ras, yaitu ras Jepang, ras Cina, ras Eropa, dan ras Tropika. Jenis ulat sutera komersial yang biasa dipelihara di Indonesia adalah bivoltine yang merupakan hasil persilangan ulat sutera ras Jepang dan ras Cina. 5 Tabel 2. Klasifikasi ulat sutera Sumber : Ryu 2000 Ulat sutera termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorphosis sempurna, dimulai dari telur, larva ulat, pupa kepompong, dan imago kupu-kupu. Lama periode hidup mulai dari saat lahir telur menetas sampai masa membuat kokon adalah sekitar satu bulan, namun hal ini, sebenarnya bias berubah, dipengaruhi oleh iklim dan suhu tempat pemeliharaan Atmosoedarjo et al. 2000. Menurut Ryu 2000, tahapan pemeliharaan ulat sutera adalah sebagai berikut : a Penanganan telur ulat sutera Penanganan awal telur ulat sutera yang baru tiba dari produsen telur adalah dengan melakukan inkubasi telur. Inkubasi telur adalah penempatan telur pada suatu wadah yang disebut kotak penetasan telur dan diletakkan di dalam lemari inkubasi dengan suhu optimum 25 o C dan kelembapan 85. Selama melakukan inkubasi telur, ruangan dibuat menjadi gelap total. Hal ini dilakukan agar pada saat penetasan telur didapatkan hasil yang merata. b Pemeliharaan ulat sutera kecil Tahapan pemeliharaan ulat sutera kecil atau yang lebih dikenal dengan ulat kecil, dimulai setelah proses hakitate dilakukan. Hakitate adalah pekerjaan pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke kotak pemeliharaan disertai dengan pemberian pakan pertama kali. Pemeliharaan ulat kecil dilakukan dengan dilapisi dan ditutupi oleh kertas paraffin. Larva yang baru menetas mengandung kadar air yang rendah 75-78 dan akan meningkat teratur hingga instar II 87. Oleh karena itu, diharapkan daun yang memiliki kandungan air yang tinggi dapat diberikan untuk ulat instar I dan II. Instar adalah sebutan untuk siklus hidup ulat sutera dimulai dari ulat bangun, makan, sampai tidur kembali. Satu instar biasanya memakan waktu 4 hari, 3 hari ulat makan, dan 1 hari ulat tidur. Selama tidur, kulit ulat akan mengelupas dan berganti dengan kulit baru. Kandungan air yang tinggi pada tanaman murbei diperoleh pada daun bagian atas tanaman 4-7 daun dari pucuk, sedangkan untuk pemberian pakan pada instar III adalah daun ke 8-11 dari pucuk tanaman murbei. Kondisi lingkungan yang optimum untuk pemeliharaan ulat kecil adalah pada suhu 26-28 o C dengan kelembapan 80-90. Pada umumnya daun murbei perlu diberikan empat kali sehari selama instar I, II, dan III. Klasifikasi Keterangan klasifikasi Phyllum Arthropoda Kelas Insecta Ordo bangsa Lepidoptera Family suku Bombycidae Genus marga Bombyx Spesies jenis Bombyx mori L 6 c Distribusi ulat kecil Pemeliharaan ulat kecil berakhir sampai dengan ulat instar III. Ulat kemudian disalurkan pada saat tidur memasuki instar IV. Penyaluran ulat sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari. Ulat didistribusikan pada kotak khusus yang disebut boks pendistribusian ulat. d Pemeliharaan ulat sutera besar Pemeliharaan ulat sutera besar dilakukan setelah proses distribusi ulat kecil kepada petani. Kondisi lingkungan yang baik dalam pemeliharaan ulat sutera besar adalah pada suhu 22-25 o C dan kelembapan 70-75, serta harus mendapatkan cahaya dan aliran udara yang baik. Fase ulat besar mencakup instar IV dan V. Akan tetapi, kedua instar ini fisiologi sangat berbeda. Karena pada instar IV lebih dekat kepada fase ulat kecil, maka titik pemeliharaan harus diitekankan pada pemeliharaan lingkungan yang bebas penyakit, dan cukup pakan daun murbei segar dan bergizi tinggi sehingga ulat sutera akan tumbuh dengan baik dan sehat. Pada ulat sutera instar V, berat kelenjar suteranya bertambah dengan cepat sampai 40 dari jumlah berat tubuhnya bahkan mungkin lebih. Ini merupakan fase yang penting dalam produksi sutera. Keperluan pakan dalam fase ini hampir 90 dari jumlah keperluan semua fase pertumbuhan ulat. Ini adalah fase dimana daun murbei harus dimanfatkan secara efisien dan tenaga kerja harus dihemat untuk kegiatan panen daun dan pemberian pakan ulat. Pada umumnya daun murbei perlu diberikan empat sampai enam kali sehari selama IV dan V. e Desinfektan tubuh ulat sutera Desinfektan tubuh ulat sutera dilakukan untuk mengurangi adanya kemungkinan tubuh ulat yang luka selama proses pergantian kulit. Desinfektan tubuh ulat dilakukan dengan menggunakan kapur atau kaporit 5. Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan ayakan plastik. Kapur atau kaporit 5 ditaburkan merata di atas tubuh ulat. Desinfeksi dilakukan sembilan kali, yaitu pada saat permulaan hakitate, sebelum dan sesudah pergantian kulit pada setiap fase pertumbuhan ulat. Pengokonan dan panen kokon merupakan tahapan terakhir dalam pemeliharaan ulat sutera. Bila tahapan ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan berpengaruh buruk pada kualitas filamen kokon Atmosoedarjo et al. 2000. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum pengokonan adalah dengan melakukan pencucian, pembersihan, dan desinfeksi terhadap alat pengokon. Menurut bentuk dan strukturnya, alattempat pengokonan dapat diklasifikasikan menjadi alat pengokonan berputar rotary, alat pengokonan berombak, bambu spiral, sarang plastik seriframe, dan lain-lain. Material dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filamen, serta terhadap tenaga kerja untuk membantu proses pengokonan dan panen kokon. Persyaratan utama untuk alat pengokonan adalah harus kuat, struktur alat cocok untuk proses pengokonan, alat pengokonan harus memberi kemudahan ulat dalam mengokon dan memberi kemudahan pekerja dalam melakukan panen Wibowo 1998. Peletakkan ulat pada alat pengokonan harus dilakukan tepat waktu. Jika pengokonan dilakukan pada saat belum dewasa atau sudah lewat matang, maka daya pintal tingkat 7 kemudahan filamen kokon terurai pada saat pemintalan menjadi kurang dan panjang filamen yang didapat akan berkurang Atmosoedarjo et al. 2000. Kualitas kokon dipengaruhi oleh keadaan suhu, kelembapan, aliran udara, dan intensitas cahaya dalam ruang pengokonan. Suhu ideal untuk pengokonan adalah 24 o C dengan kelembapan 60-90. Sirkulasi udara di dalam ruang pengokonan harus diatur dengan baik, oleh karena itu ruangan harus mempunyai jendela yang cukup. Kebutuhan cahaya untuk proses pengokonan antara 10-20 lux diibaratkan seperti keadaan cahaya dibawah meja. Cahaya harus merata, karena bila cahaya hanya datang dari salah satu arah, ulat akan mengokon di tempat yang lebih gelap dan mengumpul, sehingga akan banyak terjadi kerusakan kokon Departemen Kehutanan 2007. Menurut Ryu 2000, waktu yang diperlukan ulat dari mulai mengokon sampai menjadi pupa dipengaruhi oleh temperatur dan varietas ulat. Pada umumnya ulat selesai membuat kokon dalam dua hari dan dua hari kemudian digunakan untuk merubah diri menjadi pupa. Pupa yang mula-mula berwarna keputihan dan lunak dalam dua hari akan berubah menjadi berwarna cokelat tua dan mengeras. Kokon akan dipanen pada hari keenam dan ketujuh setelah mengokon. Standar mutu kokon kering dapat dilihat pada lampiran 4.

2. Agroindustri Benang Sutera