Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir : Isu Sosial Sumberdaya

Dalam konteks yang lebih luas yaitu sustainable development and poverty implementasikan alleviation, pembayaran jasa lingkungan berpotensi untuk diimplementasikan dimanapun di Indonesia dengan memperhatikan pre- conditioning dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan di lokasi tersebut, yaitu mulai dari program penguatan strategi peningkatan penghidupan masyarakat, modal sosial dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan berdasarkan dari hasil- hasil studi yang dilaksanakan diawal program jasa lingkungan.

2.19 Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir : Isu Sosial Sumberdaya

Kualitas hubungan antara masyarakat hulu dan masyakat hilir sangat menentukan program imbal jasa yang ingin diwujudkan. Klasifikasi konseptual dari sosial kapital dapat mengambarkan analisis tersebut. Grootaert et al., 2004 berpendapat ada 3 konsep sosial kapital. Pertama bonding social capital yang merupakan ikatan antar anggota masyarakat yang memiliki kesamaan demografi, seperti anggota keluarga, tetangga, teman dekat dan rekan kerja. Kedua bridging social capital merupakan ikatan antar anggota yang tidak memiliki kesamaan demografi tetapi memiliki kesamaan persepsi dan ketertarikan isu tertentu. Ketiga linking sosial kapital dimana ikatan antara suatu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya memiliki perbedaab posisi otoritas, seperti antara masyarakat umum dengan pejabat pemerintah, polisi, dan pekerja sosial. Terpinggirkannya masyarakat miskin didataran tinggi mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri mereka dan tidak adanya koordinasi secara institusional dalam menyampaikan aspirasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Kondisi ini merupakan titik awal dalam membangun suatu bonding sosial kapital dimana relasi antar anggota masyarakat terdapat keseimbangan ”kekuatan” dalam berinteraksi dengan komunitas dengan masyarakat hilir. Bukti dampak terhadap masyarakat miskin jarang ditemukan, meskipun ada tetapi sering kali dibiaskan. Dengan membantu kelompok miskin mentransformasikan modal alamnya yang terdapat pada hutan menjadi arus finansial, maka pasar dapat memberikan penduduk lokal fleksibilitas yang lebih besar dalam mengeksploitasi aset alamnya dan membantu menurunkan kerentanannya melalui diversifikasi pendapatan dasarnya. Pasar juga dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin arus jasa yang berkelanjutan untuk menghasilkan manfaat Landell dan Porras, 2002. Ketidakpastian hak milik, kerangka kerja regulasi ad hoc yang tidak lengkap, terbatasnya keahlian dan pendidikan, tidak mencukupinya pembiayaan, lemahnya informasi dan kontak, tidak mencukupinya infrastruktur komunikasi, ketidaksesuaian dalam mendisain komoditas, tingginya biaya koordinasi dan lemahnya dukungan politis kesemuanya adalah kendala dalam pengembangan pasar. Tujuh tahapan dalam mempromosikan pasar yang mendukung komonitas miskin yaitu : 1. Memformalisasikan hak milik jasa hutan yang dimiliki penduduk miskin. Formalisasi hak-hak sumberdaya alam adalah penting untuk memberikan group marginal kontrol atas dan hak untuk mendapatkan penerimaan dari penjualan jasa lingkungan. 2. Mendefinisikan komoditas yang sesuai. Komoditas yang sederhana dan fleksibel yang dapat beroperasi dengan sendirinya, yang sesuai dengan legislasi yang ada dan sesuai dengan strategi nafkah hidup lokal perlu dikembangkan pada daerah miskin. 3. Membentuk mekanisme pembayaran yang efektif biaya. Pada daerah yang kapasitas regulasinya lemah, keahlian perdagangan akan berada dalam kondisi suplai jangka pendek dan infrastruktur pasarnya tidak berkembang. 4. Memperkuat institusi kerjasama. Kerjasama adalah masalah penting yang membuat pemilik lahan miskin dan manfaat jasa menanggung bersama-sama biaya yang terkait dengan partisipasi pasar. Juga penting untuk mencapai level minimum suplai dan permintaan sehingga partisipasi pasar dapat berjalan. 5. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan. Pelatihan dalam hal pemasaran, negosiasi, manajemen, kalkulasi finansial, menyusun kontrak dan menyelesaikan konflik adalah persyaratan penting untuk berpartisipasi yang efektif. Keahlian teknis yang berhubungan dengan manajemen kehutanan untuk jasa lingkungan juga diperlukan. 6. Membentuk pusat dukungan pasar. Informasi adalah kekuasaan untuk meningkatkan kemampuan penduduk miskin dalam berpartisipasi pada pasar ini. Dukungan pusat pasar dapat memberikan akses bebas terhadap informasi pasar, tempat bertemunya dengan penjual potensial pembeli dan perantara dan memberikan dukungan saran dalam menyusun dan melaksanakan kontrak. 7. Meningkatkan akses ke pembiayaan. Jika pembiayaan membutuhkan negosiasi dan kesimpulan jasa lingkungan disepakati, pemerintah memegang peranan penting dalam mendukung akses ke pendanaan. 2.20 Konsep Nilai untuk Sumberdaya dan WTP Fauzi 2004, mengemukakan bahwa pengertian nilai, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Dari sisi ekologi, misalnya nilai dari hutan mangrove sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu dan fungsi ekologis lainnya. Dari sisi teknis nilai dari hutan mangrove bisa sebagai pencegah abrasi atau banjir dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman akan penting suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Tetapi menurut Pearce dan Moran 1994 pada umumnya metode penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan lansung dan tidak lansung. Pendekatan lansung mencakup teknik pengupayakan memperoleh penilaian secara lansung dengan menggunakan percobaan dan survei. Teknik survei kuesioner terdiri atas 2 tipe yaitu perolehan rangking dan perolehan nilai, berupa keinginan untuk membayar dan kesediaan untuk menerima kompensasi. Nilai adalah persepsi dari manusia dimana itu diberikan khusus oleh manusia pada waktu dan tempat tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kenikmatan merupakan kata yang diberikan kepada nilai yang telah diterima. Perhitungan nilai ini dilakukan pada waktu, barang dan uang dimana untuk proses atau penggunaan atau pelayanan yang diterima Davis, 1997. Hufschmidt et al. 1987, memberikan resume mengenai metode dan teknik penilaian ekonomi sebagai berikut : a. MetodeTeknik Berorientasi Pasar, dalam metode ini dilakukan dengan cara : 1. Penilaian dengan menggunakan harga pasar, perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan. 2. Penilaian dengan menggunakan harga pasar bagi input : pengeluaran biaya pencegahan, biaya penggantian biaya proyek bayangan, analisis keefektifan biaya. 3. Penilaian keuntungan menggunakan pasar pengganti : barang yang dapat di pasarkan sebagai pengganti lingkungan, pendekatan nilai pemilikan, pendekatan lain terhadap nilai tanah, pendekatan biaya perjalanan, pendekatan perbedaan upah dan penerimaan kompensasi. b. Orientasi Survei, pada metode orientasi survei penilaian dilakukan dengan cara 1. Pertanyaan lansung mengenai kesediaan untuk membayar : permainan lelangan. 2. Pertanyaan lansung pilihan jumlah : metode pilihan tanpa biaya. Sementara sistem pasar yang ada saat ini belum mampu menilai manfaat- manfaat intangible dari hutan, dimana para ahli berusaha mengembangkan pendekatan baru, yaitu pendekatan teknik penilaian yang bertumpu pada teori permintaan indifidu dengan menggunakan kesediaan membayar dari konsumen yang bersangkutan. Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi kesediaan membayar dari indifidumasyarakat untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya Hufschmidt et al. 1987, atau kesediaan untuk menerima kompensasi lingkungan akibat adanya kerusakan lingkungan dan sekitarnya. Kesediaan membayar atau menerima ini akan merefleksikan preferensi indifidumasyarakat terhadap perubahan lingkungan dari keadaan awal menjadi kondisi lingkungan yang menjadi lebih baik. Fauzi 2004, mengemukakan bahwa perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman akan penting suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian harga pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi sumberdaya alam. Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut kemauan membayar seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi dan lai-lain, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Kemauan membayar juga dapat diukur dari kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang dalam posisi indeferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga misalnya akibat sumberdaya makin langkaatau karena perubahan kualitas sumberdaya, seperti yang terjadi pada sumberdaya air. Dengan demikian konsep WTP ini terkait erat dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan, WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu. Berdasarkan landasan konsep ekonomi, nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat dengan tidak terbatas pada barang dan jasa. Barang dan jasa tersebut dapat diperoleh tidak hanya kegiatan jual beli saja tetapi juga semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia baik barang publik maupun privat dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian fungsi ekologis dalam hal ini penghargaan terhadap sumberdaya air pada hakekatnya juga merupakan nilai ekonomi karena jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan atau terjadi kerugian adanya bencana atau kerusakan. Pendekatan barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan nilai pasar yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Namun para pemerhati lingkungan dan juga para ahli ekonomi percaya bahwa sumberdaya alam belum dapat dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Masih banyak masalah-masalah penilaian yang terjadi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, seperti manfaat hutan seperti nilai hidrologis, biologis, dan estetika yang masih luput dari penilaian pasar. Lebih lanjut Fauzi mengatakan bahwa sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran Willingness to Accept WTA yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan terhadap sesuatu. Tetapi dalam prakteknya pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia, Fauzi, 2004. Lebih jauh Garrod dan Willis 1999 , serta Hanley dan Splash 1993 menyatakan bahwa meskipun besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran 2 sampai 5 kali lebih besar daripada besaran WTP. Hal ini terjadi karena beberapa faktor : 1. Ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara 2. Pengukuran WTA terkait dampak pemilikan, dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumberdaya yang ia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena ini sering juga disebut loss aversion yaitu menghindari kerugian, dimana seseorang lebih cenderung memberikan nilai yang lebih besarterhadap kerugian. 3. Responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan maupun preferensinya. Dalam pengukuran WTP, Haab dan McConnel 2002 menyatakan bahwa pengukuran WTP yang dapat diterima harus memenuhi syarat : 1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif 2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan 3. Adanya konsintensi antara keacakan pendugaan dan keacakan perhitungan. Memang telah diakui bahwa ada kelemahan dalam keinginan membayar ini. Misalnya, meskipun sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dapat diukur nilainya karena diperdagangkan, sebagian yang lain, seperti keindahan pantai atau laut, kebersihan dan keaslian alam tidak diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diketahui nilainya, karena masyarakat tidak membayarnya secara lansung. Selain itu, masyarakat tidak familier dengan cara pembayaran jasa seperti itu, keinginan membayar mereka juga sulit diketahui. Walaupupun demikian, dalam pengukuran nilai sumberdaya alam, nilai tersebut tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumberdaya. Kita juga bisa mengukur dari sisi lain, yakni seberapa besar masyarakat harus diberi kompensasi atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Adapun secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan, dapat digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willinggness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP keinginan membayar yang terungkap. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, Random Utility Models. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh lansung dari responden, yang lansung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method CVM, Discrete Choice Method, Random Utility Models. Adapun teknik pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran langsung dimana pada pendekatan pengukuran secara langsung ini, nilai dari jasa lingkungan dapat diukur langsung dengan menanyakan kepada indifidu atau masyarakat mengenai kemauan mereka membayar terhadap perubahan atau kondisi air yang saat ini terjadi penurunan. Pendekatan atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method CVM, dimana CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui kemauan membayar dari masyarakat mengenai jasa lingkungan yang dihasilkan dari sumberdaya air. Adapun tahap-tahap dalam metode CVM ini adalah sebagai berikut : membentuk pasar hipotetik, mendapatkan nilai penawaran, menghitung dugaan rataan WTP expected WTP, EWTP, menentukan WTP agregat atau WTP total TWTP, menduga kurva penawaran, dan mengevaluasi pelaksanaan CVM.

2.21 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu