Jasa Lingkungan Ekowisata Analisis kemauan membayar masyarakat perkotaan untuk jasa perbaikan lingkungan, lahan dan air (suatu kasus DAS Citarum Hulu)

yaitu pengelolaan ekosistem untuk pemenuhan kebutuhan subsisten dasar seperti bahan makanan, kayu, api, air dan kehidupan spritual. Kedua, hubungan yang terkait dengan masyarakat pengguna sumberdaya alam untuk melakukan kegiatan produksi sehingga menghasilkan kelebihan produksi. Kelebihan ini lalu dijual di pasar dalam upaya memperoleh pendapatan. Yang terakhir berkaitan dengan usaha penyediaan jasa lingkungan bagi kepentingan regional dan global misalnya kualitas air, keanekaragaman hayati, dan penambatan karbon yang saat ini merupakan fokus sejumlah inisiatif baru. Strategi masyarakat, dengan makin tersedianya jasa ekosistem, harus terintegrasi ke dalam tiga tingkatan tersebut dan mampu mengurai setiap hambatan dalam setiap tingkatan.

2.17 Jasa Lingkungan Ekowisata

Dalam sistem katalog HHNK hasil hutan non kayu Internasional, jasa lingkungan termasuk dalam kategori HHNK yang terdiri atas Biophysycal Product Water Carbon dan Physcological Product Cultural Amenities. Mengingat beragamnya jenis dan potensi yang ada. Ekowisata merupakan bagian dari wisata dan rekreasi yang memanfaatkan dan memperlakukan daya tarik alami dan kelestarian alam secara berimbang. Prinsip-prinsip yang menjadi rambu utama dalam ekowisata adalah : i berbasis watak alam, ii lingkungan lestari, iii mengandung nuansa pendidikan lingkungan. Dalam skema jasa lingkungan, masyarakat yang menjaga keindahan lokasi ekowisata dapat disebut sebagai provider dan masyarakat atau pihak-pihak yang menikmati keindahan alam disebut sebagai buyer atau user keindahan alam. Secara umum pasar jasa lingkungan dapat pula diartikan sebagai kesempatan bagi masyarakat yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi serta kawasan hutan lokasi ekowisata untuk meningkatkan taraf hidup mereka ICRAF et al., 2005. Selain itu, mekanisme ini juga ditujukan untuk meningkatkan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumberdaya alam atau hutan. Rezim pengelolaan sumberdaya dapat diberikan kepada masyarakat sebagai pemegang hak dalam pengelolaan. Agar terciptanya sumberdaya yang berkelanjutan maka hak-hak pengelolaan dapat diberikan kepada masyarakat, sehingga dapat memacu tingkat pendapatan masyarakat. Gambar 1 Skema Pemanfaatan dan Pembayaran Jasa Lingkungan Sumber : Fauzi, 2007. Gambar 1 dideskripsikan bahwa keindahan alam atau landscape beauty umumnya terletak di bagian hulu menyediakan jasa lingkungan berupa keindahan yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk ekowisata dan menghasilkan sumberdaya air. Jasa lingkungan ini di konservasi oleh masyarakat hulu dan dimanfaatkan oleh masyarakat hilir. Dengan dilaksanakan skema pembayaran jasa lingkungan. Maka diperlukan adanya yayasan atau lembaga masyarakat yang independen, yang dapat mengelola dana hasil skema pembayaran jasa linkungan .lembaga ini harus beranggotakan semua pemangku kepentingan stakeholders di daerah tersebut dan dapat diterima oleh semua pihak. Dana hasil skema ini kemudian dikelola dengan persetujuan para pemegang kepentingan dan hendaknya memberikan keuntungan bagi masyarakat hulu, hilir dan kelestarian sumberdaya alam. 2.18 Pengembangan Sumberdaya Hutan melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam 3 tahun terakir inisiatif pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di indonesia secara sistimatis telah dikembangkan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat nasional dan Internasional, seperti LP3ES, WWF, RUPES-ICRAF. Saat ini ada sekitar 84 lokasi yang dipandang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan jasa lingkungan di Indonesia baik dalam bentuk biodiversity, watershed protection, landscape beauty maupun carbon sequestion Review of the Landscape Beauty Keindahan Alam Jasa Lingkungan : Sumberdaya AirDAS Keanekaragaman hayati Karbon sequestration Landscape ekowisata Masy. Kota Hilir Masy. Hilir Konsumen Yayasanlembaga Independent intermediaries Masy. Hulu Produsen Rp Rp development enviromental service market in Indonesia, World Agroforestry Centre, 2003. Dalam sambutannya ketika resmi membuka lokakarya Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia, Dedi M. Riyadi 2005 , mengemukakan bahwa isu mengenai jasa lingkungan di Indonesia sudah cukup lama dikenal, walaupun dalam bahasa yang berbeda misalnya pada zaman kementrian lingkungan hidup dibawah pimpinan bapak Emil Salim pada tahun 1980-an dikemukakannya bahwa saat ini sudah banyak terjadi peralihan pemanfaatan lahan kawasan hutan dan bahkan lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan industri. Ini terkait dengan pertambahan penduduk Indonesia yang tidak terkendali. Dengan demikian, sebagai bagian upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan maka pengembangan fungsi penyediaan produksi dan jasa lingkungan diharapkan untuk searah dengan perwujudan Millenneum Development Goals MDGs. Dalam sektor kehutanan, agar manfaat hutan dapat tetap dimanfaatkan dan terjaga dengan baik bagi kepentingan generasi selanjutnya sustainable development, maka diperlukan pergeseran paradigma dalam pembangunan kehutanan. Saat ini sering kali hutan hanya dipandang dari sisi fungsi produksi kayu saja, yang menurut penelitian 7 dari seluruh hasil hutan. Padahal hasil produksi hutan non kayu termasuk jasa lingkungan mempunyai potensi sangat besar tetapi sampai saat ini belum optimal pemanfaatannya. Riyadi 2005 , menjelaskan bahwa apa yang dilakukan terkait dengan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di negara ini masih bersifat parsial. Diperlukan advokasi yang mengarah pada pengembangan kebijakan yang dapat dijadikan acuan bersama. Lebih lanjut diutarakannya, berdasarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan yang berkelanjutan, ada beberapa yang dapat dikembangkan terkait dengan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Aspek pemanfaatan keanekaragaman hayati, hasil hutan non kayu, ekoturisme hutan, dan sumberdaya air. Berbagai inovasi teknis mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan terkait dengan keempat aspek tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kelembagaan dan hukum kebijakan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di Indonesia. Secara khusus, hingga saat ini kerangka kebijakan dan regulasi terkait aspek sumberdaya alam dan ekowisata yang ada di Indonesia belum mengakomodasi bentuk pendanaan yang bersumber dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan. Mengingat keterbatasan sumber dana konvensional, maka mekanisme pembiayaan pembangunan dan investasi yang bersifat hijau ini dapat menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan untuk jasa lingkungan. Namun pemikiran ini memerlukan pembahasan yang lebih detail. keterkaitan upaya pengembangan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan dengan aspek hukum perlu diperhatikan mengingat pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan sangat erat kaitannya dengan pemahaman status kepemilikan lahan di lokasi proyek, seperti hutan adat, hutan produksi pemerintah dan lain-lain. Khusus untuk hutan produksi dan hutan lindung, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 telah disebutkan tentang pelaksanaan pembayaran jasa lingkungannya. Sedangkan implementasi pembayaran jasa lingkungan di kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru baru dalam daftar usulan untuk bisa dimasukan dalam Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 dan secara rinci akan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan jasa lingkungan. Masukan kebijakan ke tingkat nasional sangat diharapkan karena pada saat ini pembayaran dan imbal jasa lingkungan di Indonesia masih bersifat lokal dengan kasus-kasus spesifik lokasi. Perlu adanya advokasi kebijakan yang diangkat dari pengalaman- pengalaman tingkat lokal tersebut. Intervensi pemerintah perlu ada namun perlu dipandang dengan kritis. Berbagai jenis kegiatan perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan pelembagaan jasa lingkungan sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi tingkat kerusakan kawasan hutan akibat kerusakan yang terjadi . Mulai dari penelitian, pendidikan hinggan promosi dan kampanye serta implementasi jasa lingkungan. Terwujudnya mekanisme transaksi antara buyer dengan seller jasa lingkungan boleh dikatakan diperkirakan masih cukup lama untuk dapat diaplikasikan karena Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1996 belum mengatur tentang hal ini, baik terkait dengan pelaku, lokasi, nilai dan jangka waktunya. Implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di suatu wilayah perlu diintegrasikan dengan perencanaan spasial disertai dengan adanya kesepakatan lintas sektoral, provinsi dan nasional. Diperlukan pula adanya konsultasi dari bawah ke atas masyarakat dalam penyusunan proses dan besaran kompensasi atau insentif hingga didapatkan kesesuaian, kesetimbangan atau equilibrium willingness to accept dan willingness to pay antara provider dan user atau buyer. Implementasi jasa lingkungan akan juga mencerminkan adanya penghormatan terhadap hak asasi masyarakat hulu untuk bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan strategi nasional penanggulangan kemiskinan SNPK tahun 2005 yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hal ini dapat dikatakan demikian karena jasa lingkungan ekowisata diharapkan akan membangun dan atau mengembangkan kewirausahaan endogen yang efektif ditingkat akar rumput. Dan, bila dilaksanakan dengan mekanisme jasa lingkungan maka pengembangan program ini dilaksanakan dengan dukungan dana dari masyarakat di hilir dan pengelolaan secara keseluruhan dilakukan dengan supervisi dari lembaga independen antara buyer dan provider sehingga diharapkan akan terjadi keberlanjutan program dan berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat di hulu dan kelestarian alamnya. Berdasarkan hasil perkawinan data Podes potensi desa setelah tahun 2003 dengan data BKKN Badan Keluarga Berencana Nasional diketahui bahwa 43,98 masyarakat miskin ada di kawasan hutan CESS, 2005. Data yang ditunjukkan oleh Renstra Kehutanan tahun 2005-2009 ada sebanyak 48,8 juta jiwa masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan termasuk disekitar kawasan konservasi dan sebanyak 10,2 juta jiwa dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Dengan adanya data tersebut, maka implementasi jasa lingkungan diharapkan akan dapat meningkatkan kehidupan mereka yang dikategorikan miskin tersebut. Hal ini bila diasumsikan bahwa pada umumnya, di lokasi-lokasi tersebut sangat indah dan merupakan lokasi jasa lingkunga ekowisata yang potensial. Dalam konteks yang lebih luas yaitu sustainable development and poverty implementasikan alleviation, pembayaran jasa lingkungan berpotensi untuk diimplementasikan dimanapun di Indonesia dengan memperhatikan pre- conditioning dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan di lokasi tersebut, yaitu mulai dari program penguatan strategi peningkatan penghidupan masyarakat, modal sosial dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan berdasarkan dari hasil- hasil studi yang dilaksanakan diawal program jasa lingkungan.

2.19 Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir : Isu Sosial Sumberdaya