5. Melakukan pengendalian terhadap sumberdaya air yang mengandung
eksternalitas secara terpusat, dengan harapan agar pengelolaan tunggal ini dapat menginternalisasikan dampak ekternal dalam penghitungan biayanya.
6. Mendirikan dan mengoperasikan pemanfaatan sumberdaya air oleh perusahaan
air minum, perusahaan pembangkit tenaga listrik dan lain-lain. Pengalokasian sumberdaya air adalah bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi ekonomi, pemerataan, menyelesaikan konflik-konflik yang timbul, peran serta masyarakat, pengendalian air setempat yang banyak ditentukan oleh faktor-
faktor yang bersifat sosio-kultural serta politik yang ada. Terjadinya ketidakpastian atas aspek yang bersifat legal, fisik dan hak pemakaian juga perlu
diperbaiki. Demikian juga harus diusahakan agar terdapat fleksibilitas dalam mekanisme alokasi baik secara teknis dan kelembagaan sehingga penggunaan
sumberdaya air dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan antar wilayah, antar berbagai penggunaan dan antar para pengguna dalam berbagai waktu dengan
biaya rendah. Anwar 1999, menjelaskan bahwa peranan swasta dalam arti luas dalam
pengembangan sumberdaya air pada masa yang akan datang sudah saatnya untuk tampil karena keberadaannya sudah dikehendaki oleh masyarakat. Peningkatan
peran swasta ini memerlukan fasilitas dalam sebuah kerangka sistem legal perundang-undangan dan pengaturan, sehingga sumberdaya air dapat
didayagunakan secara lebih efisien dan konsumen tidak merasa dirugikan. Perubahan strategi pembangunan kearah berkelanjutan mengandung arti
bahwa sumberdaya air harus dialokasikan kearah pemanfaatan air dengan efisiensi yang semakin lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, dengan semakin
langkanya sumberdaya air, maka air akan merupakan sumberdaya terpenting yang dapat menimbulkan berbagai konflik dalam penggunaannya. Oleh karena itu,
sumberdaya air tersebut harus dipergunakan untuk menghasilkan sebesar-besarnya manfaat kepada masyarakat luas dengan mengurangi kemubaziran, serta alokasi
sumberdaya tersebut kearah yang berkeadilan sosial.
2.2 Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan
Keberadaan air di Indonesia sebagai kebutuhan dasar dijamin oleh konstitusi sebagaimana dalam Pasal 33 UUD 1945. Penjaminan itu lebih dipertegas lagi
dalam RUU tentang Sumberdaya Air Pasal 5 yang menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-
hari untuk memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Secara Internasional perspektif air sebagai kebutuhan dasar ini dipertegas lagi oleh
Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar. Dalam
deklarasi ini disebutkan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan bukan hanya sebagai komoditi ekonomi.
Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi manusia, air juga dalam pandangan umum dipandang sebagai barang umum yang tidak dimiliki oleh
siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama yang dikelola secara kolektif bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan guna memperoleh
keuntungan. Dengan adanya RUU Sumberdaya Air dan deklarasi PBB tentang pengelolaan sumberdaya air, agaknya pandangan umum tersebut sudah berubah
dan ditinggalkan, karena air tidak hanya sekedar barang umum tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi.
Pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya air tersebut didasarkan pada nilai ekonomi intrinsik yang dimiliki oleh air, yang dilandasi pada asumsi adanya
keterbatasan dan kelangkaan air serta dibutuhkannya investasi untuk penyediaan air bersih sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara. Hingga saat ini
perdebatan mengenai pro dan kontra tentang paradigma pengelolaan sumberdaya air masih merupakan suatu diskusi yang panjang. Sulit untuk menyatakan secara
terang-terangan bahwa air adalah barang umum atau air adalah barang ekonomi. Sanim 2003, menjelaskan bahwa penilaian terhadap air akan menjadi lebih
kompleks jika cara pandang pemanfaatan sumberdaya air didasarkan atas filosofis yang melingkupinya. Lebih lanjut Sanim 2003, menjelaskan ada dua basis cara
pandang dalam pemanfaatan sumberdaya air, yaitu: antropocentrisme dan ecocentrisme. Dalam cara pandang antropocentrisme manusia adalah pemilik
semua yang ada dimuka bumi ini sehingga setiap keputusan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya.
Sistem nilai ekonomi muncul dari kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata, sehingga dalam memperlakukan sumberdaya alam
cenderung eksploitatif dan destruktif. Dalam cara pandang ecocentrisme dimana ekonomi setara dengan ekologi setiap elemen ekosistem manusia, hewan,
tumbuhan memiliki kedudukan sederajat dalam mendapatkan kepentingannya. Sistem ekonomi yang diberlakukan terhadap benda-benda alam dikaitkan
dengan intrinsic value yang tidak dapat dinilai secara konvensional oleh piranti ekonomi. Cara pandang mana yang akan dipegang dan dianut dalam pengelolaan
sumberdaya air akan sangat tergantung pada kepentingan dari domain yang ada pada suatu negara. Selain itu, akan sangat tergantung pula pada bagaimana
stakeholders memperlakukan sumberdaya air sebagai dasar bagi pembangunan secara keseluruhan, termasuk pembangunan untuk sumberdaya manusianya.
Secara rinci Sanim 2003, juga menjelaskan bahwa kerangka pemanfaatan sumberdaya air, apakah akan menganut antropocentrisme atau ecocentrisme akan
sangat tergantung pada tiga domain, yaitu : ruang sektor masyarakat, ruang sektor swasta, dan ruang sektor publik. Jika ruang sektor masyarakat dilandaskan pada
antropocentrisme maka air akan dipandang sebagai public goods and global commons dengan konsekuensi pemanfaatan yang tidak efisien tanpa dilandasi
perlunya keberlanjutan dan keberadaan sumberdaya air tersebut. Sebaliknya jika dilandaskan pada ecocentrisme maka efisiensi dan keberlanjutan menjadi pusat
perhatiannya. Untuk ruang sektor swasta, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui
rekayasa kebijakan di sektor swasta, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan melalui privatisasi, dalam domain ini kerangka filosofis
balik antropocentrisme maupun ecocentrisme jelas-jelas harus diperhatikan. Untuk ruang sektor publik, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui
rekayasa kebijakan publik, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan oleh Pemerintah daerah atau regionalisasi, dalam domain ini kerangka
filosofis baik antropocentrisme maupun ecocentrisme juga tetap harus menjadi bahan pertimbangan.
2.3 Konsep Ekonomi Sumberdaya Air