Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air

Berdasarkan batasa-batasan tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian persepsi merupakan penilaian, penglihatan atau pandangan seseorang melalui proses psikologis yang selektif terhadap suatu obyek atau segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Saparinah 1976 mengemukakan ada 4 karakteristik dari faktor-faktor pribadi atau sosial yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu : 1. Faktor ciri khas dari obyek ransangan, faktor ini terdiri dari : a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari stimulus ransangan seperti nilai bagi obyek yang mempengaruhi cara stimulus tersebut dipersepsi. b. Arti emosional, yaitu : sampai seberapa jauh stimulus tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi indifidu yang bersangkutan. c. Familiaritas, yaitu pengenalan yang berkali-kali dari suatu stimulus yang mengakibatkan stimulus tersebut dipersepsi lebih akurat. d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai stimulus tersebut. 2. Faktor pribadi, termasuk dalam ciri khas indifidu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain. 3. Faktor pengaruh kelompok, dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberi arah terhadap tingkah laku seseorang. 4. Faktor latar belakang kultural, orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek yang sama karena latar belakang kultural yang saling berbeda.

2.5 Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air

Anwar 1999, mengatakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggung jawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, subtitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Purwonugroho 2003, menjelaskan bahwa sesungguhnya kekeringan, banjir, dan tanah longsor merupakan potret dari buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai DAS di Indonesia. Fenomena bencana yang terjadi itu hanyalah tanggapan-tanggapan alami dari adanya perubahan-perubahan keseimbangan sistem alam dalam skala DAS. Ketika komponen penyusun DAS mengalami perubahan, keseimbangan alamiah akan timpang, sehingga timbul fenomena- fenomena alam yang seringkali merugikan manusia yang menghuni di dalam DAS. Saat ini kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, pada tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, tahun 1994 menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 42 DAS, tahun 2000 menjadi 58 DAS, dan tahun 2002 menjadi 60 DAS. Respon dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. Ketika hujan mudah banjir. Namun sebaliknya, ketika kemarau, mudah terjadi kekeringan, sehingga menimbulkan kerugian yang luas biasa. Supriadi 2000, menjelaskan bahwa kawasan hulu mempunyai peranan penting yaitu sebagai tempat penyedia sumberdaya air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman, dan lain-lain. Di lain pihak kemampuan pemanfaatan lahan bagian hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif ke daerah sumberdaya air yang ada di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai. 2.6 Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air Faktor-faktor utama yang secara umum berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan bersumber pada dua faktor utama, yaitu 1 faktor kelembagaan berupa kebijakan pemerintah dalam bentuk perundangan, dan kelembagaan masyarakat berupa konvensi dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, dan 2 faktor non-kelembagaan, termasuk di dalamnya aspek pasar Saefulhakim, 1999. Kesimpulan tersebut diturunkan dari hasil penelitian terhadap fenomena konversi lahan di tujuh provinsi di Indonesia, yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali dan Lampung, dan Sumatera Selatan. Ketujuh provinsi tersebut dianggap sebagai lumbung beras utama Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa secara umum faktor kelembagaan berkontribusi 70 dalam mendorong konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang berakibat pada kerusakan lahan pertanian Winoto et al,. 1996. Kelembagaan berupa aturan perundangan memiliki rata-rata bobot yang lebih tinggi 60 dalam mempengaruhi fenomena konversi lahan dibandingkan faktor non-kelembagaan. Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap model Von Thuenen, Saefulhakim 1995, merumuskan beberapa faktor penting pendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain sebagai berikut : 1. Perkembangan standar tuntunan hidup yang tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktifitas, nilai tambah, dan pendapatan. 2. Struktur harga-harga yang timpang misalnya term of trade antara output sector pertanian dengan output sektor-sektor non-pertanian. 3. Struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait dengan pola spasial kualitas lahan, struktur skala penguasaanpengusahaan lahan, sistem infrastruktur, dan sistem kelembagaan 4. Kemandekan perkembangan teknologi intensifikasi yang tidak hanya terjadi di sektor pedesaan juga di sektor pertanian 5. Pola spasial aksesibilitas 6. Tingginya resiko dan ketidakpastian 7. Sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan Anwar 1999, mengemukakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggungjawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, substitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Beberapa ketidakmampuan sistem pengorganisasian ekonomi tercermin diantaranya dalam bentuk kekeliruan kebijaksanaan yang membuat terjadinya distorsi dari bekerjanya sistem pasar yang efisien melalui subsidi kapital, batas pagu sukubunga, subsidi pestisida, subsidi enegi, pengurangan pajak, kuota dan beberapa hak-hak dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pada segolongan penduduk. Kegagalan pasar dan kelangkaan sumberdaya alam tersebut tercermin dari terjadinya akses terbuka, tidak jelasnya hak-hak, terjadinya eksternalitas dan sifat-sifat dari barang bebas publis good, pasar yang bersifat monopoli, tingginya biaya-biaya transaksi, konsesi-konsesi pengusahaan sumberdaya jangka pendek, keputusan sistem pasar yang bersifat jangka pendek dan banyaknya sumberdaya alam yang tidak dinilai.

2.7 DAS dan Hutan sebagai Pengatur Tata Air