IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Lingkungan DAS Citarum Hulu Secara Umum
DAS Citarum adalah DAS utama di Jawa Barat yang memiliki luas 6,080 km
2
atau 608,000 ha, dengan sungai Citarum yang panjangnya 300 km. Sungai utama Citarum memiliki anak sungai berjumlah 36 dengan panjang sekitar 873
km, dan 3 Waduk besar yakni Saguling, Cirata dan Juanda Kurniasi, 2002. Dalam perjalanannya sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang
Kabupaten Bandung dan bermuara di laut di laut Jawa, melewati 7 Kabupaten yakni Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Bekasi, Purwakarta dan Karawang,
serta 2 kota yakni Bandung dan Cimahi yang kesemuanya berada dalam Propinsi Jawa Barat. DAS Ciatrum saat ini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa, dengan
penyebaran 6 juta jiwa tinggal di bagian hulu DAS dibagian atas waduk Saguling dan sisanya tersebar di DAS bagian hilir.
Sumberdaya lingkungan lahan DAS SDLL-DAS Citarum yang meliputi 6,080 km
2
608,000 ha, saat ini dimanfaatkan untuk pertanian seluas 170,832 ha 27,5 , perkebunan 59,657 ha 9,6, permukiman 76,777 ha 12,3, hutan
88,271 ha 14,2 , perikanankolamtambak 35,892 ha 5,8, serta lain-lain yang berupa tanah kosong, padang rumput dan rawa 190.418 ha 30,6.
Sumberdaya lingkungan perairan DAS SDLP-DAS Citarum berupa masa air yang ada di sungai Citarum dan waduk-waduknya di manfaatkan sebagai sumber
air untuk irigasipertanian, air baku, air minum, perikanan, air baku industri, pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air Sk Gubernur Jawa Barat
No.39 Tahun 2001 SDLP-DAS Citarum tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah DAS Citarum saja, namun juga dimanfaatkan
juga oleh masyarakat diluar DAS Citarum, seperti masyarakat DKI Jakarta sebagai bahan baku air minum, dan masyarakat Jawa dan Bali sebagai PLTA
Kurniasi, 2002.
4.2 Kondisi Umum Kerusakan Lingkungan di DAS Citarum Hulu
Daerah Aliran Sungai DAS yang merupakan suatu kesatuan wilayah spesifik, dipengaruhi oleh faktor biofisik relief, topografi, fisiografi, iklim, tanah.
air, dan vegetasipenggunaan lahan dan faktor manusia ditentukan oleh jumlah,
penyebaran, tingkat pertumbuhanpertambahan, profesi, dan tingkat pendidikan. Hubungan timbal-balik antara kedua faktor tersebut akan menentukan tingkat
keseimbangan ekologis di kawasan suatu DAS. Sumberdaya lahan di dalam suatu kawasan DAS merupakan sumberdaya alam yang terbatas ketersediannya;
sedangkan laju pembangunan di semua sektor semakin meningkat dan akan berakibat terjadinya perebutan penggunaan sumberdaya lahan yang terbatas
tersebut. Di samping itu, sebagian besar kawasan DAS di lndonesia saat ini telah atau mulai mengalami kerusakandegradasi yang disebabkan oleh beberapa
penyebab, khususnya : 1. Penggunaan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan tingkat kesesuaiannya, 2. Penggunaan
sumberdaya lahan tidakkurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi, dan 3. Ketidak seimbangan antara pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai tujuan
dengan wilayah-wilayah yang harus dipertahankan sebagai daerah penyangga bagi ekologi dan hidrologi kawasan DAS yang bersangkutan. Akibat
kerusakandegradasi sumberdaya lahan tersebut antara lain : banjir periodik, erosi, kekeringan, lahan kritis, dan kelaparanrawan pangan.
DAS Citarum merupakan salah satu DAS di Pulau Jawa yang oleh Departemen Kehutanan 1985 tergolong dalam DAS prioritas yang perlu segera
ditangani untuk konservasi dan rehabilitasinya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pertimbangan keadaan di kawasan DAS tersebut, antara lain :
1. Di kawasan DAS Citarum banyak dijumpai lahan yang sudah tergolong kritis.
2. Di kawasan tersebut terdapat bendungan-bendungan vital untuk pengairan dan
sumber tenaga listrik Bendungan Jatiluhur, Saguling, dan Cirata. 3.
Kecepatan pembangunan non-pertanian yang sedikit banyak berpengaruh sekali terhadap makin menyempitnya. lahan-lahan pertanian produktif.
Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi lahan. Degradasi lahan
tersebut mengakibatkan kemunduran produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat
kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air dapat dilihat secara visual 16, dan
pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi penulis, tidak didasarkan dari
hasil analisis laboratorium. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk sehingga penggunaan lahan
tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. hujan yang tinggi
terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl, jenis tanah Andosol yang sangat remah sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi, topografi
dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25, vegetasi tipe penggunaan lahan, sistim pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi, dan manusia
sosial, ekonomi, teknologiagroteknologi. Tabel 7 Penggunaan Lahan di Wilayah DAS
No Jenis Penggunaan Lahan
DAS Citarum ha
DAS Ciliwung ha
DAS Cisadane ha
1. Hutan Primer
63,680.9 4,193.1
21,661.4 2. Hutan
Sekunder 10,255.9
107,01 3. Kebun
Campuran 122,866.8
10,682.9 20,268.9
4. LadangTegalan 85,689.8
3,493.7 10,975.7
5. Perkebunan 134,839.9
4,902.9 19,618.3
6. Sawah 178,166.7
11,775.1 24,141.7
7. Sungaiwaduk 23,680.5
814.3 1,001.8
8. Tambak 23.680.5
9. Tanah Kosong
2,828,4 115,1
140,3 Luas
706,177.5 50,838.2
107,483.2
Sumber: PJT II 2003
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa luas lahan hutan sebagai area tangkapan air di wilayah DAS Citarum hanya lebih kurang 73,935 ha atau 10,46
persen dari luas DAS Keseluruhan dan 12 dari luas hutan Jawa Barat 615,772 ha, sedangkan luas lahan kritisnya adalah 59,485.6 ha. Berarti sebesar 80,46
persen lahan hutan di wilayah DAS Citarum sudah tergolong kritis. Oleh karena terjadinya fluktuasi debit air yang tajam di aliran sungai Citarum, yang
mengakibatkan terjadinya defisit penawaran air di hilir. Hal ini sejalan dengan penetapan DAS kritis oleh pemerintahan Jawa Barat yang mengkategorikan DAS
Citarum sebagai DAS yang tergolong kritis di Jawa Barat.
Gambar 3 Penggunaan Tataguna Lahan di Hulu DAS Citarum.
Daerah tropika basah seperti Indonesia umumnya mempunyai hujan yang tinggi dengan erosivitas yang tinggi juga serta temperatur yang relatif tinggi
sepanjang tahun. Hal ini menyebabkan proses degradasi lahan menjadi cepat, proses pencucian hara, dikomposisi bahan organik, dan mineral terjadi sangat
cepat. Sesungguhnya ekosistem seperti ini, apabila ditumbuhi oleh hutan alami dan tidak terganggu oleh manusia akan mencapai suatu tingkat keseimbangan
tertentu. Memang akan terjadi kerusakan secara alami oleh bencana alam atau kejadian alam tertentu tetapi akan terjadi juga pemulihan kembali secara alami
dengan kecepatan yang normal. Namun apabila ekosistem hutan tersebut dirubah oleh manusia menjadi pertanian maka proses degradasi lahan tersebut akan
menjadi lebih cepat dan pemulihan kembali secara alami menjadi lebih lambat. Hal inilah yang terjadi di pada areal yang terjadi di Citarum Hulu yang notabene
merupakan areal konservasi tanah dan air, terlebih lagi dalam perubahan penggunaan lahan tersebut dilakukan dengan tidak memegang prinsip
pembangunan berkelanjutan, sehingga tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Kerusakan tanah seperti rusak dan hilangnya lapisan atas tanah,
pemadatan tanah. menurunnya infiltrasi, meningkatnya aliran permukaan, erosi yang tinggi adalah hal-hal yang terjadi pada pembukaan lahan untuk areal
pertanian intensif khususnya yang terjadi pada kecamatan pengalengan berbatasan langsung dengan sumber mata air untuk Sungai Citarum. Pengetahuan petani yang
masih terbatas juga menjadi kendala dalam penerapan agroteknologi sehingga keberhasilan teknologi tersebut dalam penanggulangan lahan kritis tidak sukses
yang seperti diharapkan. Jumlah penyuluh dan pengetahuan kualitas penyuluh dilapangan yang diharapkan dapat membantu petanimasyarakat pun tidak cukup
untuk meningkatkan kinerja petani dalam penanggulangan lahan kritis. Pemilikan lahan yang umumnya digunakan oleh petani adalah lahan milik Perhutani
Wayang-Windu, juga sering tidak mendukung keamanan dan kegairahan petani menginvestasikan usaha yang berkaitan dengan penanggulangan lahan kritis.
Dari uraian dan fakta-fakta tersebut di atas, suatu perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaan DAS secara optimal dan rasional berdasarkan potensi daya
dukung lahannya serta berwawasan keseimbangan ekologi lingkungan, menjadi sangat penting dan perlu dilakukan. Untuk menyusun dan melaksanakan
perencanaan penggunaan dan pengelolaan DAS secara optimalrasional tersebut perlu dilakukan penelitian-penelitian dan survei secara sistematis dan terarah.
Penelitian-penelitian ini nantinya mampu menghasilkan informasi dan data yang berguna bagi perencanaan dan pelaksanaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan
kawasan DAS secara optimal dan rasional. Berdasarkan hasil analisis Boer, 2003 dkk, laju perubahan penggunaan lahan di Citarum Hulu disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Perubahan Penggunaan Lahan Citarum Hulu 1989 - 2001
No Jenis Penggunaan Lahan
Persentase Perubahan
1 Hutan -
11,4 2 Pertanian
+ 0,1
3 Pemukiman dan Industri
+ 47,3 4
Semak Belukar + 32,3
Keterangan : + dan – Menunjukkan Penambahan dan Pengurangan Pada Penggunaan Lahan
Gambar 4 Penurunan Debit Air di Waduk Cirata
Bertambahnya luas areal pemukiman dan industri sebesar 47,3 tersebut, sebagai akibat tekanan penduduk yang semakin meningkat di Citarum Hulu. Hal
ini terlihat pada kerapatan penduduk di Kabupaten Bandung sebagai wilayah administrasi Citarum Hulu, yang cukup tinggi. Pada tahun 1997 kerapatan
penduduk diwilayah ini sebesar 1,263.965 jiwakm2, yang diperkirakan pada tahun 2020 akan meningkat sebesar 20,5. Tingginya kebutuhan akan lahan
berakibat secara langsung pada konversi lahan yang ada di areal tersebut sebagai konsekuensi logis terhadap pemenuhuan kebutuhan hidup masyarakat
menunjukkan semakin sedikitnya areal resapan air sebagai fungsi utama daerah hulu.
Kondisi Hidrologis DAS Citarum Hulu relatif memprihatinkan. Berdasarkan data debit bulanan tahun 1973-2001 menunjukkan bahwa
perbandingan debit maksimum dengan minimum bulanan berbanding 86:1. Hal
ini dapat diartikan bahwa kondisi hidrologi DAS Citarum Hulu sangat buruk. Kondisi ini diperburuk dengan laju konversi lahan hutan menjadi penggunaan
lainnya, seperti ditunjukan pada Tabel 8 yang berakibat pada semakin sedikitnya air yang mampu di tahan didalam tanah. Dengan kondisi semakin banyaknya areal
terbuka maka hujan yang jatuh pada daerah tersebut lebih banyak menjadi aliran permukaan sehingga cadangan air pada musim kemarau semakin berkurang.
Berkaitan dengan itu, kebijakan pengelolaan sumberdaya air ke depan tidak akan terlepas dari pemeliharaan fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di
hulu DAS Citarum, karena ada keterkaitan antara ketersediaan air di hilir dengan luasan lahan kritis di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan di
wilayah DAS Citarum. Jika luas lahan kritis semakin meningkat maka akan menyebabkan fluktuasi penawaran menjadi tinggi. Ketersediaan air akan semakin
tinggi, tetapi tidak bertahan lama, karena seiring dengan itu sedimentasi juga semakin tinggi karena adanya erosi tanah. Di musim kering akan mengalami
kekurangan air karena berkurangnya luas areal hutan sebagai tangkapan air. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap berfluktuasinya jumlah penawaran air
di hilir. Fluktuasi air masuk waduk yang tinggi disebabkan oleh semakin
berkurangnya luas areal hutan sebagai areal tangkapan air, luas daerah tangkapan air dari DAS Citarum Hulu dari waduk Ir. Juanda ke bagian hulu DAS Citarum
adalah kurang lebih 454,340 hektar atau 4,543.40 km
2
. Wilayah tangkapan mencakup sebagian Kabupaten Cianjur, sebagian Kabupaten Sumedang,
Kabupaten Bandung dan seluruh Kotamadya Bandung. Pada wilayah-wilayah ini luasan lahan kritisnya sangat mempengaruhi ketersediaan air sungai Citarum di
hilir. Gambar 6. Wilayah tangkapan area dari DAS Citarum hulu dibagi menjadi tiga yang
terdiri dari : a
Daerah tangkapan dari area Waduk Saguling sampai ke bagian hulu mencakup 50 dari luas catchment area DAS Citarum Hulu 50 x 4,543.40 km
2
= 2,271.70 km
2
b Daerah tangkapan dari area Waduk Cirata ke arah hulu sampai outlet Waduk
Saguling mencakup 42 persen dari luas catchment area DAS Citarum Hulu 42 x 4,543.40 km
2
= 1,908.23 km
2
c Daerah tangkapan dari Waduk Ir. H. Juanda ke arah hulu sampai outlet Waduk
Cirata mencakup 8 dari luas catchment area DAS Citarum Hulu 8 x 4,543.40 km
2
= 364,47 km
2
. Jadi luas tangkapan air seluruhnya pada DAS Citarum ini yakni seluas
4,544.4 Km
2
, jika dibandingkan dengan luas kawasan hutan lindung yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang wilayah Jawa Barat, yang menetapkan
sebesar 40 40 x 4,435.462 ha = 1,774.185 ha dari Wilayah Jawa Barat
sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 2,661.277 ha 60 diarahkan sebagai kawasan budidaya. Maka luas lahan hutan sebagai areal tangkapan air
DAS Citarum adalah sebesar 89,7 sedangkan terhadap luas hutan lindung yang ditetapkan oleh RTRW adalah sebesar 74,4. Kenyataannya keadaan saat ini
tidak tercapai karena luas hutan sebagai wilayah tangkapan air di DAS Citarum hanya mencapai 10 dari luas hutan di wilayah DAS Citarum dan 12 dari luas
hutan di Jawa Barat.
Gambar 5. Fluktuasi Air Masuk dan Keluar di Bendungan Jatiluhur, 2003
Namun kemudian luas lahan hutan sebagai area tangkapan air ini terus berkurang, dimana tahun 2001 luas lahan hutan berkurang sebesar 235,819.82
ha,48 dan sawah berkurang sebesar 167,525.32 ha. Berkurangnya luas lahan hutan ini disebabkan oleh karena adanya alih fungsi lahan ke industri dan
pemukiman, sawah dan tegalan, tetapi yang lebih penting itu penyebabnya adalah karena semakin marak penebangan liar semenjak terjadinya krisis ekonomi,
35.000 40.000
45.000 50.000
55.000 60.000
65.000 70.000
75.000 80.000
1991 1992
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001
Air masuk m
3
Air Keluar m
3
sehingga luas lahan kritis semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin di wilayah DAS Citarum, dimana j
umlah keluarga miskin di Jawa Barat, mencapai 2,37 juta keluarga atau sekitar 9,5 juta orang
26,59 dari seluruh Penduduk Jawa Barat pada tahun 2000. Indek kemiskinan manusia di Jawa Barat tahun 1995 adalah 26,3 kemudian meningkat menjadi 26,9
Bapenas, 2001. Oleh karena itu, memang ada keterkaitan antara berkurangnya jumlah lahan hutan dengan meningkatnya indeks kemiskinan manusia di Jawa
Barat sebagaimana diungkapkan oleh Kramadibrata dan Kastaman, 2003.
4.3 Status Kualitas DAS Citarum