I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Arahan pembangunan nasional jangka panjang sebagaimana tersirat dalam program pembangunan nasional Propenas tahun 2000-2005 menekankan
keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa aktivitas-aktivitas manusia dalam pembangunan
yang dilaksanakan selain mampu membawa perubahan, juga mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem. Kegiatan pembangunan yang tidak
mengindahkan asas-asas ekologi akan menimbulkan masalah lingkungan hidup. Era otonomi yang ditandai dengan desentralisasi kegiatan pembangunan
berdasarkan wilayah administratif, sering kali berdampak pada konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam tidak dibatasi oleh
wilayah administratif, melainkan terintegrasi secara biofisik maupun sosial eknomi. Ramdan, et al. 2003 mengatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam
tidak mengenal batas administrasi, melainkan integrasi secara ekosistem maupun sosial ekonomi. Pelaksanaan otonomi daerah memiliki konsekuensi terhadap
pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air, terutama sumberdaya milik bersama seperti daerah aliran sungai DAS. Batas daerah otonom
ProvinsiKabupatenKota secara umum paradoksial dengan batas DAS. Perubahan lingkungan akibat dari meningkatnya pembangunan diberbagai
sektor dan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, sehingga menyebabkan luas kawasan lahan hutan sebagai area tangkapan air ini terus berkurang, dimana tahun
2001 luas lahan hutan berkurang sebesar 235,819.82 ha 48 dan sawah berkurang sebesar 167,525.32 ha. Berkurangnya luas lahan hutan ini disebabkan
oleh karena adanya alih fungsi lahan ke industri dan pemukiman, sawah dan tegalan, tetapi yang lebih penting lagi penyebabnya, karena semakin marak
penebangan liar semenjak terjadinya krisis ekonomi, sehingga luas lahan kritis semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin di
wilayah DAS Citarum, dimana jumlah keluarga miskin di Jawa Barat, mencapai 2,37 juta keluarga atau sekitar 9,5 juta orang 26,59 dari seluruh penduduk Jawa
Barat pada tahun 2000. Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS
Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi hutan dan lahan. Degradasi hutan dan lahan tersebut mengakibatkan kemunduran
produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan
yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air dapat dilihat secara visual dan pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi
penulis, tidak didasarkan dari hasil analisis laboratorium. Secara umum faktor- faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk
dan terjadi pergerakkan diberbagai sektor ekonomi sehingga penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang
tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. hujan yang tinggi terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl, jenis tanah yang sangat remah
sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi, topografi dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25, vegetasi tipe penggunaan lahan, sistim
pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi, dan manusia sosial, ekonomi, teknologiagroteknologi.
Gejala perubahan lingkungan tersebut di atas mempunyai dampak terhadap ketersediaan air, misalnya terjadi penurunan sumberdaya air pada wilayah DAS
sebagai satu kesatuan ekosistem hulu dan hilir, oleh karena aktivitas alih fungsi lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu dapat memberi dampak pada daerah
hilir, misalnya bentuk perubahan fluktuasi debit air, banjir, transpor sedimen serta material terlarut lainnya, demikian pula erosi yang terjadi pada lahan di wilayah
hulu yang berlansung intensif menyebabkan terangkutnya lapisan tanah yang subur pada saat musim hujan. Kondisi ini dapat mengakibatkan lahan kering
berubah menjadi lahan kritis, sehingga menyebabkan produktivitas lahan maupun pendapatan petani akan menurun, serta terjadi kelangkaan air untuk pertanian dan
konsumsi rumah tangga pada musim kemarau. Penurunan ketersediaan air dari DAS Citarum Hulu sebagai akibat dari perubahan lahan dan air akan diperparah
dengan rusaknya kondisi lingkungan pada wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan telah terjadi dengan adanya pengurangan areal hutan
. Sumberdaya air merupakan sumberdaya terpenting bagi kehidupan manusia
dalam melakukan berbagai kegiatannya. Meningkatnya jumlah penduduk dan
kegiatan untuk pembangunan, telah meningkatnya sumberdaya air. Dilain pihak, ketersediaan sumberdaya air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat
bahkan sudah dikategorikan berada dalam kondisi kritis. Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga
kelompok besar, yaitu kebutuhan domestik, pertanian irigasi dan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan
maka kebutuhan air akan meningkat pula baik di perkotaan maupun dipedesaan. Untuk kebutuhan air dari PJT II Jatiluhur dengan sumber mata air utama dari DAS
Citarum Hulu, diproyeksikan tidak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan dari berbagai sektor pada tahun 2025. hal ini juga sebagaimana diungkapkan oleh
Ansofino 2005 bahwa apabila dalam mempertimbangkan semua bentuk kompensasi penggunaan air oleh pengguna di hilir ke pengguna di hulu terutama
pemilik lahan beririgasi, maka penentuan harga yang optimal, ternyata lebih menjamin kelestarian sumberdaya air kedepan. Hal ini dibuktikan dengan hasil
optimasi pengambilan sumberdaya air di wilayah DAS Citarum dengan mempertimbangkan nilai lahan beririgasi, menunjukan bahwa ketersediaan air
tanah maupun air permukaan masih mencukupi sampai periode perencanaan sampai 2013. yang ditandai dengan ketinggian air tanah tidak mengalami
penurunan sampai pada tahun 2008, dan tetap relatif stabil sampai pada tahun 2029. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data tersebut bahwa akan terjadi
pola pengembangan sumberdaya air dengan semakin banyaknya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air tidak diimbangi dengan konservasi terhadap
wilayah hulu maka akan terjadi penurunan terhadap ketersediaan air. Daerah hulu suatu DAS merupakan bagian yang terpenting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah di bawahnya hilir, antara lain sebagai daerah resapan air. Oleh karena itu, perencanaan DAS Hulu menjadi
fokus perenacanaan. Perencanaan yang terpadu dari daerah hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan
terpadu sehingga dapat mengurangi bencana banjir akibat dari musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Perkembangan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang pesat, yang ditandai dengan peningkatan permintaan terhadap lahan, juga
terjadi di kawasan DAS yang diperuntukannya sebagai kawasan konservasi. Perubahan kawan hutan dan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman
mengakibatkan terjadi kerusakan lingkungan dan semakin berkurangnya daerah resapan air hujan, sebaliknya daerah kedap air semakin bertambah. Banyaknya
lahan kritis di Daerah Aliran Sungai DAS yang menyebabkan semakin meningkatnya sedimen dan terjadi penurunan tanah pada saat musim hujan akan
menyebabkan terjadi kedangkalan di Daerah Aliran Sungai DAS dan terjadi banjir pada wilayah hilir, hal ini juga menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan
akibat meningkatnya jumlah limbah yang dibuang ke sungai yang semakin meningkat. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap semakin menurunnya fungsi
kawasan DAS sebagai kawasan konservasi. Berkaitan dengan itu, kebijakan pengelolaan sumberdaya air ke depan tidak
akan terlepas dari pemeliharaan fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di hulu DAS Citarum, karena ada keterkaitan antara ketersediaan air di hilir dengan
luasan lahan kritis di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan di wilayah DAS Citarum. Jika luas lahan kritis semakin meningkat maka akan
menyebabkan fluktuasi penawaran menjadi tinggi. Ketersediaan air akan semakin tinggi, tetapi tidak bertahan lama, karena seiring dengan itu sedimentasi juga
semakin tinggi karena adanya erosi tanah. Di musim kering akan mengalami kekurangan air karena berkurangnya luas areal hutan sebagai tangkapan air.
Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap berfluktuasinya jumlah penawaran air di hilir. Oleh karena salah satu karakteristik DAS adalah adanya keterkaitan yang
kuat atau dapat dikatakan sebagai suatu hubungan sebab akibat antara wilayah hulu dengan wilayah hilir, yang diikat sistem tata air berupa sungai. Sehingga
apabila aktivitas di wilayah hulu berupa penebangan hutan akan menyebabkan sedimentasi dan banjir di wilayah hilir. Sebaliknya upaya konservasi dan
rehablitasi hutan di wilayah hulu akan memperbaiki tata air di hulu sampai hilir. Jadi, pengelolaan sumberdaya air di wilayah DAS akan dikendalikan oleh
sistem perekonomian yang ada di wilayah hulu, karena pengelolaan air di hulu berkaitan dengan kehilangan wilayah tangkapan air akibat kerusakan hutan,
kehilangan keindahan hutan yang beragam, dan gangguan fungsi fungsi hidrologi hutan sebagai akibat dari penebangan hutan di areal konservasi dan hutan lindung,
baik oleh masyarakat setempat yang miskin maupun oleh pemerintah yang memberikan izin pengelolaan hutan kepihak pengusaha tetapi tanpa kendali.
Berbagai perubahan lingkungan dalam pembangunan memberikan isyarat untuk pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena perilaku manusia dalam
pembangunan berdampak terhadap sumberdaya alam dan ekosistem global, oleh karenanya diperlukan strategi dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya
kedepan, sehingga dapat menciptakan keselarasan dalam pembangunan ekonomi.
1.2 Perumusan Masalah