Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Analisis kemauan membayar masyarakat perkotaan untuk jasa perbaikan lingkungan, lahan dan air (suatu kasus DAS Citarum Hulu)

tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumberdaya. Kita juga bisa mengukur dari sisi lain, yakni seberapa besar masyarakat harus diberi kompensasi atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Adapun secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan, dapat digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willinggness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP keinginan membayar yang terungkap. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, Random Utility Models. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh lansung dari responden, yang lansung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method CVM, Discrete Choice Method, Random Utility Models. Adapun teknik pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran langsung dimana pada pendekatan pengukuran secara langsung ini, nilai dari jasa lingkungan dapat diukur langsung dengan menanyakan kepada indifidu atau masyarakat mengenai kemauan mereka membayar terhadap perubahan atau kondisi air yang saat ini terjadi penurunan. Pendekatan atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method CVM, dimana CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui kemauan membayar dari masyarakat mengenai jasa lingkungan yang dihasilkan dari sumberdaya air. Adapun tahap-tahap dalam metode CVM ini adalah sebagai berikut : membentuk pasar hipotetik, mendapatkan nilai penawaran, menghitung dugaan rataan WTP expected WTP, EWTP, menentukan WTP agregat atau WTP total TWTP, menduga kurva penawaran, dan mengevaluasi pelaksanaan CVM.

2.21 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Meningkatnya pembangunan diberbagai dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya hutan dan lahan sehingga penduduk melakukan pembukaan lahan ke arah yang berlereng dan merambah hutan lindung. Lahan-lahan pertanian teknis setiap tahun dikonversikan menjadi lahan non pertanian. Kerusakan DAS, khususnya DAS Citarum dari waktu ke waktu cukup meningkat. Hal ini terjadi akibat adanya perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian, berkurangnya areal hutan, semakin intensif pemanfaatan lahan dan berkurangnya usaha konservasi tanah dan air serta belum jelasnya arah implementasi pembangunan dalam mengatasi permasalahan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan. Kondisi demikian menyebabkan semakin meningkatnya kerusakan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air dan lingkungan, seperti banjir, kekeringan, pencemaran, erosi, sedimentasi, eutrofikasi, dan sebagainya. Untuk menyelamatkan sumberdaya hutan , tanah dan sumberdaya air maka pemerintah sesungguhnya telah membuat peraturan-peraturan dan kegiatan konservasi tanah dan air dalam bentuk kompensasiinsentif. Pada tahun 1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk pekan penghijauan I di Gunung Mas, Puncak Bogor. Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk memperoleh metoda yang tepat dalam merehablitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek fisik maupun sosial ekonomi di hulu DAS Bengawan Solo. Hasil-hasil pengujian ini antara lain diterapkan dalam proyek Inpres penghijauan dan rebaoisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di Indonesia. Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Selanjutnyan pengelolaan DAS terpadu dilakukan di DAS Brantas dan Jratunseluna. Namun proyek-proyek pengelolaan tersebut lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir dan hampir seluruhnya dibiayai oleh dana pemerintah. Mulai tahun 1994 konsep partisipasi mulai diterapkan dalam penyelenggaraan inpres penghijauan dan reboisasi, tapi dalam tahap perencanaan. Ada beberapa penelitian yang dilakukan di DAS Citarum terkait hubungan pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan DAS dengan variabel ekonomi. Selain itu ada juga melihat kaitan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan wilayah maupun penilaian jasa lingkungan dan penentuan prioritas bantuan perbaikan lingkungan. Penelitian yang melihat peranan kebijakan penentuan harga air bagi pemanfaatan sumberdaya air berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta oleh Ansofino 2005. Dalam kaitan faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran air, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sumber-sumber air penduduk perkotaan, menentukan alokasi optimal penggunaan air tanah dan air sungai dengan mengendalikan penyimpanaan dan harga, menjelaskan pengaruh penggunaan sumberdaya air pada rumah tangga dan industri, menjelaskan implikasi pengelolaan sumberdaya air yang optimal bagi pembangunan wilayah dan perkotaan. Ansofino 2005, mengemukakan bahwa permintaan air di wilayah perkotaan lebih besar daripada penawarannya dan telah mengalami decreasing return to scale. Harga air yang ditetapkan adalah harga rata-rata, dan belum memperlihatkan sifat kelangkaan air, karena belum mengacu kepada pertimbangan ekonomi terutama pada penyesuaian antara biaya investasi, biaya operasi dan biaya pemeliharaan. Tetapi pada harga marginal telah memperlihatkan kelangkaan sumberdaya air. Apalagi jika dimasukan biaya eksternalitas ke hulu dan pajak air berupa nilai perolehan air NPA. Selain itu Ansofino 2005, juga menjelaskan bahwa faktor yang sangat menentukan permintaan air di wilayah penelitian adalah jumlah penduduk pada tahun sekarang 2,6, jumlah penduduk pada periode dua tahun lalu t-2 4,4, jumlah sumur bor 3,5, jumlah pelanggan rumah tangga 2,2, dan nilai rumah pada tahun sebelumnya 1,13. Faktor yang mempengaruhi penawaran air kepada penduduk di wilayah DKI Jakarta. adalah: harga marginal pada tahun sebelumnya, pengambilan air sungai waktu sekarang dan satu tahun sebelumnya, jumlah karyawan tehnis, nilai pajak perolehan air yang harus dibayar ke hulu, jumlah pengambilan air tanah, dan luas lahan kritis di wilayah DAS Citarum. Harga keseimbangan pasar ditentukan oleh harga permintaan karena penawaran air PAM Jaya bersifat inelastis terhadap harga. Harga keseimbangan air sekarang sebesar Rp 15 per m 3 dengan jumlah permintaan dan penawaran sebesar 248 juta m 3 dan 155 juta m 3 tahun. Sedangkan untuk harga penawaran yang mampu menutupi biaya produksi air minum PAM Jaya adalah Rp 185 per m 3 . Dan faktor yang sangat menentukan pilihan penggunaan sumber-sumber air penduduk di wilayah penelitian adalah faktor pendapatan, jumlah kamar mandi, jumlah mobil yang dimiliki, dan jumlah anggota keluarga. Rumahtangga yang berpendapatan tinggi memiliki kecenderungan untuk menggunakan semua sumber-sumber air yang ada, sebaliknya rumahtangga yang berpendapatan rendah cenderung untuk menggunakan sumber air dari pedagang jalanan, pada hal mereka membayar dua kali lipat lebih mahal dari rumahtangga yang berlangganan PAM. Alokasi optimal penggunaan sumberdaya air tanah dan air sungai pada baseline model diperoleh dengan benefit maksimum sebesar Rp. 141,128 milyar, pertumbuhan permintaan sebesar 20, laju pengambilan air tanah sebesar 21 juta m 3 , dan nilai discount rate sebesar 5, dengan mengasumsikan kemajuan tehnologi tetap. Sehingga ketersediaan sumberdaya air tanah hanya cukup untuk melayani permintaan air sampai tahun 2007, yang ditandai dengan menurunnya ketinggian permukaan tanah sebesar 106,012 mbt, laju pengambilan air tanah mencapai 18,3 persen dari laju precipitasi, dan meningkatnya biaya ekstraksi sebesar Rp. 10,342 juta. Setelah itu air sungai digunakan secara intensif, tetapi hanya cukup sampai tahun 2013. Jadi bila harga ditentukan dengan benar, maka konservasi sumberdaya air dapat dilakukan. Penggunaan sumberdaya air di wilayah perkotaan DKI Jakarta yang berlebihan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air irigasi; yang menunjukan bahwa secara lokal DAS Citarum mengakibatkan kemiskinan masyarakat di hulu, kehilangan biodiversity dan terganggunya fungsi hidrologi yang muncul secara bersamaan. Akibatnya fluktuasi debit air untuk penawaran semakin tajam. Sedangkan Suhendar 2005, mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun, yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Lebih lanjut Dadan Suhendar mengatakan bahwa dengan meningkatnya areal terbangun, Air hujan yg meresap kedalam tanah yang menjadi cadangan air tanah menurun dan aliran permukaan meningkat , untuk mengurangi resiko tersebut maka perlu dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan,danau buatan komunal pada setiap kawasan perumahan dan industri. Studi Suciati 2005, mengemukakan bahwa secara umum kondisi penawaran sumberdaya air di daerah irigasi jatiluhur semakin menurun seiring bertambahnya permintaan terkait faktor ekonomi dan demografi. Alokasi air terbesar untuk irigasi berkompetisi dengan penggunaan air sektor non pertanian. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang. Secara khusus Keadaan penawaran sumberdaya air cenderung menurun baik di Kabupaten Cianjur maupun Kabupaten Karawang, namun di wilayah hulu Cianjur penawaran sumberdaya air relatif lebih banyak rata-rata margin penawaran- permintaan 1,8 milyar m 3 sedangkan di Kabupaten Karawang rata-rata margin supply-demand sekitar 274 juta m 3 . permintaan irigasi di Kabupaten Cianjur relatif stabil dengan kecenderungan adanya sedikit penurunan terutama pada 3 tahun terakhir akibat anomaly musim, demikian pula dengan demand irigasi di Kabupaten Karawang yang umumnya menerapkan pola tanam padi-padi menunjukkan sedikit penurunan. Lebih lanjut Luh Putu Suciati 2005, menjelaskan bahwa Kelembagaan pengelola sumberdaya air irigasi di tingkat petani walaupun memiliki badan hukum namun kurang memiliki posisi tawar baik di kalangan petani sendiri maupun di departemen yang terkait dengan irigasi. Sehingga penyerahan pengelolaan irigasi saja tanpa melibatkan petani secara nyata partisipasi akan menimbulkan apatisme dan pesimisme dalam menyikapi kebijakan. Sedangkan fenomena kelembagaan pemerintah adalah Belum ada wadah koordinasi yang memadai untuk kelembagaan pengelolan sumberdaya air irigasi di tingkat pemerintah, masing-masing lembaga memiliki tanggung jawab berbeda yang menyebabkan terjadinya kewenangan yang tumpang tindih. Hal ini juga dikatakan oleh Hariadi 2004 bahwa daur hidrologi dapat mengalami perubahan akibat kegiatan manusia, seperti perubahan pola infiltrasi dan evaporasi, berkaitan dengan adanya perubahan penggunaan lahan dan penurunan muka air tanah akibat pemompaan air tanah yang berlebihan. Perubahan pola penggunaan lahan di kawasan resapan, dari jenis penggunaan lahan yang meresapkan air hujan ke dalam tanah seperti hutan, perkebunan, atau pertanian lainnya, menjadi penggunaan lahan yang mengurangi atau menghambat peresapan air hujan seperti perumahan dan bangunan lainnya, akan secara lansung menganggu keseimbangan siklus hidrologi. Berdasarkan hasil analisis Sulandari 2005 di hulu, didapatkan faktor utama masyarakat melakukan deforestasi adalah membuka lahan untuk kegiatan pertanian dan merambah hutan adalah untuk meningkatkan pendapatan. Mayoritas penduduk mempunyai kemauan dalam menghentikan perusakan hutan apabila mempunyai alternatif pekerjaan. Oleh karena itu harus diberikan kompensasi terhadap masyarakat hulu untuk peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat tidak melakukan deforestasi dan merambah hutan. Lebih lanjut Sulandari mengatakan bahwa apabila hal ini dibiarkan maka akan terjadi kerusakan hutan dan lahan, khususnya hutan lindung sebagai kawasan konservasi. Berkaitan dengan strategi penyelamatan sumberdaya alam selama ini tidak memberikan hasil yang baik keselamatan sumberdaya alam khususnya air yang sangat rentan kehidupan umat manusia. Dengan berbagai studi kasus dan permasalahan terlihat beberapa perbedaan signifikan disetiap studi kasus yang dibahas. Berdasarkan hasil analisis terdahulu, maka salah strategi pengelolaan lahan dan air yang ditawarkan adalah beberapa faktor pendukung yang kami anggap perlu diterapkan yaitu skema kompensasi yang dalam hal ini bertujuan ganda yaitu meningkatkan pengelolaan berbasis masyarakat lokal yang sekaligus memperkuat penghidupan masyarakat pedesaan. III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran