93
Kebijakan pemerintah sejak tahun 2002 hingga September 2008 adalah memperbolehkan industri makanan dan minuman untuk mengimpor sendiri gula
rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga dunia gula rafinasi yang ternyata berimbas
kepada petani gula, maka kemudian di bulan September 2008 pemerintah membatasi impor gula rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan
minuman sehingga industri-industri tersebut diarahkan untuk melakukan pembelian gula rafinasi dari produksi pabrik gula rafinasi dalam negeri. Saat itu
pemerintah membatasi impor gula rafinasi hanya diperbolehkan 500,000 ton10 saja. Di tahun 2008 pun jumlah realisasi impor gula rafinasi menurun menjadi
sekitar 100,000 ton.
3. Internasionalisasi Permintaan Domestik
Indonesia saat ini belum dapat menyediakan sepenuhnya permintaan gula domestik. Hal ini dikarenakan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi
permintaan yang ada. Setelah tahun 1984, Indonesia tidak lagi dapat mempertahankan swasembada gula yang telah dicapai pada tahun tersebut.
Sampai saat ini, Indonesia masih terus melakukan impor gula meskipun jumlahnya mulai menurun seiring dengan peningkatan produksi gula. Karena itu
Indonesia belum dapat berperan sebagai negara pengekspor di pasar gula dunia.
6.2.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung
Faktor industri terkait dan industri pendukung merupakan faktor penting dalam hal menganalisis daysaing suatu industri, khusnya industri gula Indonesia.
Adanya industri terkait seperti industri hulu yang memasok input untuk industri utama dengan harga yang lebih murah dan mutu yang berkualitas merupakan
faktor penting dalam peningkatan dayasaing suatu industri. Sama halnya juga dengan industri pendukung yang mampu memberikan nilai tambah yang lebih
baik bagi industri utama maka semakin meningkatkan industri dari suatu komoditas, seperti gula.
94
1. Industri Terkait a. Industri Pemasok Bahan Baku
Industri pemasok bahan baku yang baik mempengaruhi industri utama secara positif, adapun industri pemasok bahan baku dalam konteks industri gula
Indonesia meliputi industri saran produksi pembibitan dan pupuk dan alat serta mesin pertanian. Khusus untuk industri pembibitan memiliki peranan yang cukup
penting karena kualitas gula yang baik adalah hasil dari pembibitan tebu yang berkualitas dalam proses usahataninya. Adapun penyediaan bibit dilakukan secara
khusus oleh pabrik gula yang menggunakan varietas dari P3GI. Usaha pembibitan kebun bidang datar atau KBD dilakukan oleh perusahaan besar, seperti PTPN,
perusahaan swasta, ataupun P3GI yang terletak di pasuruan. Khusus untuk pembibitan yang dilakukan oleh PTPN yaitu digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bibit dari lahan tebu PTPN dan lahan tebu rakyat. Akan tetapi di pulau jawa, usaha pembibitan oleh PTPN lebih diperuntuhkan untuk usahatani tebu
rakyat.
b. Industri Pengolahan
Industri pengolahan memiliki peranan yang sangat penting dalam dayasaing sebuah komoditas karena dengan adanya industri pengolahan maka
akan ada penambahan nilai dari suatu komoditas menjadi produk. Pada konteks industri gula di Indonesia, industri pengolahan ini adalah pabrik gula. Di
Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN yang bergerak pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik gula BUMN
dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih, sedangkan pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal rafinasi.
Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal
putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48 pabrik yang tersebar di 4 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat 5 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa
Tengah terdapat 8 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki pabrik gula
95
dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut terdapat dua BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN XI. Untuk
PTPN X mengelola 11 pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola 16 pabrik gula. Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga terdapat PT. Rajawali
Nusantara Indonesia I yang mengelola 2 pabrik gula, PT. Kebon Agung yang mengelola 2 pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola 1 pabrik gula dan PT.
PG Candi mengelola 1 pabrik gula. Kemudian untuk provinsi DI Yogyakarta terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Madukismo.
Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di 3 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat
2 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan, terdapat 1 pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan 1 pabrik gula yang
dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan
perusahaan swasta. Terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT. Sugar Group Company mengelola 3 pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis Indah
yang mengelola 1 pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang mengelola 1 pabrik gula.
Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat 1 pabrik gula
yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan terdapat 3 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat rencana
pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal pencapaian swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut dibangun di
Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam kenyataanya, industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang belum
optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan
proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam revitalisasi pabrik.
Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk
96
pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat
terdapat 4 pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT. Jawamanis, PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di Jawa Tengah
terdapat 2 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia Sukses Utama dan PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat 1 pabrik gula yang
dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi Selatan terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene.
Adapun beberapa masalah yang ada pada industri pengolahan gula kristal rafinasi adalah pembatasan impor gula rafinasi ini mendapat tentangan dari
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Gapmmi selaku pengguna utama gula rafinasi. Hal ini dikarenakan mutu dari gula rafinasi
dalam negeri yang masih dipertanyakan sementara bagi industri makanan, minuman dan farmasi memerlukan kualitas dan standar khusus sehingga tidak
bisa sembarangan menggunakan gula rafinasi. Permasalahan lainnya yaitu muncul saat gula rafinasi membanjiri pasar ritelrumah tangga karena harganya
yang lebih murah. Hal ini berkaitan erat dengan jalur distribusi dari pabrik gula rafinasi.
Secara umum tingkat efisiensi pabrik gula overall recovery, OR ≤ 80
persen, sedangkan standar internasional mensyaratkan pencapaian OR ≥ 85 persen. Hal ini merupakan akibat dari terlambatnya program rehabilitasi dan
perawatan maintenance pabrik. Secara teknis, rendahnya OR tersebut karena kondisi peralatan yang sudah kurang memadai dan rendahnya mutu bahan baku
tebu. Hal tersebut merupakan penyebab kehilangan gula di dalam proses produksi tinggi, sehingga pencapaian rendemennya rendah dan menyebabkan biaya
produksi tinggi. Sedangkan dari aspek manajemen, belum tercipta budaya korporasi dari bagian-bagian utama di dalam pabrik tanaman, instalasi, proses,
dan keuangan di sebagian besar PG di Indonesia. Akibatnya, masing-masing bagian lebih mementingkan pencapaian target atau sasaran program bagiannya
daripada program pabrik dan perusahaan Dirjen Perkebunan 2006. Pada umumnya PG di Indonesia mengolah tebu untuk menghasilkan gula
pasir sebagai produk tunggal Single Product Industry. Padahal tebu juga dapat
97
digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan tebu. Berkaitan dengan produk turunan tebu, PG di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintisnya,
namun pengembangannya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai jenis produk turunan tebu berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada
4 pabrik alkoholspiritus yang dimiliki industri gula.Pada saat ini sudah ada sekitar 45 buah pabrik produk turunan tebu dengan 14 jenis produk turunan tebu.
Diantara jumlah tersebut sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula.
c. Industri Jasa Tataniaga
Industri tataniaga adalah industri yang tidak kalah penting dengan industri pengolah dan bahan baku karena dengan peran industri ini maka kinerja dari
industri bahan baku dan pengolahan dapat melihat hasil yang mereka dapatkan secara riil yaitu dengan harga yang mereka terima. Industri ini melibatkan banyak
pihak yaitu petani, pengumpultengkulakbakulmediator, pedagang besargrosir agen, pedagang kecilpengecerretail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga
maupun konsumen industri makan dan minuman. Adapun dalam industri tataniaga ini terdapat dua mekanisme tataniaga gula, yaitu mekanisme lelang dan
mekanisme jual bebas. 1 Mekanisme Lelang
Sistem lelang terutama bisa dilakukan untuk menjual gula milik pabrik gula PG. Namun, PG sendiri tidak berhak untuk mengadakan lelang. Lelang
biasanya dilakukan oleh pihak direksi melalui divisi tataniagapemasaran seperti di Jakarta untuk PT RNI wilayah Jawa Barat, di Solo untuk PTPN IX Wilayah
Jawa Tengah, di MalangSurabaya untuk PTPN XI Wilayah Jawa Timur dan Makasar untuk PTPN XIV.
Dalam sistem lelang terdapat dua saluran distribusi yaitu: 1Gula PGGula Petani→DistributorGrosirAgen→PengecerRetail→ Konsumen Akhir,
2Gula PGGula Petani→DistributorGrosirAgen→Konsumen Akhir.
2 Mekanisme Jual Bebas Selain dengan melalui sistem lelang, penjualan gula milik petani sebagian
besar dilakukan dengan sistem jual bebas. Mekanisme ini berlaku sejak tahun 1998 yaitu setelah tataniaga gula diserahkan ke pasar bebas. Hal ini berbeda jauh
dengan tahun-tahun sebelumya yang dilakukan oleh BULOG. Pada mekanisme
98
jual bebas, terdapat beberapa saluran pemasaran yang umumnya dilakukan oleh petani seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Dari kelima saluran tersebut, umumnya petani lebih menyukai saluran kelima, saluran keduaketiga, saluran pertama dan keempat. Artinya petani lebih
suka menjual langsung ke pengecer atau retail. Hal ini disebabkan harga yang diterima akan lebih tinggi. Namun, saluran kelima tersebut jarang dilakukan
karena volume gula yang dijual maksimal 5 kuintal. Selain itu apabila petani langsung menjual ke pengecer, biaya tataniaga seperti transportasi, bongkar muat
menjadi kewajiban petani. Namun, petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia APTRI, melakukan kerjasama dengan investor untuk
menjamin harga gula yang dimilikinya.
Gambar 3.
Saluran Tataniaga Gula Milik Petani Sumber: Dirjen Bina Perkebunan 2002
Adapun industri tataniaga gula ini dapat dijelaskan pula menurut jalur distribusi berdasarkan jenis gula kristal, yaitu jalur distribusi untuk gula kristal
putih dan jalur distribusi gula kristal rafinasi. Berikut ini adalah jalur distribusi gula kristal putih:
99
1. ProdusenImportir – Distributor – Sub distributor – Grosir – Retail Jalur
ini merupakan jalur terpanjang dari rantai distribusi di industri gula Indonesia. Jalur ini bisa ditemui di daerah yang memang sangat jauh dari
jangkauan pedagang utama gula, mereka akhirnya menggunakan jalur tradisional yang melibatkan lebih banyak pedagang dengan skala distribusi
yang semakin kecil. Distributor utama sebagian besar keberadaanya dekat dengan produsengudang dimana gula diproduksidiimpor.
Khusus untuk gula petani yang dilelang, distributor pemenang lelang seperti hanya menjadi kepanjangan tangan saja untuk memindahkan gula
yang dimenangkan melalui lelang. Gula hasil lelang dijual saat itu juga kepada sub distributor yang langsung mengambilnya. Margin keuntungan
penjualan, hanyalah selisih harga lelang dengan harga tebus oleh sub distributor. Akitivitas distributor lebih terfokus pada upaya memenangkan
lelang saja. Dari distributor ini maka kemudian gula mulai tersebar melalui sub distributor yang keberadaannya hampir ada di setiap kabupaten.
Setelah itu gula kemudian dijual ke grosir dan akhirnya ke retailer. 2.
ProdusenImportir – Distributor – Grosir – Retailer Kondisi distribusi dengan jalur seperti ini memiliki beberapa kemungkinan
antara lain: i
Rantai setelah distributor sub distributor secara ekonomis tidak lagi dibutuhkan. Artinya grosir dapat melakukan pembelian langsung ke
distributor, tanpa melalui sub distributor yang justru menimbulkan inefisiensi. Misalnya karena jarak antara gudang distributor dengan
grosir sangat dekat. ii
Sub distributor dimiliki langsung oleh distributor, sehingga dalam jalur distribusi tersebut keberadaan sub distributor menjadi seperti menyatu
dengan distributor dan tidak tampak menjadi bagian dari distributor. 3.
ProdusenImportir – Distributor – Retailer Jalur distribusi ini mereduksi peran sub distributor dan grosir. Hal ini
memiliki dua kemungkinan : i
Secara ekonomis ada keuntungan yang luar biasa bagi distributor ketika dapat menyalurkan langsung ke retailer. Hal ini dimungkinkan
100
karena tidak ada lagi kendala ekonomis yang dihadapi oleh distributor untuk menyalurkan langsung ke retailer yang mampu membeli dengan
skala sangat besar. Misalnya tidak ada kendala terkait dengan angkutan dan biaya transportasi lainnya.
ii Dalam pola yang lebih maju seperti yang dilakukan oleh Garuda Panca
Arta Lampung yang mendistribusikan produk Gulaku, maka tidak ada hambatan berarti untuk langsung mendistribusikan produknya
tersebut ke retailer. Dalam hal ini perusahaan industri gula mendirikan anak perusahaan yang bergerak di distribusi gula.
4. Produsen – Retailer
Model seperti ini juga dilakukan oleh beberapa PTPN tetapi dalam skala yang sangat kecil, biasanya dilakukan pendistribusian ke beberapa
koperasi pesantren di provinsi Jawa Timur yang selama ini menjadi lumbung gula Indonesia. Dari koperasi inilah para anggotanya kemudian
mengkonsumsi langsung gula.
101
Berikut ini adalah gambara dari jalur distribusi gula kristal putih yang telah dijelaskan seperti di atas.
Gambar 4.
Jalur Distribusi Gula Kristal Putih
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha 2010
Sementara itu, jalur distribusi gula rafinasi sangat berbeda dengan jalur distribusi gula kristal putih. Jika distribusi pada gula kristal putih dibebaskan siapa
saja boleh berdagang, maka distribusi gula rafinasi ini lebih ketat karena distributor ditunjuk langsung oleh pabrik gula rafinasi dan sub distributor ditunjuk
langsung oleh distributor. Tidak sembarangan pihak bisa menjadi distributor maupun sub distributor gula rafinasi.
102
Gambar 5.
Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha 2010
Distributor dan sub distributor yang ditunjuk pun harus didaftarkan di Kementrian Perindustrian terlebih dahulu dan untuk kemudian mendapat
persetujuan. Pengaturan yang ketat dalam jalur distribusi gula rafinasi ini dilakukan agar gula rafinasi tidak merembes ke pasaran ritel. Dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk maka jumlah kebutuhan konsumsi gula juga diperkirakan bertambah. Tidak hanya konsumsi gula secara langsung tetapi juga
gula yang digunakan dalam memproduksi makanan dan minuman. Peningkatan jumlah penduduk, perkembangan industri makanan dan minuman serta
meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan akan gula.
2. Industri Pendukung
Industri pendukung dalam agribisnis gula adalah industri yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Industri tersebut antara lain
industri makanan, minuman, dan farmasi. Penggunaan sumber pemanis oleh industri tergantung pada jenis produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan,
harga bahan pemanis, serta selera konsumen. Industri tersebut secara tidak langsung mendukung agribisnis gula yang memiliki kontribusi tidak langsung
secara vertikal karena industri tersebut menggunakan gula sebagai bahan bakunya. Meskipun secara agregat konsumsi gula masih didominasi oleh rumah tangga,
akan tetapi laju pertumbuhan konsumsi oleh industri lebih tinggi Pakhpahan, 2005. Gula yang dibutuhkan untuk industri biasanya berasal dari gula rafinasi
maka kebutuhan gula untuk industri sebagian besar masih dipenuhi dengan gula impor. Meskipun impor gula sebagai bahan baku industri merupakan gula rafinasi
namun ada beberapa importir yang menjual gula tersebut langsung ke pasaran
103
dengan harga lebih murah yang menyebabkan gula lokal kalah bersaing dengan gula impor tersebut.
6.2.4 Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri