64
persen sedangkan di luar Jawa adalah -1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat masalah pada teknologi intensif yang berbeda antara lahan di Jawa dengan luar
Jawa, dimana teknologi yang ada di luar Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga berpengaruh terhadap produktivitas
tebu. Selain masalah teknologi intensif juga terdapat masalah kepemilikan lahan tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan lahan oleh petani terkait
penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman input yang termasuk penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta kesamaan produksi dan
produktivitas antara petani di wilayah tersebut. Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara
tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula
sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang
dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas
dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas. Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani
menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu
yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga
produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman
bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut
menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang hasil yang ada pada lahan tebu rakyat.
4. Produktivitas Hablur
Produktivitas hablur merupakan kemampuan daya dukung lahan tebu untuk menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Di bawah ini, terdapat Tabel yang
65
membuktikan bahwa wilayah penghasil gula di Jawa masih unggul dibandingkan wilayah penghasil gula dari luar Jawa. Akan tetapi ada persamaan antara dua
wilayah ini untuk lima tahun terakhir yaitu kedua wilayah tersebut mengalami penurunan produktivitas. Hal yang paling menjadi sorotan adalah penurunan
produktivitas hablur di pulau Jawa yang dimulai dari tahun 2008 yang rata-rata penurunan per tahun hingga tahun 2011 adalah 4,44 persen. Hal ini cukup
mengkhawatirkan karena apabila tren penurunan ini terjadi terus menerus untuk beberapa tahun ke depan maka Indonesia akan kehilangan tumpuan wilayah
penghasil gula. Notabenenya bahwa wilayah Jawa masih menjadi pemimpin dalam memenuhi kebutuhan gula domestik.
Tabel 11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011
Tahun Jawa
Luar Jawa Produktivitas
Hablur tonha Pertumbuhan
Produktivitas Hablur tonha
Pertumbuhan 2007
5,49 -
3,66 -
2008 5,35
-2,74 3,98
8,74 2009
5,05 -5,52
4,35 9,39
2010 4,84
-4,23 3,56
-18,17 2011
4,59 -5,27
2,97 -16,43
Sumber: Dewan Gula Indonesia 2012
5. Produksi Hablur
Produksi hablur merupakan hasil dari pengolahan tebu menjadi gula melalui proses di pabrik gula. Dalam penelitian ini, produksi hablur menjadi salah satu
komponen yang dimasukkan sebagai pembanding wilayah penghasil gula yang dikatakan berdayasaing. Di bawah ini, berisi Tabel yang menjelaskan bahwa
produksi hablur di Indonesia masih dipimpin oleh wilayah penghasil gula di pulau Jawa. Akan tetapi, persamaan antara wilayah penghasil gula di pulau Jawa dan di
luar pulau Jawa adalah pada tahun 2009 keduanya mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu turun di angka 13,27 persen untuk produksi hablur wilayah di
pulau Jawa dan 10,51 persen untuk produksi hablur di wilayah luar Jawa.
66
Tabel 12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011
Tahun Jawa
Luar Jawa Produktivitas
Hablur tonha Pertumbuhan
Produktivitas Hablur tonha
Pertumbuhan 2007
1.582.692,20 -
827.692,70 -
2008 1.628.035,80
2,86 911.466,30
10,12 2009
1.411.983,36 -13,27
815.689,31 -10,51
2010 1.373.037,30
-2,76 752.595,40
-7,74 2011
1.358.751,88 -1,04
752.334,45 -0,03
Sumber: Dewan Gula Indonesia 2012
6.1.2 Perbandingan Wilayah Berdayasaing
Perbandingan wilayah berdayasaing dalam analisis kinerja industri gula di Indonesia ini merupakan hasil dari perbandingan antara tujuh wilayah penghasil
gula di Indonesia melalui lima komponen pembanding. Adapun di bawah ini adalah Tabel yang berisi rekapitulasi dari perbandingan tujuh wilayah berdasarkan
lima komponen pembanding.
Tabel 13.
Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah Komponen Pembanding
Bobot Rata-
rata Luas
Lahan Ha
Jumlah Pabrik
Produktivitas Tebu
TonHa Produktivitas
Gula TonHa
Produksi Hablur
Ton Sumatera
Utara 10.046
2 79,9
4,69 47.122
0,656 Bobot
Rata-rata 0,444
0,500 1,000
0,778 0,556
Sumatera Selatan
15.282,6 2
61,15 3,365
52.232,1 0,567
Bobot Rata-rata
0,667 0,500
0,556 0,444
0,667 Lampung
128.321,5 6
70,875 5,785
708.396,25 0,822
Bobot Rata-rata
0,667 0,778
0,778 1,000
0,889 Jabar,
Jateng, Yogya
62.122,4 15
59,45 3,87
235.849,36 0,644
Bobot Rata-rata
0,667 0,889
0,444 0,444
0,778 Jawa
Timur 192.307,6
33 70,4
5,16 1.122.901,94 0,933
67
Lanjutan Tabel 13.
Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah Komponen Pembanding
Bobot Rata-
rata Luas
Lahan Ha
Jumlah Pabrik
Produktivitas Tebu
TonHa Produktivitas
Gula TonHa
Produksi Hablur
Ton Jawa
Timur 192.307,6
33 70,4
5,16 1.122.901,94 0,933
Bobot Rata-rata
1,000 1,000
0,778 0,889
1,000
Gorontalo 8.681,7
3 29
1,56 21.938,4
0,489 Bobot
Rata-rata 0,444
0,444 0,667
0,556 0,333
Sulawesi Selatan
154.039,8 1
73,5 4,59
39.817,7 0,556
Bobot Rata-rata
0,778 0,556
0,444 0,444
0,556
Pada Tabel ini menjelaskan bahwa Jawa Timur dan Lampung menempati posisi tertinggi dalam penilaian bobot rat-rata terhadap empat wilayah lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa Jawa Timur masih menjadi andalan Indonesia dalam mendorong produksi gula di Indonesia. Munculnya Lampung sebagai kompetitor
Jawa Timur tidak lepas dari kehadiran perusahaan swasta yang menggunakan teknologi modern pada pabrik gula yang mereka kelola. Kemudian, Sulawesi
Selatan dan Gorontalo yang merupakan wilayah baru dari pengembangan industri gula Indonesia masih belum dapat bersaing dengan wilayah produsen lainnya di
Indonesia dilihat dari nilai bobot rata-rata yang mereka dapatkan. Adapun hasil dari perbandingan kinerja wilayah penghasil gula ini akan
dijelaskan per wilayah sehingga dapat dijelaskan secara baik mengenai kinerja wilayah tersebut. Penjelasan dari perbandingan tiapwilayah dengan region
sumatera, jawa, dan sulawesi berguna untuk melihat posisi wilayah tersebut terhadap region-region penghasil gula di Indonesia.
1. Sumatera Utara