Rehabilitasi Kawasan Penyangga TNMB
mengontrol dan mengalihkan tanah atau SDAL lainnya, yang mencakup tanggung-jawab dan larangan FAO 2002.
Sistem tenurial atas tanah dan SDA-L dapat dikalsifikasi menjadi 4 empat kategori umum kepemilikan, yakni; 1 kepemilikan privat, artinya hak
diberikan kepada suatu badan privat yang dapat terdiri dari seseorang, kelompok, lembaga swasta ataupun lembaga nirlaba, 2 kepemilikan komunal, artinya
dimiliki secara komunal dan hanya dapat dimanfaatkan anggota dari masyarakat itu, 3 open access siapa saja dapat memanfaatkan SDAL tersebut, dan 4
kepemilikan publik atau negara adalah hak yang diklaim oleh negara yang tanggung-jawab kepengurusannya diserahkan kepada satu sektor tertentu dalam
pemerintah FAO 2002. Hak pemilikan atas sumberdaya alam menurut Lynch 1995 terdiri dari;
1 hak menggunakan secara langsung, 2 hak memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak langsung, 3 hak untuk mengontrol, 4 hak memindah-tangankan`
5 hak residual atau mewariskan, dan 6 hak simbolik. Kondisi kepemilikan atas SDA-L di sejumlah kawasan di Indonesia kebanyakan berada dalam kondisi
ketidak pastian tenurial insecurity. Kondisi ini dijelaskan oleh Ellsworth 2004 melalui 4 empat aliran pemikiran utama, yakni;
1. Aliran hak-hak property Property Rights yang memberikan hak-hak kepemilikan properti melalui sertifikasi atas SDAL tanah secara individu dan privat yang dapat
diperdagangkan secara bebas; 2. Aliran ketimpangan struktur agraria Agrarian Structure Traditions, memandang
bahwa ketimpangan terjadi karena adanya perdagangan aset. Sertifikasi individual atas aset SDAL tidaklah secara otomatis meningkatkan efisiensi dan menguntungkan
masyarakat petani. Dalam hal ini harus ada political will dari pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin melalui strategi land reform;
3. Aliran advokasi hak property masyarakat adat Common Property Advocates atau Common Property Shcool, memandang pentingnya pengakuan dan dukungan politik
bagi hak-hak atas SDAL yang secara turun temurun hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat, dan;
4. Aliran institusionalis Institutionalist berangkat dari pengaruh makro politik ekonomi terhadap rezim-rezim properti yang ada, yang selanjutnya akan menentukan kepastian
hukum hak atas suatu properti. Aliran Institusinalis memandang bahwa tidak ada satu pun rezim kepemilikan properti yang benar-benar ideal. Kekuasaan politik dan
keadilan distribusi SDAL jauh lebih penting dan lebih menentukan siapa yang dapat memperoleh kepastian hukum tenurial dan siapa yang tidak.
Schlager Ostrom 1992 menyatakan bahwa untuk di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, hak-hak atas SDAL dapat diklasifikasi menjadi 5
lima kategori; 1 Hak atas akses rights of access, yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, 2 Hak pemanfaatan right of withdrawal, yakni untuk
mengambil sesuatu atau memanen sesuatu hasil alam, 3 Hak pengelolaan rights of management, yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan
mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, 4 Hak pembatasan rights of exclusion, yakni hak untuk menentukan siapa saja
yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari seseorang ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan 5 Hak
pelepasan rights of alienation, yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya.
Ellsworth 2004 menyatakan bahwa kebijakan penetapan suatu kawasan untuk suatu peruntukan --termasuk taman nasional-- semestinya harus mengacu
kepada Institutionalist Tenure Security. Artinya mempertimbangkan faktor sejarah pengelolaan, demografi distribusi sumberdaya, faktor budaya, organisasi sosial,
system nilai, harga relative yang berlaku dan regim hukum yang berlaku. Minimasi gap kebijakan maka harus ada proses negosiasi dan konsesus di antara
para pihak yang berkepentingan. UU No. 51960 tentang Pokok Agraria Pasal 16 ayat 1 hak-hak atas
tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 --hak menguasai dari Negara- - ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan’ d. hak pakai, e. hak
sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain -- sifatnya sementara ialah; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan
hak sewa tanah pertanian -- yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan UU serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang
disebut dalam Pasal 53. Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diatur dalam UU No.231997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup PLH Pasal 5;
1 Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat 2 Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran pengelolaan lingkungan hidup 3 Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Hak-hak masyarakat atas kekayaan sumberdaya hutan secara tegas telah diatur dalam UU No 411999 tentang Kehutanan Pasal 68 bahwa:
1 Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan 2 Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, masyarakat dapat:
a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku;
b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hutan, dan informasi kehutanan;
c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik
langsung maupun tidak langsung; 3 Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena
hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; 4 Setiap orang berhak memperoleh kompenasasi karena hilangnya hak atas tanah
miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen 1981 bukan semata-mata karena keterbatasan SDAL, tetapi lebih karena
mekanisme sosial politik yang mengakibatkan minimnya -- tidak adanya -- pengakuan hak pertukaran exchange entitlements bagi masyarakat miskin.
Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu grey area, sehingga membuatnya menjadi konsep yang bermanfaat bagi analisis sosial
politik.