Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial budaya
TNMB akan semakin massif, dengan pola gerakan yang mirip, tetapi lebih rumit dan sistemik.
Tabel 30 Kenaikan standar upah harian di desa Sarogan dan Kandangan
No. Jenis pekerjaan
Upah Rp per satuan
2004 Upah Rp
per satuan
2008-2009 Keterangan;
Jam 07.00 - 15.00 WIB
1. Buruh perkebunan
8.000 hari 25.000 hari
2. a. Buruh pertanian
10.000 hari 30.000 hari
Plus makan per hari b. Buruh pertanian
15.000 hari 35.000 hari
Tanpa makan 3.
Tukang kayu 75.000 bln
4. a. Buruh bangunan
Tukang 25.000 hari
35.000 hari Plus makan per hari
b. Buruh bangunan 30.000 hari
45.000 hari Tanpa makan
5. a. Kuli bangunan
20.000 hari 30.000 hari
Plus makan per hari b. Kuli bangunan
25.000 hari 35.000 hari
Tanpa makan 6.
Penderes gula kelapa
61
1. 300 kg 7.500 kg
Per pohon : sewa ± 1 ons
Sumber: Laporan monitoring program rehabilitasi 2004; Wawancara 2007 dan 2008
Manfaat sosial ekonomi, baik di Banyuwangi --Sarongan dan Kandangan; tidak termasuk masyarakat di kampung Rajekwesi-- maupun di Jember --
Sanenrejo, Curahtakir, Andongrejo, Curanongko, Wonoasri dan Mulyorejo; tidak termasuk masyarakat pekerja di perkebunan PT. Bandealit--, pada umumnya
diperoleh dari kegiatan tanaman semusim dengan cara tumpangsari. Beberapa jenis tanaman semusim yang sudah pasti dan banyak diminati para petani
rehabilitasi di Sarongan dan Kandangan, adalah; padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang panjang, kacang hijau, dan kacang tunggak. Di Jember, tanaman
semusim justeru lebih beragam dibandingkan dengan Banyuwangi. Pilihan terhadap ragam jenis tanaman tersebut, berkaitan dengan kebutuhan jangka
pendek dan mendesak, karena hasilnya dapat langsung dijual kepada para para pengepul atau tengkulak.
61
Wawancara dengan para petani rehabilitasi yang juga menjadi penderes gula kelapa. Menurut para penderes gula, per pohon mereka mendapatkan ± 1 ons gula kelapa. Untuk mendapatkan 1 kg gula kelapa, maka seorang penderes
harus menaiki 10 pohon kelapa. Dalam sehari, para penderes mampu mendapatkan ± 20 kg.
Tabel 31 Rerata biaya yang dikeluarkan oleh para petani dalam setiap kegiatan pertanian dan perladangan
Komoditas Tanaman
Tumpangsari Rincian biaya operasional kegiatan pertanianperladangan per komoditas
Rp Per 0,25 Hektar lahan sawahladang Rerata biaya
pertanian perladangan
Rp per 0,25 Ha
Olah lahan
Bibit Tanam
Obat Pupuk
Rawat Panen
Padi 200.000
100.000 125.000
100.000 165.000
100.000 250.000
1.040.000 Jagung
150.000 240.000
60.000 70.000
330.000 50.000
234.000 1.470.000
Kedelai 125.000
70.000 15.000
70.000 90.000
50.000 135.000
555.000 Kacang tanah
- -
- -
- -
- ± 250.000
Kacang hijau -
- -
- -
- -
± 250.000 Kacang tunggak
- -
- -
- -
- ± 100.000
Kacang panjang -
- -
- -
- -
± 75.000 Pisang
- -
- -
- -
- -
Ubi rambat -
- -
- -
- -
- Cabe
- -
- -
- -
- -
Sumber: Data Primer 2007 dan 2008
Selama bertani dan berladang di lahan rehabilitasi, para petani rata-rata bercocok-tanam dan memanen hasilnya sebanyak 2 kali. Kebanyakan komoditas
pertanian, oleh para petani langsung dijual ke tengkulak, kecuali gabah padi dipakai dikonsumsi sendiri. Harga hasil panen tanaman semusim seringkali
fluktuatif, dipengaruhi oleh kualitas hasil panen, tingkat kelangkaan dan kebutuhan konsumen. Sekalipun harga komoditas pertanian mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun, ini tidak linier dengan naiknya tingkat kesejahteraan hidup mereka. Artinya, realitas kondisi sosial ekonomi mereka tetap bersahaja. Bahkan,
seringkali hasil yang mereka peroleh dari kegiatan bertani dalam zona rehabilitasi, hanya cukup untuk menutup biaya operasional yang telah mereka
keluarkan Tabel 31.
62
Pemanfaatan lahan dalam zona rehabilitasi, pada tiga tahun pertama, sebelum tercapai konsensus kemitraan rehabilitasi, memang menguntungkan
masyarakat dari aspek sosial ekonomi rumah tangga, tetapi tidak sebesar yang digambarkan atau dilaporkan oleh Balai TNMB Tabel 34. Keuntungan tersebut
tidak berkelanjutan, karena kualitas lahan rehabilitasi yang mereka garap, dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi, sehingga hasil maksimal dari kegiatan
62
Stagnasi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga TNMB ini, sekalipun telah mendapatkan distribusi lahan TNMB seluas ± 0,25 Hektar, mengacu kepada Gramsci dan Freire, dapat terjadi karena tiga kemungkinan,
yakni; 1. faktor kesadaran magis magical consciousness, 2. faktor kesadaran naif naival consciousness, dan 3. faktor kesadaran kritis critical consciousness. Ketiga point ini perlu penelitian terpisah yang lebih mendalam, untuk menemukan
faktor internal dan eksternal masyarakat, yang belum membawa perubahan signifikan terhadap perbaikan aspek sosial ekonomi masyarakat dan juga aspek ekologi, sekalipun telah dilakukan intervensi pemberdayaan masyarakat. Freire, Paulo.
1984. Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan PT. Gramedia Jakarta; Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Jakarta.
pertanian dan perladangan yang mereka peroleh telah berkurang dari 25 hingga lebih dari 50.
63
Faktor lainnya, seperti kasus di desa Wonoasri adalah pengaruh dari semakin tingginya tanaman pokok tahunan, sehingga menutupi tanaman
semusim dari penyinaran matahari. Sementara itu, tanaman tahunan yang sudah mulai berbuah, terbuang percuma bosok di pohon, karena harga jual yang
terlampau rendah.
64
No
Tabel 32 Efektifitas kebijakan distribusi pemanfaatan lahan terhadap peningkatan pendapatan ekonomi keluarga rumah-tangga
para petani
Desa Jumlah
petani rehabilitasi
KK Nilai ekonomi tanaman
tumpangsari per tahun dalam zona rehabilitasi Rp
1. Wonoasri
690 1.789.731.543
2. Curahnongko
313 1.794.076.715
3. Andongrejo
705 1.857.610.909
4. Sanenrejo dan
Curahtakir 1258
3.911.186.184 5.
Mulyorejo Tidak mendapatkan distribusi lahan dalam TNMB, tetapi
dapat dan menduduki lahan hutan lindung dan produksi 0 6.
Sarongan dan Kandangan
743 510.482.996
Jumlah 3.709 KK
9.863.088.347
Sumber: BTNMB 2007
Manfaat sosial ekonomi yang telah dirasakan langsung adalah untuk suplement ekonomi keluarga. Artinya, kelompok masyarakat OPR mengakui ada
peningkatan penambahan pendapatan keluarga 66,45, tetapi hasil panen dari bercocok tanam tanaman semusim dan tanaman pokok, sampai saat ini hanya
cukup untuk menutupi kebutuhan ekonomi sub sisten Tabel 33. Mereka semua berkeinginan membangun kelembagaan dan jaringan sosial ekonomi OPR, agar
hasil pertanian dan perladangan mereka dapat masuk kedalam aliran ekonomi komersial dan mendukung percepatan rehabilitasi. Namun, mereka tidak tahu
bagaimana harus memulai dan bagaimana mendapatkan modal awal, sementara dukungan dari Balai TNMB dan pemerintah kabupaten Jember dan Banyuwangi,
hanya sebatas wacana yang tidak kunjung terwujud.
63
Wawancara dengan para petanipeladang di 8 delapan desa penyangga TNMB yang menduduki lahan di zona rehabilitasi dan lahan hutan lindung Perhutani Babansilosanen Jember. Pada lahan dengan tingkat kemiringan sedang
hingga tajam, jumlah hasil panen terus menurun dibandingkan dengan periode 3 tahun pertama masa pendudukan. Rata- rara setiap panen padi dan jagung, mereka mendapatkan hasil rata-rata di atas 1 - ton, sekarang terus mengalami
penurunan.
64
Kelompok OPR desa Wonoasri lebih rasional dan taat aturan dibandingkan dengan OPR 6 enam desa lainya.
Program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang pernah terlaksana, baik oleh Balai TNMB maupun pemerintah kabupaten, selama ini
sifatnya temporer dan sporadis, sehingga tidak berhasil membangun keberdayaan sosial ekonomi masyarakat, apalagi melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan.
Kesejahteraan sosial ekonomi bagi masyarakat desa-desa penyangga TNMB adalah cita-cita yang terlampau tinggi untuk dapat dicapai, karena hal ini tidak
mengalami peningkatan yang cukup berarti.
65
Desa
Tabel 33 Manfaat distribusi lahan zona rehabilitasi terhadap peningkatan pendapatan para petani rehabilitasi
Perbaikan aspek sosial ekonomi para petani rehabilitasi Jumlah
Peningkatan Pendapatan RT
Ekonomi Subsisten
Ekonomi Komersial
Penguatan Lembaga Sosial
Ekonomi OPR
f f
f f
F
Wonoasri 19
79,16 24
100 24
100 Curahnongko
15 65,21
23 100
23 100
Andongrejo 17
70, 83 24
100 24
100 Sanenrejo
12 50,00
24 100
24 100
Curahtakir 12
52,17 23
100 23
100 Mulyorejo
Sarongan 17
73,91 23
100 23
100 Kandangan
15 75,00
20 100
20 100
Jumlah
107 66,45
161 100
161 100
Sumber: Data Primer 2007, responden memilih lebih dari satu pilihan; tidak masuk dalam kelompok masyarakat pendudukan lahan dalam kawasan rehabilitasi
TNMB
Fakta sosial di atas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan sektor kehutanan Taman Nasional yang diproduk oleh lembaga
legislatif bersama eksekutif, nyata belum mampu mewujudkan distribusi dan idealisme pengelolaan SDA-L yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tahun 2008, secara nasional, jumlah rakyat fakir miskin masih tinggi, yakni 35 juta 15,4 BPS, 2008,
termasuk masyarakat desa pinggir hutan. Tingkat kemiskinan di 8 delapan desa di kabupaten Jember dan Banyuwangi yang berbatasan langsung dengan TNMB
dan pernah beberapa kali dilaksanakan pilot project program pemberdayaan dan
65
Tabel 24 Bab IV menunjukkan tingkat pendapatan rata-rata per kapita per tahun masyarakat desa-desa penyangga TNMB sebesar Rp. 1.174.685. Dengan menggunakan parameter pendapatan keluarga setara 320 kg beras per
jiwa per tahun Rp. 5000Kg Beras, harga saat ini atau setara Rp. 1.600. 000,- maka pendapatan masyarakatnya masih tergolong rendah, jika pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari atau sama dengan Rp. 1.600. 000,-. Pendapatan
masyarakat desa-desa penyangga dapat dikatakan tinggi jika pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari Rp. 1.600.000,-.
pengembangan masyarakat PPM oleh pihak Balai TNMB dan juga oleh pihak pemerintah kabupaten Jember dan Banyuwangi, angka kemiskinannya masih
relativ tinggi. Jumlah pendudukan Jawa Timur tahun 2009 sebanyak 37,8 juta jiwa,
dengan jumlah angka kemiskinan secara keseluruhan sebanyak 3.079.882 KK. Jumlah tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yakni; 1. Rumahtangga RT sangat
miskin very poor sebanyak 493.004 KK, 2. RT miskin poor sebanyak 1.226.122 KK, dan 3. RT hampir miskin near poor sebanyak 1.330.696 KK.
Pada tahun 2007 angka kemiskinan mencapai 7.137.699 jiwa 18,89, tahun 2008 turun menjadi 6.651.280 jiwa 18,52, tahun 2009 menjadi 6.022.590 jiwa
16,68. Kabupaten Jember secara kuantitatif menempati pole position jumlah penduduk miskin terbanyak dari 38 kabupatenkota di Jawa Timur, posisi kedua
ditempati kabupaten Bondowoso dengan jumlah 167.366 KK, dan posisi ketiga ditempati Kabupaten Malang dengan jumlah 155.854 KK.
66
Jumlah pendudukan miskin di Jember sebanyak 237.700 KK, dengan rincian; 1 RT sangat miskin
very poor sebanyak 34.654 KK, 2 RT miskin poor sebanyak 93.550 KK, dan 3 RT hampir miskin near poor sebanyak 109.496 KK BPS Jember, 2009
67
Mengapa hal ini tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik ? Apakah ini merupakan implementasi dari amanat UUD 1945 hasil amandemen ke
empat, Pasal 34 ayat 1 bahwa fakir miskin dan anak terlantar -- memang .
Kantong-kantong kemiskinan yang masih tinggi dan rata-rata berada di desa-desa penyangga hutan, secara nyata menunjukkan bahwa distribusi dan
legalisasi pendudukan lahan untuk tujuan rehabilitasi memang memberi manfaat sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, tetapi tidak mampu merubah realitas
kemiskinan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan tersebut belum memberi dampak signifikan terhadap pemecahan masalah kemiskinan dan ketidak-adilan
berkelanjutan. Masalah kemiskinan di desa-desa penyangga TNMB, tidak hanya masalah kemiskinan struktural, natural, absolute, atau relative, tetapi juga
kemiskinan moralitas lihat aspek sosial buda ya.
66
Radar Jember, 8 February 2010, Gakin Terpusat di Perkebunan hal 33 dan 43; Surya, 10 Maret 2010, Teras Jatim. Pakde Karwo dan Gus Ipul Gunakan Strategi Klaster.
67
Jumlah penduduk Jember 2,32 juta jiwa, lebih banyak dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya. Penduduk Bondowoso hanya 800 ribu jiwa atau sepertiga dari jumlah penduduk Jember. Jadi secara prosentase penduduk
Bondowoso lebih miskin daripada Jember, sehingga kabupaten termiskin ditempati oleh Bondowoso, dan Sampang.