Efektifitas pengelolaan kelembagaan KetanMerahOPR

TNMB, sebagai pilot project. Semua responden individu dan kelompok 100 mengakui bahwa kegiatan pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Balai TNMB tidak merata, temporal dan tidak berkelanjutan. Tabel 48 Pelatihan, bantuan modal dan bibit dalam pemberdayaan masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB No Desa Pelatihan praktis dan singkat Keterangan Bantuan modal tahun Bantuan bibit Bantuan ternak tahun 01. Wonoasri Dapat 02. Curahnongko Rp. 10.000.000, untuk 5 kelompok usaha Jamu 2004 Dapat 03. Andongrejo Pelatihan pembuatan kripik Gedang Pisang, dilakukan sekitar 3 X. Pelatihan Jamu, sekitar 2 – 3 X Tidak operasional, tidak punya jaringan pasar dan kalah saing, tidak belum punya mental wirausaha, cepat dilepas Rp. 30.000.000, untuk 5 kelompok usaha Jamu 2004 Rp.40.000.000, untuk 1 kelompok usaha Dapat 04. Sanenrejo Dapat 05. Curahtakir Dapat 06. Mulyorejo Tidak Dapat Sapi 5 ekor 2000 07. Sarongan Dapat 08. Kandangan Dapat Jumlah Rp. 80.000.000 Sumber :BTNMB, setelah diolah 2004 Upaya pemberdayaan masyarakat Jember dan Banyuwangi yang bertani dan berladang dalam zona rehabilitasi TNMB, dilihat dari bantuan modal, pelatihan dan jaringan pasar kepada kelompok KetanMerahOPR, hingga saat ini sama-sekali tidak ada perhatian dari Pemerintah di dua Kabupaten. Akibatnya, sekalipun hasil bertani dan berladang dalam kawasan TNMB, sebanyak 56 diakui memberi kontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat dan 100 diakui sangat membantu kecukupan ekonomi rumahtangga petani, tetapi sangat sulit dikomersialkan, karena tidak memiliki akses informasi dan jaringan pasar yang mau membantu para petani pasca panen. Kesulitan di atas diperparah oleh tidak adanya kelompok usaha ekonomi pada semua 100 KetanMerahOPR, terbatasnya atau tidak adanya kepemilikan modal bersama 100 sebagai iuran dari hasil bertani dalam kawasan TNMB. Demikian juga dengan bantuan modal dari Balai TNMB sifatnya temporal dan terbatas, sementara bantuan dari pemerintah kabupaten sama sekali tidak ada, demikian juga bantuan dari PT. LDO Jember dalam bentuk dana CSR Corporate Social Responsibility tidak pernah ada. Seluruh hasil bertani dan berladang dalam kawasan TNMB, penjualannya bersifat individual, tidak pernah ada koordinasi dan tidak ada kesepakatan harga jual bersama di internal KetanMerahOPR kepada para tengkulak yang datang. Harga jual, ditentukan oleh para tengkulak, masyarakat KetanMerahOPR tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga jual atas hasil usahanya sendiri, karena tidak memiliki kelembagaan ekonomi kelompok. Situasi kelembagaan ekonomi di atas mendorong LSM-L KAIL untuk mengusahakan SDU; sedang diusahakan agar hasil pertanian dalam zona rehabilitasi TNMB mampu menembus jaringan pasar ke Bali, tetapi hingga tahun 2010 ini belum berhasil. 116 Peran kelembagaan konservasi dalam pengelolaan kawasan TNMB sangat bergantung kepada proses awal, faktor internal dan eksternal suatu lembaga. Gambaran kondisi kelembagaan pada dua poin di atas, berpengaruh langsung kepada kemampuannya dalam melakukan pengelolaan kawasan. Menurut anggota dan pengurus KetanMerahOPR, seluruh 100 kewajiban yang telah dituangkan dalam MoU rehabilitasi telah mereka lakukan. Namun, sebanyak 80,95 dari mereka tidak banyak tahu secara persis apa isi dari MoU atau hanya pernah dengar dari aparat Balai TNMB atau Ketua Kelompok mereka, dan hanya sebanyak 19,04 yang tahu tentang isi MoU. Akibatnya, gerakan rehabilitasi pada tahapan berikutnya, seluruh proses dan internsitas proses tergantung dari inisatif dan kebutuhan petugas Balai TNMB, misalnya; mengadakan swadaya bibit jika Balai TNMB mau membayar, menanam tanaman pokok jika diberi bibit, Fakta aksi pemberdayaan kelembagaan ekonomi masyarakat di atas, menunjukan bahwa para pihak yang terlibat dalam pemberdayaan, tidak mampu atau gagal dalam menampilkan sisi positif manfaat program rehabilitasi bagi masyarakat. Preposisi Zander 1990 menyatakan; “Preposisi 11: Jika ingin berhasil, agen perubahan harus mampu menampilkan sisi positif kelebihan “proposal”nya guna “melawan” keyakinan yang relatif telah mengakar dalam diri kelompok sasaran. Jika tidak, maka kelompok sasaran akan cenderung menolak proposal tersebut”

C. Efektifitas kelembagaan KetanMerahOPR dalam pengelolaan kawasan

116 Wawancara dengan Kasminto, Penasihat LSM-L KAIL, Pebruari 2009 menghadiri pertemuan, jika diundang; Sekalipun masyarakat tidak banyak tahu tentang isi dari MoU, kelompok masyarakat yang tergabung dalam KetanMerahOPR memang tetap melaksanakan seluruh kewajiban yang telah disepakati dalam MoU, tetapi hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Pola koordinasi dan konsolidasi Balai TNMB dengan KetanMerahOPR secara umum, hanya terbatas pada level Ketua Kelompok atau pengurus, sehingga pesan-pesan konservasi dan rehabilitasi tidak tersosialisasikan secara optimal. Preposisi Zander 1990 menyatakan; “Preposisi 3: Anggota anggota kelompok komunitas yang ingin merubah keadaan daerahnya mungkin didasari atas empat macam motivasi” 117 “Preposisi 4: Keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok ditentukan oleh kuat atau lemahnya motivasi mereka untuk terlibat dalam kegiatan tersebut” 118 117 Motivasi merubah keadaan; 1. Kepentingan pribadi self oreinted motive, 2. Terwujudnya kepentingan kelompok desire for group succes, 3. Keinginan untuk menyenangkan orang lain the desire to benefit others, 4. Keinginan untuk membantu masyarakat atau komunitas the desire to benefit the community” 118 Faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang atau kelompok masyarakat, adalah; 1. Kekuatan dari 4 keinginan atau motif pada preposisi 3 tiga, 2. Nilai dari insentif yang akan di dapat,dan 3. Kemungkinan probabilitas untuk berhasil mencapai tujuan “Preposisi 5: Ketua kelompok meningkatkan kesiapan anggota untuk melakukan kegiatan melalui penguatan satu atau keseluruhan dari ketiga aspek motivasi pada preposisi 4. Berdasarkan preposisi Zander 1990 di atas, belum diketahui secara pasti dan perlu penelitian lebih lanjut tentang motivasi apa yang mendorong mereka petani untuk ikut melaksanakan program rehabilitasi, selain motivasi pribadi self oreinted motive, ingin “memiliki lahan” bertani dan berladang dalam kawasan TNMB. Pemahaman secara mendalam dan holistik tentang latar belakang motivasi para petani dalam melaksanakan rehabilitasi, akan dapat menutup sisi tertentu dari keggagalan rehabilitasi yang bersumber dari pihak para petani maupun dari pihak Balai TNMB. Efektivitas kelembagaan pengelolaan kawasan, pada aspek keikut-sertaan para petani dalam pengamanan kawasan, kontribusinya sangat rendah yakni hanya 23,80, itupun jika diajak oleh petugas Balai TNMB. Pembinaan dan bimbingan berkala pada kegiatan teknis dan non teknis kepada KetanMerahOPR, kegiatan monitoring dan evaluasi, pada dua tahun pertama 2003-2004, sering dilakukan, tetapi setelah itu jarang dilakukan, kecuali jika ada perintah pimpinan, inspeksi mendadak, atau ada kunjungan dari pihak-pihak tertentu, lihat lampiran.

D. Efektifitas kelembagaan KetanMerahOPR dalam pengelolaan konflik

Kegiatan koordinasi anggota internal kelompok, dan apalagi antar kelompok, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Ini terjadi karena masalah kesadaran berorganisasi bagi masyarakat petani, secara umum masih sangat rendah. Kecuali itu, jarak tempat tinggal antar anggota kelompok relatif jauh, dan koordinasi kebanyakan hanya diwakili oleh pengurus Ketua. Akibatnya, hal-hal penting yang semestinya disosialisasikan tidak dapat disampaikan secara optimal, sehingga terjadi konflik --perbedaan kepentingan dan cara pandang berdasarkan kebiasaan dan pengalaman masing-masing-- di lapangan, antara petani dengan petugas Balai TNMB. Petugas Balai TNMB membagi bibit tanaman dan menganjurkan menanamnya pada waktu yang tidak tepat belum musim hujan, berdasarkan kebiasaan dan pengalaman petani tidak mungkin tumbuh, sementara petugas harus menjalankan ”perintah yang tidak lazim” membagi bibit agar segera ditanam oleh petani. Rehabilitasi adalah program intervensi pemerintah ”berbaju kemitraan” sebagai pintu masuk ”berdamai” dengan masyarakat, sementara masyarakat yang menduduki lahan, sebelum program rehabilitasi masuk sudah mendahuluinya dengan menanam sejumlah tanaman musiman dan tanaman tahunan buah- buahan. Para petani dihadapkan pada pilihan untuk tetap mempertahankan atau membabat tanaman tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh Balai TNMB. Demikian juga dengan konflik jarak tanam, para petani menanam melebih ketentuan Balai TNMB, yakni 5 X 5m. Menurut para petani jarak tersebut telalu rapat dan jika berbuah hasil buahnya sedikit. Para petugas Balai TNMB merasa telah menyampaikan sejumlah informasi dan peringatan, namun diabaikan para petani. Dalam situasi ini, para petugas Balai TNMB dihadapkan pada dilema, jika melakukan tindakan represi hukum dan kekerasan fisik, hanya akan menimbulkan kerusakan kawasan yang lebih parah. Pada sisi lain, jika dibiarkan, maka masyarakat menganggap tidak apa-apa atau diperbolehkan oleh petugas Balai TNMB. Preposisi Zander 1990 menyatakan;