Analisis framing (pembingkaian) dalam gerakan lingkungan hidup

(1)

ANALISIS FRAMING (PEMBINGKAIAN) DALAM GERAKAN

LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Gerakan Anti Batubara oleh LSM Greenpeace Asia

Tenggara Indonesia, Jakarta)

IKHSAN PRATAMA WICAKSONO

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(2)

ABSTRACT

This research shows that social movement frame in GPSEA Indonesia consist of : (1)aggregate frame, through this frame GPSEA want to make the people of Southeast Asia realize that climate change is a big problem, especially in Indonesia, this problem caused by two sector, forest and energy (coal);(2)consensus frame, through this frame GPSEA want to make people of Southeast Asia realize that, the climate change can make people suffers, and carry on external costs of coal as a burden;(3)collective action frame, through this frame we can see the injustice condition that caused by the chain of custody (coal’s journey from the ground to the waste heap) on injustice frame, agency frame in GPSEA define that the supporter and the anti-coal coalition as the source of organization power and the government as a party who has no commitment and good will to solve all problem especially energy on ageny frame, and last, the identity frame, GPSEA see them self as independent global campaigning organization that acts to change attitudes, to protect and conserve the environment and to promote peace that use creative confrontation.

The collective identity attached to the members of the Greenpeace campaigners, DDC members, volunteers, student members of the GPU and new media division is a result of the interaction as well as their interpretation of the frames of social movements in the form of a book of communication media, actions, and attributes of clothes contains values of the organization's culture NGO Greenpeace Southeast Asia. Interpretation and interaction of the communication media that contains the frames of social movements of anti-coal allows them to put an event in the minds of each member, felt the same anxiety, identifying the background with the emergence of agitation against the use of coal to the appropriate solution, and label the related parties in it, so that formed a collective identity among its members. The difference between a collective identity with others also due to the activist history of each member and the intensity of interaction with members of the organization's communications media. Although there are differences between a collective identity with other members, coal framing in this organization can be said to succeed, because there is a change some or all members of the collective identity of the respondents of this research. In addition, Greenpeace as a NGOs has succeed to framing their members, it is based on the ideas or arguments they put on the environmental conditions of Indonesia, especially in the context of coal issues, despite the arguments that they express are not always be the same that these NGOs want to build.


(3)

RINGKASAN

IKHSAN PRATAMA WICAKSONO.

ANALISIS

FRAMING

(PEMBINGKAIAN)

DALAM

GERAKAN

LINGKUNGAN

HIDUP.(Di bawah bimbingan Sarwititi Sarwoprasodjo)

Dimasa yang akan datang batubara akan dijadikan bagian dari usaha diversifikasi energi oleh Pemerintah, sehingga mendorong perusahaan nasional maupun asing untuk melakukan eksploitasi batubara. Kegiatan eksploitasi batubara tersebut, sangat potensial menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Kalangan aktivis dari berbagai LSM yang bergerak di bidang lingkungan giat menentang kegiatan penambangan batubara di Indonesia melalui aksi-aksi yang mereka lakukan, maupun diskusi langsung dengan pihak-pihak yang terkait. Salah satu LSM yang giat menentang batubara adalah LSM

Greenpeace Asia Tenggara Indonesia. Namun dalam perjalanannya LSM sebagai bagian dari gerakan sosial memiliki tantangan yaitu kemampuan LSM tersebut dalam membangun kekuatan internal, termasuk dalam hal menggalang dana dan membangun komitmen anggotanya. Dalam mengatasi keterbatasan maupun membangun kekuatan internal, LSM perlu membangun identitas kolektif anggotanya yang berguna dalam meningkatkan komitmen anggotanya demi mencapai visi dan misi dari LSM tersebut. Pembentukan identitas kolektif ini merupakan hasil dari framing anggota pada LSM tersebut. Framing berguna dalam menkonstruksi gagasan seorang individu, sehingga mereka dapat menempatkan, merasakan, mengidentifikasi, dan melabeli sesuatu sesuai dengan pandangan yang organisasi tersebut pegang Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat framing pada anggota organisasi LSM Greenpeace dalam membentuk identitas kolektif guna mempertahankan partisipasi ataupun komitmen anggotanya sebagai aktivis lingkungan hidup.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai LSM dan kaitannya dengan gerakan sosial sudah dilakukan yaitu Sari (2004), Assa’di (2004), dan Assa’di (2009). Ketiga penelitian tersebut lebih fokus kepada aktifitas maupun keberhasilan LSM dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai organisasi gerakan sosial, namun belum ada yang mengungkapkan bagaimana LSM sebagai organisasi gerakan sosial membangun identitas kolektif pada anggotanya.

Untuk menjawab rumusan masalah penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi frame gerakan sosial berupa content yang terdapat pada media komunikasi LSM Greenpeace

Asia Tenggara Indonesia berupa aksi, buku, booklet dan movement document

yang terdapat pada situs resmi LSM tesebut dan identitas kolektif yang melekat pada anggota LSM tersebut.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa frame gerakan sosial anti-batubara LSM Greenpeace Southeast Asia Indonesia terdiri dari tiga jenis yaitu frame aggregate frame, consensus frame, dan collective action frame dapat diidentifikasi melalui media komunikasi organisasi. Ketiga jenis frame ini dapat ditemukan melalui identifikasi elemen-elemen dari frame yang terdapat di dalam tujuan maupun isi dari buku “Biaya Sebenarnya Batubara” yang diterbitkan oleh LSM Greenpeace , aksi damai langsung Cilacap maupun Bali, baju anti-batubara,


(4)

dan booklet yang diberikan oleh LSM in sebagai souvenir kepada supporter serta profil LSM ini yang terdapat pada situs resmi Greenpeace Asia Tenggara Indonesia.

Pertama, Aggregate frame pada LSM ini, memandang perubahan iklim sebagai tantangan terbesar masyarakat dunia karena dampak-dampaknya bersifat

irreversible dan di Indonesia penyebab dari perubahan iklim berasal dari dua sektor yaitu sektor hutan dan sektor energi khusunya batubara. Kedua, Consensus frame yang terlihat adalah seruan bagi masyarakat untuk bersama-sama mendesak pemerintah maupun perusahaan untuk mengembangkan energi terbarukan dan menghentikan penggunaan batubara karena apabila terus menerus digunakan laju perubahan iklim global akan semakin cepat dan masyarakat yang bermukim dekat dengan PLTU akan terus menanggung beban ekonomi, kesehatan dan semakin rusaknya kondisi lingkungan. Terakhir, collective action frame, frame ini dikonstruksi oleh injustice frame, agency frame, dan identity frame. injustice frame pada gerakan anti-batubara Greenpeace berasal dari dampak-dampak yang ditimbulkan sepanjang rantai aliran produksi batubara. Dalam agency frame

gerakan anti-batubara, masyarakat dipandang Greenpeace sebagai sumber kekuatan sedangkan pemerintah dianggap sebagai ’lawan’, serta melabeli pejabat pemerintah yang berusaha di bidang batubara sebagai mafia batubara.

Identitas kolektif anti-batubara yang melekat pada anggota Greenpeace

Asia Tenggara Indonesia merupakan hasil interaksi anggota dengan media komunikasi dan pemaknaan mereka terhadap frame gerakan sosial pada media komunikasi LSM Greenpeace Asia Tenggara diIndonesia.

Identitas kolektif pada subjek penelitian dapat dilihat melalui tiga jenis identitas yang melekat yaitu identitas aktivis, identitas organisasi, dan identitas taktik. Identitas aktivis yang melekat pada kelima subjek penelitian adalah aktivis lingkungan. Sebagai aktivis lingkungan, mereka memiliki aggregate frame

maupun consensus frame yang sama dengan Greenpeace. Perbedaan terdapat pada identitas organisasi maupun taktik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah keaktivisan mereka sebelum bergabung dan berinteraksi secara langsung dengan LSM Greenpeace sehingga mempengaruhi dan membentuk collective action frame mereka, dan interaksi mereka dengan media komunikasi juga turut mempengaruhi pembentukan collective action frame mereka.

Berdasarkan hal tersebut terdapat lima tipe identitas kolektif, yaitu (1) identitas kolektif juru kampanye terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas

Greenpeace dan identitas aksi langsung, dimana identitas ini adalah hasil interaksi juru kampanye dengan buku, aksi-aksi Greenpeace, maupun situs resmi

Greenpeace dan dipengaruhi oleh sejarah keaktivisan juru kampanye sebagai seorang peneliti pada Yayasan Pelangi Indonesia; (2) identitas kolektif anggota divisi new media terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas Greenpeace

dan identitas independen, dimana identitas ini adalah hasil interaksi anggota divisi tersebut dengan buku maupun aksi-aksi Greenpeace; (3) identitas kolektif siswi GPU terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas Education Care Unit

dan identitas aksi langsung maupun independen, dimana identitas ini adalah hasil interaksi siswi GPU dengan aksi-aksi Greenpeace maupun situs resmi

Greenpeace dan dipengaruhi oleh sejarah keaktivisan siswi tersebut sebagai seorang aktivis di LSM Education Care Unit ; (4) identitas kolektif anggota DDC


(5)

langsung dan independen, dimana identitas ini adalah hasil interaksi anggota DDC tersebut dengan buku, aksi-aksi Greenpeace, maupun situs resmi Greenpeace dan dipengaruhi juga oleh interaksi dia dengan pegawai Taman Nasional dan guide

Taman Nasional; (5) identitas kolektif volunter terdiri dari identitas aktivis lingkungan, identitas MAPALA Titas Karya Bakti dan identitas aksi langsung, dimana identitas ini adalah hasil interaksi juru kampanye dengan aksi-aksi

Greenpeace dan dipengaruhi oleh sejarah keaktivisan volunter sebagai seorang anggota MAPALA Titas Karya Bakti.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Greenpeace Asia Tenggara sebagai organisasi gerakan sosial menyebarkan maupun mengkontruksi gagasan anggotanya dengan cara menyebarkanluaskan frame gerakan sosial melalui media komunikasi organisasi, hal ini mempengaruhi ataupun membentuk identitas kolektif anggotanya. identitas kolektif yang melekat pada anggota Greenpeace

yaitu juru kampanye, anggota DDC, volunteer, siswi GPU dan anggota divisi new media merupakan hasil dari interaksi maupun pemaknaan mereka terhadap frame

gerakan sosial pada media komunikasi berupa buku, aksi-aksi, dan atribut berupa baju yang memuat nilai-nilai dari budaya organisasi LSM Greenpeace Asia Tenggara. Pemaknaan maupun interaksi anggota terhadap media komunikasi yang mengandung frame gerakan sosial anti-batubara membuat mereka dapat menempelkan suatu peristiwa dalam benak masing-masing anggota, merasakan keresahan yang sama, mengidentifikasi latar belakang munculnya keresahan bersama terhadap digunakannya batubara hingga solusi yang sesuai, dan melabeli pihak-pihak yang terkait di dalamnya, sehingga terbentuk suatu identitas kolektif di antara anggotanya. Perbedaan identitas kolektif antara satu dengan yang lain juga diakibatkan oleh sejarah keaktivisan masing-masing anggota dan intensitas interaksi anggota dengan media komunikasi organisasi. Walaupun terdapat perbedaan identitas kolektif antara satu anggota dengan yang lain, framing

batubara pada organisasi ini dapat dikatakan berhasil, sebab terjadi perubahan sebagian ataupun seluruh identitas kolektif anggota yang menjadi responden penelitian ini. Selain itu, selarasnya frame gerakan sosial yang melekat anggota LSM Greenpeace, termasuk ke dalam suatu keberhasilan, hal ini yang didasari oleh gagasan atau argumen yang mereka kemukakan mengenai kondisi lingkungan Indonesia, khususnya dalam konteks isu batubara, walaupun argumen-argumen yang mereka utarakan tidak selalu sama dengan gagasan-gagasan yang LSM ini ingin bangun.


(6)

ANALISIS FRAMING (PEMBINGKAIAN) DALAM GERAKAN

LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Gerakan Anti Batubara oleh LSM Greenpeace Asia

Tenggara Indonesia, Jakarta)

Oleh:

Ikhsan Pratama Wicaksono I34052619

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA


(7)

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh : Nama : Ikhsan Pratama Wicaksono

NRP : I34052619

Judul Skripsi : Analisis Framing (Pembingkaian) dalam Gerakan Lingkungan Hidup

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS NIP. 19630904 199002 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(8)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“ANALISIS

FRAMING

(PEMBINGKAIAN)

DALAM

GERAKAN LINGKUNGAN HIDUP” BENAR-BENAR MERUPAKAN

HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Januari 2010

Ikhsan Pratama Wicaksono I34052619


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, 30 Juli 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, yang merupakan anak dari pasangan suami istri Dedi Bambang Isdarmawan dan Sri Yuliani Ekawasti. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Polisi 1 Bogor, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 4 Bogor dan SMU Negeri 5 Bogor.

Penulis memiliki hobi berolah raga, terutama berenang dan bermain musik. Pada saat Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, penulis aktif dalam Organisasi Intra Sekolah (OSIS) dan ekstrakulikuler PRAMUKA.

Setelah lulus dari SMU Negeri 5 Bogor, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis mengambil jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti berbagai keorganisasian seperti Himasiera sebagai anggota Divisi Public Relation, Commnex 2008, dan berbagai kegiatan kemahasiswaan seperti AIDS, Masa Pekenalan Departemen, Malam Keakraban KPM, dan juga penulis aktif dalam UKM MAX!! di IPB selama tiga tahun.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Analisis Framing (Pembingkaian) dalam Gerakan Lingkungan Hidup” ini berhasil diselesaikan.

Selesainya penyusunan skripsi ini atas masukan, arahan dan bimbingan dari Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS. sebagai dosen pembimbing, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. Juga kepada seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, teman-teman atas dukungannya, dan pihak-pihak lain yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat disusun secara sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa mahasiswa harapkan, semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2010


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pengembangan pemanfaatan sumberdaya energi non minyak saat ini sangat diperlukan, mengingat semakin tipisnya cadangan minyak bumi kita. Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah mengembangkan sumberdaya batubara sebagai salah satu sumber energi alternatif untuk industri dan kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Selain harganya relatif murah, cadangan sumberdaya energi batubara tersedia dalam jumlah cukup banyak di sebagian besar wilayah Indonesia.

Batubara di masa yang akan datang, sebagai bagian dari usaha diversifikasi energi, diharapkan dapat menggantikan minyak bumi sebagai sumber energi bagi industri dalam dan luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Industri-industri yang saat ini telah memanfaatkan batubara sebagai sumber energi antara lain industri semen dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Selain itu, pemerintah juga telah menganjurkan penggunaan briket batubara sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga. Hal ini mendorong perusahaan swasta nasional maupun asing untuk melakukan eksploitasi batubara (Busyairi, 2008).

Eksploitasi sumberdaya alam, termasuk diantaranya kegiatan penambangan batubara, sangat potensial menimbulkan dampak lingkungan. Dampak terhadap lingkungan ini dapat bersifat negatif. Dampak negatif yang diperkirakan akan muncul dari kegiatan penambangan batubara ini antara lain perubahan bentang lahan, penurunan kualitas udara, tanah dan air, serta perubahan-perubahan tatanan sosial budaya.

Dampak negatif tersebut menimbulkan keresahan di kalangan aktivis lingkungan, terutama yang bergabung dalam LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Mereka giat menentang kegiatan penambangan batubara di Indonesia melalui aksi-aksi yang mereka lakukan maupun diskusi langsung dengan pihak-pihak yang terkait. Terkadang kegiatan yang mereka lakukan ditanggapi dengan aksi kekerasan, seperti yang terjadi di daerah Kabupaten Tanah Bumbu,


(12)

Kalimantan Selatan. Usai melakukan kegiatan dengar pendapat dengan anggota DPRD, lima orang aktivis LSM dikejar oleh 600 orang yang mengaku massa pendukung kegiatan tambang masuk menyerbu Gedung DPRD Tanah Bumbu karena mengkritisi Perusda batubara1.

Kehadiran aktivis LSM ataupun LSM itu sendiri diperlukan sebagai bagian dari masyarakat, karena pandangan atau aspirasinya, dan program yang dilaksanakannya membuat lembaga masyarakat ini tampil sebagai salah satu organisasi yang menyuarakan hati nurani masyarakat. Selain itu, LSM sebagai salah satu wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, merupakan bagian dari gerakan sosial masyarakat di suatu negara, termasuk di dalamnya gerakan-gerakan sosial baru yang mengkampanyekan isu-isu lingkungan hidup, salah satu contohnya adalah LSM Greenpeace.

Menurut Tindall (2002), LSM sebagai bagian dari gerakan sosial memerlukan partisipasi dari anggotanya untuk berbagai alasan. Pertama, LSM memerlukan sumberdaya yang banyak dalam menjalankan aktifitas maupun menjaga eksistensinya. Kedua, agar aspirasi LSM dapat didengarkan dan diperhitungkan dalam sistem politik yang demokratis, maka pemerintah maupun aktor lain yang dituju harus diyakinkan bahwa aspirasi tersebut didukung dan disetujui oleh sebagian besar masyarakat.

Menurut Shobirin dikutip Dharmawan (2004), keleluasaan LSM dalam menyuarakan hati nurani masyarakat dan menjalankan aktivitasnya tidak sendirinya meringankan tantangan yang dihadapi oleh LSM. Tantangan tersebut berasal dari keterbatasan dirinya serta rendahnya kesadaran dan kemampuan fund raising dari sumber-sumber dalam negeri atau usaha sendiri, kelemahan faktor internal tersebut menyebabkan banyak LSM yang sulit mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Tantangan tersebut diperkuat oleh pendapat Maria

dikutip Dharmawan (2004) yang mengatakan bahwa salah satu isu serius yang akan dihadapi LSM di Indonesia ke depannya yaitu kemampuan LSM dalam

1

Berdasarkan artikel yang dimuat di koran Kompas yang terbit pada tanggal 9 Mei 2005. Artikel ini dapat diakses di


(13)

membangun kekuatan internal, termasuk di dalamnya adalah kemampuan LSM dalam menggalang dana dan membangun komitmen anggotanya.

Dalam mengatasi keterbatasan maupun membangun kekuatan internal, LSM membutuhkan budaya organisasi yang kuat untuk meningkatkan komitmen anggotanya demi mencapai visi dan misi dari LSM tersebut. Maksud budaya organisasi disini adalah pola berbagai asumsi dasar dan nilai yang dipegang diyakini valid sebagai acuan dan cara yang “benar” untuk mempersepsikan, merasakan, memikirkan dan memecahkan berbagai masalah. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Robbins (2002), yang menyatakan bahwa salah satu fungsi budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi anggota serta membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial.

Menjaga komitmen dalam diri anggota sangat penting, karena dengan komitmen yang tinggi anggota dapat memberikan kontribusinya yang maksimal bagi tercapainya tujuan organisasi. Anggota sebagai salah satu masukan (input) dalam organisasi terkadang tidak memberikan kontribusinya secara maksimal yang dapat menyebabkan menurunnya partisipasi anggota dalam program-program yang terdapat dalam organisasi.

Partisipasi sendiri merupakan hasil pemikiran rasional yang dibangun oleh individu-individu yang berbagi identitas kolektif antara satu dengan yang lain (Polletta dan James, 2001). Identitas kolektif mampu memberikan kepuasan tersendiri dan menunjukan kewajiban yang mampu mendorong individu untuk bergerak sesuai dengan keinginan organisasi. Dalam organisasi gerakan sosial baru, identitas kolektif merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok sebagai hasil dari konstruksi atau framing suatu budaya organisasi. Sehingga dalam mengkontruksi (framing) identitas kolektif, suatu budaya memerlukan media komunikasi dalam menyebarluaskan frame- frame

tersebut guna membangkitkan kesepahaman anggotanya dalam menghadapi suatu permasalahan.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai LSM dan kaitannya dengan gerakan sosial sudah dilakukan. Sari (2004) menggambarkan pencapaian IPGI (The Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives) sebagai LSM yang bergerak dalam penelitian pastisipatif, pelatihan dan konsultan, advokasi dan


(14)

pelancaran pengaruh dalam mewujudkan situasi yang kondusif bagi terciptanya

civil society pada dua komunitas yang berbeda. Assa’di (2004) menganalisa kedalaman jangkauan (outreach) LSM LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) pada komunitas pedesaan. Kedalaman jangkauan LSM tersebut dianalisa melalui kedalaman jangkauan LSM tersebut, strategi penetrasi LKTS pada pengembangan komunitas, dan pengaruhnya pada pengembangan komunitas pedesaan.

Pada penelitian lainnya yaitu Assa’di (2009) meneliti pengaruh donor dalam aspek finnsial, aksi dan orientasi ideologi terhadap independensi LSM pada dua lembaga yaitu LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) dan LPS DD ( Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa), hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi muncul dari karakteristik donor serta pergeseran ideologi LSM tidak disebabkan langsung oleh donor, tetapi karena meningkatnya kebutuhan finansial yang semakin besar. Selain itu, faktor independensi LSM dipengaruhi oleh faktor internal, dimana militansi ideologi LSM, kemapanan kinerja LSM menjadi variabel kekuatan dalam negosiasi.

Hampir semua penelitan terdahulu mengenai LSM dan gerakan sosial lebih fokus kepada aktifitas maupun keberhasilan LSM dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai organisasi gerakan sosial, namun belum ada yang mengungkapkan bagaimana LSM sebagai organisasi gerakan sosial membangun identitas kolektif pada anggotanya. Dalam organsisasi gerakan sosial, identitas kolektif berguna dalam menjawab tantangan yang akan dihadapi organisasi tersebut kedepannya, seperti tantangan dalam membangun kekuatan internal organisasi dan komitmen anggotanya.

1.2 Perumusan permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan suatu permasalahan yang akan diteliti, yaitu :

Bagaimana framing pada anggota organisasi gerakan sosial dalam membentuk identitas kolektif guna mempertahankan partisipasi anggotanya sebagai aktivis


(15)

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian disusun sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi frame gerakan sosial yang terdapat pada cerita, ritual, bahasa, dan lambang materi yang terdapat pada budaya organisasi gerakan sosial,

2. Mengidentifikasi elemen dari frame yang terdapat pada cerita, ritual, bahasa, dan lambang materi yang terdapat pada budaya organisasi gerakan sosial,

3. Menganalisa identitas kolektif yang melekat pada anggota organisasi gerakan sosial.

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Bagi LSM Greenpeace sebagai masukan sebagai bahan evaluasi dan analisis identitas kolektif yang melekat pada diri anggota organisasi yang bersayana untuk perkembangan LSM tersebut dalam rangka membangun dan memperkokoh kekuatan internal organisasi.

2. Bagi akademisi dan peminat ilmu komunikasi dan sosiologi, dapat digunakan sebagai referensi serta acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pembentukan identitas kolektif anggota dari organisasi gerakan sosial.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gerakan Sosial Baru dan Lembaga Swadaya Masyarakat

Gerakan sosial baru merupakan sebuah struktur jejaring banyak pemikiran yang merupakan produk transformasi mendalam gerakan sosial di era post— industry atau dapat dikatakan gerakan transasional. Gerakan ini menyuarakan, mengarah dan berjuang bagi isu-isu kemanusiaan dan isu-isu yang berhubungan dengan kondisi mendasar keberadaan manusia serta keberadaan yang layak di masa depan (Melucci dalam Singh, 2002). Gerakan sosial baru berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang terkait dengan perdamaian, perlucutan senjata, polusi nuklir, perang nuklir; yang berhubungan dengan ketahanan planet, ekologi, lingkungan; dan hak-hak manusia. Karenanya sejumlah tujuan dan targetnya berlokasi di wilayah lintas masyarakat kemanusiaan global.

Kebanyakan gerakan sosial baru memberi perhatian konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh dimana ruang sosialnya mengalami penciutan dan yang ’sosial’ dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Ekspansi negara dalam panggung kontemporer ini, bersesuain dengan ekspansi pasar. Negara dan pasar dilihat sebagai dua institusi yang sedang menerobos masuk ke dalam nyaris seluruh aspek kehidupan warga. Sehingga gerakan sosial ini berusaha menyerukan sebuah kondisi yang adil dan bermartabat bagi konsepsi kelahiran, kedewasaan, dan reproduksi makhluk manusia yang kreatif dan berseiring dengan alam (Singh, 2002).

Gerakan sosial baru secara radikal mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan konflik kontradiksi dalam istilah ’kelas’ dan konflik kelas. Pikiran akademisi kiri menyajikan gugatan pada sistem paparan marxis materialis tentang gerakan dan perubahan dalam masyarakat (Martin, 2001). Gugatan ini muncul akibat dari disingkirkannya isu-isu gender, ekologi, ras, kesukuan, dsb.


(17)

gerakan sosial baru lebih didasarkan kepada identitas yang melekat bukan sistem kelas. gerakan sosial baru pada umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh dan model politik kepartaian.

Berdasarkan hal tersebut, menurut Taurine dikutip Sztompka (2004) ciri-ciri gerakan sosial baru adalah :

1. Terfokus pada isu, kepentingan, dan bidang-bidang pertentangan sosial baru, sebagai reaksi invasi politik, ekonomi, ekologi, teknologi, dan birokrasi dalam seluruh sektor kehidupan manusia. Konsentrasi gerakan ini terfokus pada kualitas, identitas kelompok, dll.

2. Keanggotaanya tidak dikaitkan dengan kelas khusus tertentu tetapi lebih saling berpotongan dengan pembagian kelas tradisional, mengungkap masalah penting yang dihadapi anggota berbagai kelas yang berlainan.

3. Organisasi gerakannya terdesentralisir dengan jaringan kerja yang meluas dan longgar, tidak kaku, dan hierarkis.

Pada tahap tertentu gerakan sosial baru, dimana gerakan tersebut memiliki rentang yang luas dalam jumlah anggota hingga jutaan (yang tentunya memiliki derajat pengorganisasian yang relatif tinggi membentuk suatu institusi yang mampu mengakomodir proses gerakan sosial itu sendiri. Menurut Tindall (2002), organisasi gerakan sosial baru (new social movement organization) adalah organisasi yang didirikan dalam rangka membangun gerakan sosial dan berbeda-beda derajat formalitasnya dan bentuk institusinya. Organisasi ini merupakan aktor utama dalam gerakan sosial kontemporer (”organization which are dedicated to fostering social change, and which may vary in the degree to which they are formalized and institutionalized-are key actors in contemporary social movement”).

LSM sebagai lembaga yang menyuarakan hati nurani maupun aspirasi dari masyarakat dapat dikatakan sebagai wujud dari organisasi gerakan sosial baru apabila LSM tersebut mengangkat dan memperjuangkan isu-isu kontemporer, karena LSM bukan bagian dari organisasi pemerintah serta didirikan bukan sebagai hasil dari persetujuan pemerintah namun lahir dari individu-individu yang


(18)

memiliki kesepahaman atas cita-cita yang ingin mereka capai. LSM difahami sebagai organisasi gerakan sosial yang menjadi pelopor terciptanya gerakan sosial baru untuk perubahan sosial.

Pada tahun 1978 Dr. Sarino Mangunpranoto pada pertemuan antar organisasi non-pemerintahan yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan di Ungaran mengusulkan untuk mengganti istilah NGO (Non Goverment Organization) atau ORNOP (Organisasi Non-Pemerintah) menjadi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Istilah LSM kemudian berubah menjadi Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Widjanarko,2002). Namun pada tingkat internasional, istilah NGO masih dipakai dan lebih dipahami ( Saragih dikutip Sari, 2004).

Morris dikutip oleh Jallal (2001) mengungkapkan lima karakteristik LSM sebagai berikut :

1. Terorganisasi, sampai derajat tertentu memiliki bentuk organisasional, 2. Privat, secara kelembagaan terpisah dari pemerintah,

3. Nonprofit, keuntungan yang diperoleh dikembalikan untuk mencapai misi yang telah ditentukan,

4. Memerintah diri sendiri, memiliki aparat internal sendiri, dan 5. Voluntari, melibatkan diri dalam partisipasi sukarela yang berarti.

Undang-undang RI No.4 tahun 1982 menegaskan keberadaan LSM di Indonesia, isi dari undang-undang ini menyebutkan bahwa LSM sebagai organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri, di tengah masyarakat, dan berminat, serta bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Dan Inmendagri No. 8/1990, menyebutkan LSM sebagai organisasi.lembaga yang dibentuk masyarakat secara sukarela atas kehendak sendiri dan bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat (Paramitha,2001).


(19)

2.2 Budaya Organisasi

2.2.1 Konsep Budaya Organisasi

Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya adalah suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah diadopsi masyarakat sebagai suatu cara yang telah terorganisasi, mengandung unsur kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, yang berguna dalam memecahkan masalah-masalah para anggotanya serta ketentuan-ketentuan yang mendasar dan mengandung suatu perintah (Koentjaraningrat, 2002).

Organisasi sebagai struktur koordinasi formal yang melibatkan dua orang atau lebih dalam rangka mencapai tujuan bersama memiliki suatu budaya yaitu budaya organisasi. Karena dalam mencapai tujuan bersama, setiap organisasi memiliki suatu sistem yang mengandung unsur norma dan nilai yang berguna dalam mengatur setiap kegiatan yang dilakukan anggotanya agar berjalan sesuai dengan visi maupun misi organisasi. Sistem tersebut dipelajari, dimiliki bersama, diikuti oleh setiap sub-organisasi dan para anggota organisasi itu sendiri, dan mereka yang berada dalam hirarkhi organisasi serta diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, budaya organisasi dapat dikatakan sebagai suatu budaya.

Dalam beberapa literatur (Moeljono dan Robbins) pemakaian istilah

corporate culture biasa diganti dengan istilah organization culture. Kedua istilah ini memiliki pengertian yang sama. Karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut digunakan secara bersama-sama, dan keduanya memiliki satu pengertian yang sama.

Sebagaimana definisi budaya organisasi yang dikemukakan oleh Moeljono (2003), ia menyatakan bahwa budaya organisasi atau budaya manajemen atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebar luaskan didalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan.


(20)

Robbins(2002) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)

sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sistem pemaknaan bersama ini merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values"). Sedangkan menurut Ardana dkk (2008), budaya organisasi adalah sistem makna dan keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang menentukan cara mereka bertindak.

Menurut Robbins dan Coulter (dikutip Ardana dkk, 2008) yang paling efektif dalam meneruskan budaya organisasi adalah melalui :

1. Cerita, cerita-cerita ini khususnya berisi dongeng suatu peristiwa mengenai pendiri organisasi, pelanggaran peraturan dan mengatasi masalah organisasi 2. Ritual, merupakan deretan berulang kegiatan yang mengekspresikan dan

memperkuat nilai-nilai utama organisasi itu serta menunjukan tujuan organisasi.

3. Lambang materi, merupakan atribut fisik pada suatu budaya organisasi yang dapat diamati, seperti pakaian seragam.

4. Bahasa, merupakan cara untuk mengadakan identifikasi anggota suatu budaya atau anak budaya dengan munculnya istilah-istilah khas untuk menggambarkan sesuatu. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu.

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Budaya organisasi sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain, memiliki fungsi dan manfaat yang nyata bagi kehidupan suatu organisasi. Pertama, budaya mempunyai peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya


(21)

organisasi lain karena sifat budaya itu unik. Kedua, menumbuhkan komitmen terhadap organisasi pada diri setiap individu yang tergabung dalam organisasi. Ketiga, membantu individu dalam membentuk identitas diri. Keempat, budaya organisasi berfungsi sebagai perekat sosial dalam mempersatukan unsur-unsur yang terdapat didalamnya sekaligus berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku para anggota.

Menurut Susanto (1997) manfaat dan fungsi budaya organisasi adalah menekan tingkat “turn over” anggotanya. Ini dapat dicapai karena budaya organisasi mendorong anggotanya memutuskan untuk tetap berkembang bersama organisasi dan sebagai cara bagi untuk menunjukan ciri khas yang dimiliki oleh organisasi kepada pihak eksternal, tentang keberadaan organisasi ditengah-tengah organisasi yang ada di masyarakat. Selain itu, menurut Robbins (2002), terdapat sejumlah peranan penting yang dimainkan oleh budaya organisasi, yaitu :

a) Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi anggota; b) Mengembangkan keikatan pribadi dengan organisasi;

c) Membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial;

d) Menyajikan pedoman perilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.

2.3 Framing

2.3.1 Konsep Framing

Frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan bermakna (Goffman dikutip Yanto,2002). Menurut Pan dan Kosicki (dikutip Yanto,2002), terdapat dua konsepsi dari framing yang sailng berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya.

Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukan dalam skema tertentu. Skema adalah


(22)

teori yang berasal dari bidang keilmuan psikologi yang menjelaskan mengenai bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya dalam memandang dunia : seseorang, lingkungan dan peristiwa dalam pandangan atau perspektif tertentu. Skema dapat menimbulkan efek yang kuat pada tiga proses dasar: perhatian atau atensi (attention), pengodean (encoding), dan mengingat kembali (retrival) (Baron dan Donn,2003). Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung setiap hari.

Kedua dalam perspektif sosiologis, frame berfungsi membuat realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dimengerti dengan label tertentu. Menurut Goffman dikutip Yanto (2002), frame secara aktif mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalaman hidup seseorang agar orang tersebut dapat memahaminya.

Menurut Snow dikutip Klandermans dan Suzanne (2002), frame

merupakan interpretative schemata yang membuat partsipan dalam menempatkan, menerima dan melabeli suatu hal. Oleh karena itu Klandermans dan Suzanne (2002) berpendapat bahwa frame memiliki elemen-elemen yang terdiri dari : a. Frame memiliki content.

b. Frame merupakan struktur kognitif atau skema.

c. Frame terdapat pada diri individu maupun lingkungan sosialnya. Frame

merupakan skema kognitif seorang individu, skema ini berguna dalam membangun aksi kolektif apabila individu tersebut berbagi skema yang ia miliki kepada individu lain yang memiliki skema yang sama dalam suatu aksi yang memiliki suatu pola.

d. Frame merupakan struktur kognitif seseorang dan hasil pengembangan proses kognitif. Berdasarkan hal ini, penelitian mengenai framing dapat dibagai menjadi dua tipe yaitu : (1) memandang framing sebagai suatu kegiatan penting dalam mengembang pergerakan dengan menyebarkannya melalui

frame aligment processes, dan (2) memandang frame sebagai content dan struktur, yang mengungkapkan intrepertasi partisipan ataupun pemimpinnya mengenai suatu hal dalam suatu waktu.


(23)

e. Frame are based on text, frame dalam konteks ini dapat ditemukan dalam dokumen tertulis, komunikasi verbal yang terdiri dari percakapan, pidato, slogan, lagu, representasi secara visual yang terdiri dari gambar, ilustrasi kartun dan gabungan dari ketiganya. Sehingga frame biasanya dapat ditemukan melalui wawancara partisipan, analisa dokumen, pidato, slogan, dan lagu.

Menurut Charlotte dikutip oleh Klandermans dan Suzanne (2002) elemen-elemen frame di dalam suatu media komuniasi terdiri dari :

a. Isu utama,

b. Solusi yang ditawarkan dalam frame atau diagnosis dan prognosis,

c. Simbol-simbol yang digunakan seperti gambar-gambar, metamorfosa, contoh sejarah, steriotip, dan catch phrase,

d. Argumen pendukung,

Menurut Robert N. Entman (dikutip Yanto, 2002), framing merupakan proses seleksi bagi berbagai realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu menonjol dibandingkan aspek lain. Sedangkan menurut William A. Gamson (dikutip Yanto, 2002), framing merupakan suatu cara menyampaikan gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa. Cara menyampaikan gugusan ide tersebut terbentuk dalam sebuah kemasan (package), kemasan tersebut merupakan skema atau struktur pemahaman yang digunakan oleh seorang individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ingin disampaikan, serta menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.


(24)

2.3.2 Frame Gerakan sosial

Menurut Gamson dikutip Yanto (2002), gerakan sosial membutuhkan tiga

frame atau bingkai yaitu :

1. Agregate frame adalah proses pendefinisian isu sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama yang berpengaruh bagi setiap individu.

2. Consensus frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan masalah sosial hanya dapat diselesaikan oleh tindakan kolektif. Frame konsensus ini mengkonstruksi perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif.

3. Collective action frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan kenapa dibutuhkan tindakan kolektif, dan tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Frame ini dikonstruksi oleh tiga elemen. (1) injustice frame, frame ini menyediakan alasan mengapa kelompok tersebut harus bertindak sesegera mungkin, sedangkan menurut Taylor (2000) the injustice element refers to the moral outrage activists expound through their political consciousness. This moral indignation is more than a straightforward cognitive or intellectual judgment about equity or justice, it is emotionally charged, (2) agency frame, frame ini berhubungan dengan pembentukan konstruksi siapa kawan siapa lawan, siapa pihak kita dan siapa pihak mereka, dan menurut Taylor (2002) Agency refers to individual and group efficacy, that is, the sense of empowerment activist feel. Empowered activist or those exercising agency feel they can alter condition and policies, dan (3) Identity frame, frame ini tidak hanya memperjelas siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka.

2.4 Identitas Kolektif


(25)

mengatakan bahwa identitas merupakan produk biologi, psikologi dan struktur sosial, (2) pendekatan perubahan sosial, perubahan sosial dapat berpengaruh terhadap pembentukan identitas seseorang, dan (3) pendekatan interaksional, dalam pendekatan ini melihat bahwa identitas merupakan hasil proses interaksi.

Dalam gerakan sosial terdapat perkembangan pemaknaan bersama mengenai nilai-nilai yang dipahami maupun disepakati oleh setiap individu yang berpastisipasi dalam gerakan sosial tersebut. Alberto Melucci (dalam Larana dkk, 1994) memperkenalkan konsep identitas kolektif (collective identity) merujuk kepada konsep pemaknaan bersama. Menurutnya identitas kolektif merupakan hasil proses interaksi dan pemaknaan bersama antara beberapa individu atau dalam suatu kelompok mengenai peluang maupun hambatan yang dihadapi dalam menuju aksi kolektif (“ an interactive and shared definition produced by several individuals (or groups at a more complex level) and concerned with the orientations of action and the field of opportunities and constrain offered to collective action”) . Pemaknaan bersama ini berkembang melaui proses interaksi antara individu. Menurut Melucci, identitas kolektif memberikan aktor yang turut serta dalam gerakan sosial suatu cognitive frameworks yang membantu aktor tersebut dalam menilai kondisi lingkungannya dan memperhitungkan keuntungan maupun kerugian dari setiap tindakan yang mereka akan lakukan. Blumer dalam Larana (1994) mengaitkan esprit de corps, moral, solidaritas, dan ideologi dalam hal konstruksi identitas.

Verta Taylor dan Nancy Whittier (dalam Larana dkk, 1994) memberikan pandangan yang berbeda mengenai identitas kolektif, menurut mereka identitas kolektif merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok (group) yang berasal dari ketertarikan yang sama akan suatu hal dan solidaritas yang dibangun bersama. Mereka berpendapat bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam proses pembentukan identitas kolektif yaitu :

1. the creation of socially constructed boundries that insulate and differentiate a category of persons from the dominant society,

2. the development of consciousness that presumes the existence of socially constituted criteria that account for a group’s structural position,


(26)

3. The valorization of a group’s essential differences through the politicization of everyday.

Menurut Jasper dikutip oleh Polletta dan James (2002) identitas kolektif yang melekat pada seseorang yang turut serta dalam suatu gerakan sosial dapat dilihat melalui tiga jenis identitas yang melekat pada dirinya. Pertama identitas aktivis, indentitas ini dapat dilihat dari sejarah aktifitas politiknya atau sejarah orang tersebut sebelum ia bergabung dengan suatu organisasi gerakan sosial yang lebih luas dari suatu gerakan itu sendiri, misalnya ketika orang tersebut menyebut dirinya sebagai aktivis lingkungan.

Kedua identitas organisasi, identitas yang melekat pada seseorang ketika ia bergabung dengan suatu organisasi. Dan yang terakhir identitas taktis, identitas ini menunjukan gaya aksi tertentu yang ia percaya dan anut. Ketiga jenis identitas ini dapat terbentuk sebelum maupun sesudah ia bergabung dengan suatu gerakan sosial.

2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual

Budaya organisasi menurut George C. Homans (Hersey dan Kenneth, 1982), merupakan hasil dari penyatuan pandangan dari individu atau anggota di dalam organisasi itu. Karena suatu organisasi agar dapat bertahan memerlukan tiga unsur sosial yaitu aktivitas, interaksi, dan sentimen dari anggotanya. Aktivitas adalah tugas-tugas yang dilaksanakan oleh anggotanya, interaksi adalah perilaku yang terjadi di antara orang-orang dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan sentimen adalah sikap yang terbentuk di antara orang-orang dan dalam kelompok. Ketiga unsur ini saling berkaitan satu dengan yang lain. Beragamnya karakteristik individu serta saling terkaitnya tiga unsur sosial dalam suatu organisasi, sehingga organisasi membutuhkan wadah yang mampu meyatukan pandangan yang akan berguna untuk mencapai misi dan tujuan organisasi tersebut agar tidak berjalan sendiri-sendiri.


(27)

Dalam penelitian gerakan sosial baru, budaya organisasi diasumsikan sebagai budaya yang mampu mengkonstruksi identitas kolektif pada individu yang bergabung dengan organisasi gerakan sosial baru. Melalui budaya ini, individu mampu mengkonstruksi kemudian memaknai suatu fakta atau peristiwa yang berlaku sesuai konteks tertentu. Identitas kolektif merupakan suatu daya nalar individu, moral, hubungan emosional antara individu dengan organisasi, kategori, komunitas atau practice. Identitas ini terbentuk akibat interaksi individu dengan budaya suatu pergerakan sosial. Identitas kolektif yang melekat pada anggota dari organisasi gerakan sosial baru dapat dilihat dari tiga identitas yang melekat pada anggota tersebut, yang terdiri dari identitas aktivis, identitas organisasi dan identitas taktik.

Budaya organisasi sebagai suatu hasil penyatuan pandangan, dapat dikatakan sebagai konsensus yang dibentuk oleh anggotanya. Menurut Stuart Hall (dikutip Yanto, 2002), konsensus merupakan hasil share pengetahuan individu-individu yang berada dalam suatu komunitas sehingga menghasilkan suatu peta pemaknaan (maps of meaning) yang dimaknai bersama oleh anggota komunitas tersebut, peta maknaan ini dapat berupa misi dari organisasi itu sendiri. Proses penyebarluasan peta pemaknaan (maps of meaning) dapat dilakukan melalui suatu media komunikasi berupa cerita, ritual, lambang materi dan bahasa yang terdapat pada suatu organisasi. Media komunikasi tersebut memuat nilai-nilai maupun skema-skema yang memperlihatkan pandangan organisasi akan suatu fakta maupun peristiwa.

Skema tersebut digunakan oleh organisasi dalam membingkai suatu realitas dan menyajikannya dalam proses pemikiran individu. Sebuah realitas dapat dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Dalam gerakan sosial, skema tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah frame, karena dalam perspektif frame ini berperan dalam mengorganisasikan pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif (Goffman dikutip Yanto,2002). Dalam pemahaman ini, frame tentu saja berperan dan menjadi faktor yang menentukan dalam partisipasi gerakan sosial.

Aspek utama yang diperhatikan dalam framing adalah proses pembentukan identitas pada individu yang terlibat dalam ’gerakan’ agar individu


(28)

tersebut dapat berperilaku sejalan dan tidak melenceng dari tema ’gerakan’. Dalam konteks gerakan sosial, pembentukan karakter atau identitas merupakan bagian dari collective action frame (Gamson dikutip Yanto, 2002) menghasilkan suatu identitas kolektif yang tidak hanya memperjelas siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka serta memberikan energi positif pada anggota lain (Polletta dan James, 2001). Menurut mereka identitas kolektif dapat ditunjukan oleh cultural materials, seperti nama, narasi, simbol, gaya bahasa, ritual, baju,dll. Pada tingkat individu identitas kolektif dapat dilihat tiga jenis identitas yang melekat pada dirinya, yang terdiri dari identitas aktivis, identitas organisasional dan identitas taktis

Framing menyediakan alat bagaimana suatu peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori tertentu, sehingga dapat dikatakan framing menolong individu dalam memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal dan citra tertentu (Hanson dikutip Yanto,2002). Pada dasarnya dalam suatu media komunikasi, frame dapat dilihat sebagai sebuah content terdiri dari elemen-elemen

frame, elemen-elemen tersebut terdiri dari frame yaitu isu utama, diagnosis, prognosis, dan argumen pendukung. Menurut Gamson (dikutip Yanto,2002), gerakan sosial membutuhkan tiga frame atau bingkai yaitu agregate frame,

consensus frame, dan collective action frame.

Sehingga dapat dikatakan bahwa media komunikasi dalam organisasi sebagai suatu framing seperti aksi-aksi yang mereka lakukan, buku yang diterbitkan, maupun aktifitas lainnya, karena media komunikasi tersebut memuat

frame gerakan sosial yang mempengaruhi cara pandang seorang individu dalam mengkontruksi suatu fakta atau peristiwa, dan membentuk suatu identitas kolektif.


(29)

.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pembentukan Identitas Kolektif pada LSM Greenpeace Asia Tenggara Indonesia.

2.6 Definisi Konseptual

Definisi konseptual yang digunakan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut :

1. Budaya organisasi LSM Greenpeace merupakan suatu nilai maupun norma yang menjadi pedoman anggota organisasi dalam mencapai tujuan organisasi maupun menghadapi permasalahan serta cara bagaimana anggota baru memahami organisasi yang terdapat pada LSM Greenpeace, seperti misi dari organisasi maupun prinsip utama yang di pegang teguh oleh LSM ini .

2. Media komunikasi organisasi merupakan media yang digunakan oleh organisasi dalam menyampaikan gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang terdiri dari cerita, ritual, lambang materi, dan bahasa.

3. Cerita merupakan pemaparan secara tertulis ataupun tidak tertulis tentang suatu peristiwa mengenai organisasi, dan pemaparan tentang suatu peristiwa

Budaya organisasi gerakan sosial baru

Media Komunikasi

o Cerita o Ritual

o Lambang materi o Bahasa

Identitas Kolektif

§ Identitas aktivis

§ Identitas organisasional

§ Identitas taktis

Frame Gerakan Soial

o Agregate frame o Consensus frame o Collective Action

frame

Elemen frame

o Isu utama o Diagnosis o Prognosis

o Argumen pendukung o Simbol-simbol


(30)

ataupun fakta yang berfungsi dalam menyampaikan informasi, moral, nilai-nilai yang mampu memberi semangat anggota dan bersifat meyakinkan. 4. Ritual adalah deretan berulang kegiatan yang mengungkapkan dan

memperkuat nilai-nilai utama organisasi itu, tujuan apakah yang paling penting, serta berguna dalam menciptakan aturan, kejelasan, memprediksi, terutama mengenai masalah-masalah penting, serta ritual dapat dikatakan sebagai suatu aktifitas yang bermafaat dalam proses sosialisasi, stabilisasi, mengurangi kecemasan dan kerasayan, dan menyampaikan pesan-pesan kepada anggotanya.

5. Lambang materi adalah simbol-simbol bermakna yang terdapat dalam organisasi, seperti pakaian Greenpeace dan pakaian Greenpeace yang bertema anti-batubara.

6. Bahasa adalah cara untuk mengadakan identifikasi anggota suatu budaya atau anak budaya. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu. Dalam organisasi bahasa dapat dilihat melalui bahasa ataupun istilah-istilah yang digunakan oleh anggota organisasi dalam aktifitas keorganisasiannya. Istilah-istilah tersebut dapat dikatakan sebagai suatu metafora yang mampu menekan isu yang kompleks menjadi gambaran yang memudahkan anggotanya dalam memahami dan mempengaruhi tingkah laku, penilaian dan tindakan.

7. Frame adalah sebuah skema interpretasi yang membuat realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dimengerti dengan label tertentu, yang dapat dipandang sebagai suatu content dan struktur.

8. Isu utama adalah hal utama yang menjadi fokus pembahasan pada suatu frame

ataupun media komunikasi yang terdapat pada budaya organisasi LSM Greenpeace.

9. Diagnosis frame merupakan frame yang berisi identifikasi dari suatu peristiwa atau kondisi yang dianggap sebagai suatu permasalahan dan perlu diperbaiki serta menunjukan pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab


(31)

timbulnya permasalahan tersebut. (Snow dan Benford dalam Larana dkk, 1994)

10.Prognosis frame menunjukan rencana yang ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat pada diagnostic frame, kemudian menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang mereka anggap terkait, serta target atau capaian, strategi, dan taktik yang digunakan. (Snow dan Benford dalam Larana dkk, 1994)

11.Argumen pendukung adalah pendapat-pendapat yang dapat mendukung suatu pernyataan, terutama latar belakang munculnya permasalahan, akibat yang akan timbul apabila hal-hal yang terdapat pada frame berjalan serta agumen ini memiliki daya tarik dan hubungan dengan nilai-nilai budaya yang lebih luas. (Ryan dalam Klandermans dan Suzanne, 2002)

12.frame gerakan sosial merupakan frame yang berperan dalam memobilisasi individu agar aktif dan masuk kedalam kelompok. Frame tersebut terdiri dari aggregate frame, consensus frame, dan collective action frame.

13.Agregate frame adalah proses pendefinisian isu sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama yang berpengaruh bagi setiap individu.

14.Consensus frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan masalah sosial hanya dapat diselesaikan oleh tindakan kolektif. Frame konsensus ini mengkonstruksi perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif.

15.Collective action frame adalah proses pendefinisian yang berkaitan dengan kenapa dibutuhkan tindakan kolektif, dan tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Frame ini dikonstruksi oleh tiga elemen. (1) injustice frame, frame ini menyediakan alasan mengapa kolompok tersebut harus bertindak sesegera mungkin karena frame ini menyentuh sisi moral aktivis sehingga memacu mereka untuk segera bertindak , (2) agency frame, frame


(32)

siapa pihak kita dan siapa pihak mereka, dan (3) Identity frame, frame ini tidak hanya memperjelas siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka.

16.Identitas kolektif adalah merupakan pemaknaan bersama yang terdapat di dalam suatu kelompok (group) yang berasal dari ketertarikan yang sama akan suatu hal dan solidaritas yang dibangun bersama. Identitas ini dapat ditunjukan melalui cultural materials, seperti narasi, simbol, ritual, baju.

17.Identitas aktivis adalah identitas yang terbentuk dari sejarah aktivitas politiknya atau sejarah orang tersebut sebelum ia bergabung dengan suatu organisasi gerakan sosial yang lebih luas dari suatu gerakan itu sendiri, misalnya ketika orang tersebut menyebut dirinya sebagai aktivis lingkungan. 18.Identitas organisasional adalah identitas yang melekat pada seseorang ketika ia

bergabung dengan suatu organisasi

19.Identitas taktis adalah identitas ini menunjukan gaya aksi tertentu yang ia percaya dan anut


(33)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pendekatan kualitatif. Bagi peneliti kualitatif, realitas sosial adalah wujud bentukan (konstruksi) para subyek penelitian yaitu tineliti (orang dalam) dan peneliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa kata kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan dikutip Sitorus, 1998). Data yang dihasilkan merupakan hasil pengamatan penulis terhadap frame

gerakan sosial yang terdapat pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia serta proses pembentukan identitas kolektif pada LSM tersebut.

Strategi penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu penelitian multi-metode pada aras mikro, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus,1998). Kasus yang diangkat pada penelitian ini adalah gerakan anti-batubara pada LSM Greenpeace

Asia Tenggara di Indonesia dalam membentuk identitas koletif sebagai aktifis lingkungan. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode triangulasi, yang menggunakan sejumlah metode dalam suatu penelitian.

3.2 Penentuan Subyek Penelitian dan Sumber Data

Penelitian dilaksanakan di LSM Greenpeace Asia Tenggara. LSM ini berlokasi di Jalan Cimandiri No. 24, Cikini, Jakarta Pusat. LSM ini dipilih secara

purposive (sengaja). LSM ini dipilih sebagai objek penelitian karena Greenpeace merupakan salah satu LSM di Indonesia yang menentang digunakannya batubara sebagai bahan baku penghasil energi alternatif dan murah. Menurut LSM ini anggapan batubara sebagai bahan baku energi yang murah adalah salah, karena tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Sejak tahun 2009, Greenpeace bersama dengan LSM lingkungan lain gencar menyuarakan aspirasinya melalui aksi yang selalu menarik perhatian


(34)

publik dalam menentang batubara, dan kemandirian mereka dalam menggalang dana untuk modal mereka dalam menyalurkan aspirasi sehingga diasumsikan bahwa LSM ini tidak mendapat pengaruh dari pihak-pihak luar serta memiliki tantangan tersendiri dalam memenuhi dana operasional mereka. Selain itu di Indonesia LSM ini memiliki voulenteer yang cukup besar, hingga tahun 2008 terhitung sekitar 17000 orang yang bergabung menjadi voulenteer Greenpeace

yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa LSM Greenpeace memiliki tantangan organisasi yang cukup besar dalam membangun kekuatan internal organisasi, memperkuat identitas kolektif anggotanya dan menjaga keberlangsungan organisasinya di Indonesia.

Waktu penelitian ini dimulai dari akhir bulan Juli 2009 sampai dengan pertengahan bulan september 2009. Selama itu pula peneliti melakukan magang di kantor LSM Greenpeace Indonesia sebagai asisten Juru Kampanye Iklim dan Energi yang fokus pada isu batubara, untuk mempermudah peneliti dalam membina hubungan yang baik dengan subjek penelitian. Kurun waktu penelitian yang dimaksud adalah waktu yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data di lapangan.

Subjek dalam penelitian ini adalah frame anti-batubara berupa content

(cerita, ritual, bahasa, dan lambang materi) yang terdapat pada media komunikasi LSM Greenpeace Asia Tenggara, dan informan.

Untuk mendukung data-data penelitian, peneliti juga mengumpulkan data dari informan. Informan adalah pihak yang memberikan informasi mengenai pihak lain dan lingkungannya (Sitorus, 1998). Penentuan informan dilakukan secara purposive berdasarkan hasil pengamatan langsung, wawancara dengan pihak LSM tersebut dan kemudahan akses. Informan penelitian ini adalah divisi

Organization Support dan Arie, divisi new media. Sedangkan responden dalam penelitian ini terdiri dari lima orang yang berasal dari divisi yang berbeda yaitu Juru Kampanye, divisi New Media, divisi DDC (Direct Dialogue Campaigner), volunter, dan siswa GPU (Greenpeace University), yang diambil secara

purposive, karena faktor kemudahan akses dan kesediaan responden untuk diwawancara. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui frame batubara dan


(1)

F : kalo dari saya sih,kayanya dari ini masalah pendanaan ya.harusnya dari gp asia itu seharusnya dana tuh disatukan aja. jangan negara ini buat ini-ini gitu.indo buat indo.jadi ya buat apa,disatukan aja.misalnya ada apa, aksi langsung dari turun dari sana gitu. saya masih ragu sama pendanaan. kayanya gp udah ga perlu melakukan fund driving lagi kalo saya bilang. cukup dengan sosialisasi aja ke masyarakat , tetep berjalan,tapi tidak harus dengan target yang apa ya, dengan hrus ikut dibebani target. targetlah gitu, sebulan segini atau sminggu segini. Karena menurut saya,gp tuh dengan ada uang sgni,ya udah gitu. apalagi kan udah berjalan gitu.udah ga usah ambil uang yang terlalu banyak lagi. harusnya yang sudah berjalan ini ya sudah gitu.maksudnya ya fund driving perlu,tapi ya sesekali aja gitu.

P :pake dukungan dari supporter aja gitu dananya?

F :iya,dengan dkungan suporter, suara dan finansial juga hrusnya ya finansial perlu juga, cuma ga usah digenjot abis-abissan.maksudnya dibawa dengan santai.apalagi kan dengan banyak saldo yang masih tersisa di anggaran kan seperti itu kalo saya bilang.

P :kalo dari divisi masing-masing,apa yang mereka perjuangkan,itu sejalan ga?

F :oh iya,kalo itu sejalan.kalo solusi dan visi misi gp, sampai sekarang saya masih yakin.sama gp. saya tambah yakin disana banyak kmajuan-kemajuan. tanggapan positif dari masyarakat. terus ya banyak positifnya lah disana lah.

P :sejak menjadi ddc,ada yang brubah ga dsni? F :apa ya,lebih peduli care aj sama lingkungan gitu. P :contohnya?

F :contohnya ya tadinya apa ya kaya buang sempah sembarangan, jadi lebih berkurang.terus coba lebih hemat energi hemat listrik karena saya tau energi kita ini kaya gimana, dapetnya darimn.ya kaya gitu.

P :kalo posisi kamu di rmh, kamu membawa diri kamu sebagai gp atau sebagai kamu aja gituu?identitas kamu spt apa kalo di rmh?

F :kalo di rumah sih ,rata-rata ya kaya di gp juga.kan saya tinggal sndiri , tinggal misah sama ortu. kalo di rumah gitu, di daerah rumah saya, banyak yang belum tau tentang gp.

P : terus kamu maenin peranan kamu sebagai ddc ga?

F : paling peranan saya ya saya lebih care sama lingkungan kaya misalnya saya sering ngeliat aer tu dibuang-buang ,pasang keran terus aernya dibiarin kluar aj gitu ksel juga sih ngliatnya begitu, kadang kalo saya ngomelin juga lebih galak mereka.hhe.nah bapak-bapak gitu yang saya bilangin.yah pada bilang aer ini saya yang bayar.yaudalah saya bilang.ya kaya gitu kebanyakan,buang sampah ke kali. tetep aja

P :dimarahin?kamu tinggal dimana emang? F :di daerah taman sari.

P :rumah sendiri dari mana? F :itu dari bokap,

P :warisan.tinggal sendiri kamu?

F :sama ade sama sepupu juga jadi serumah gede dibikinin kos-kosan disana. P :kamu umur berapa sekarang?25 kan ya?kapan nikah?hhe.

F :hhe,belom-belom.

P :pengalaman menarik selama jadi ddc apa?

F :pengalaman yang menarik waktu itu ketemu sama orang batan. pertemuannya cukup lama juga,hampir sejam.

P :dimana itu?

F :itu ngomongin tentang nuklir. P :di?

F :di citos.dan dia itu salah satu public relationnya dari batan.jadi dia itu sosialisasi ke msyrkt tentang nuklir, tentang wkt itu kan mau buat...ternyata batal,makanya dia


(2)

kesel banget sama gp.nah disitu terjadi apa ya.itu kan bulan puasa,kalo ga puasa itu dia udah tambah marah-marah kali.

P :terus gimana itu ngobrolnya?

F :ya dia tetep juga dkung gp dan yang smpet bkin saya bingung dia ngomogn gini kalo saya banyak yang nawarin saya dengan gaji yang besar di perusahaan-perusahaan lain.tapi saya tetap memilih batan karena saya ingin memajukan indo melalui nuklir walaupun gajinya kecil.jadi dia bilang gitu.ya saya juga bls bilang,saya juga sama.kalo saya kerja di perusahaan lain,gaji saya bisa besar,.tapi karena saya udah cinta lingkungan ya saya masuk gp. nah dsitu juga dia diem juga.hhe.tapi ya akhirnya kepotong sama adzan magrib buka puasa waktu itu.mau buka puasa.coba kalo ga buka puasa,ya terus aja itu ngobrolnya.

P : sekarang kan kamu ddc,kamu bisa ngebedain ga mana orang yang gp mana yang bkan?

F : gp dari sisi apanya ni?aktivisnya atau anak-anaknya ya? P :anak-anaknya

F : ya dsni banyak,ada yang mementingkan idealisme mereka.dan disni juga ada yang mengejar ,materi.dan juga ada yang di kedua-duanya. ada yang ngejar materi dsni,ngejar uang gaji, dan juga ada yang mngejar sisi idealisme mereka.dan saya ada di tengah-tengah itu aja.bagian yang kedua,saya liat itu dari anak-anak yang lain.kalo untuk yang volunteer, ya saya ga ngliat juga yang volunteer.

P :kalo volunter itu kepisah ya?

F :iya kepisah divisinya.cuman tetep sama.cuman jarang kerja bareng lah. P :kalo fungsi ddc itu apa sih?

ddc itu fungsinya sosialisasi langsung ke msyrkt dan juga melakukan fund rising. P :kamu dibebankan oleh target-target pencapaian dana ya?

F :ya ada juga sih terbebani,tapi ya dibawa santai aja.ga usah dipusingin. P :kalo targetnya ga kesampean,gimana?

F :sampai saat ini sih belom.tapi ya paling dagdigdug sih tkut diomelin.cuman ya dsni kan ada trget bulannanya juga.yang pnting trget bulanannya tercapai.

P :kalo diomelin,diomelin sama siapa?

F :diomelinnya ya paling kaya mana nih kok cuma segini.tapi ya selama ini sih ga pernah di bawah target ya.ga prnah do bawah stanndard lah.lancar-lancar terus. Karena smpai saat ini masih ada terus yang mau jadi suporternya gp. Ya min 18-20 lah per bulan.

P :sehari satu kali ya?

F :iya,sehari satu.pasti ada.tapi ya kadang juga sehari satu ga dapet.tapi sekarang sehari ada yang dapet tiga dapet dua.kaya gitu.wah rame ya.iya hhe.

P :kalo sebagai ddc,nilai apa aja yang hrus dipegang?sebagai orang ddc,apa nilai yang hrus dipegang?yaa kalo ga sebagai gp aja.

F :oh kalo sebagai gp, jadi kalo msalnya mau ngerokok, karena saya kan negroko juga, jangan pake atribut gp lah.kalo jalan-jalan juga jangan pake atribut gp. mau itu kaos atau apanya lah.mau ke mall atau kemana ya jangan pake kaos gp lah kalo saya gitu.soalnya yang jelek dengan lingkungannya tu anak-anak gp nya.bukan gp nya.jadi kalo misalnya ada yang mau jalan-jalan keluar, ke mall pke tas plastik trs pke bju gp.wah itu jadi terganggu aj.karena si baju itu dan orang itu.kalo saya bilang sih ya yang tadi,seterusnya kaya gitu.nah kan kamu udah tau tuh solusi untuk energi.

P :menurut kamu,apa yang hrus dilakukan oleh pemerintah?tindakan apa yang hrus pemerintah ambil?

F : gini,jadi pembatasan energi yang dipakai oleh tiap masyarakat.jadi slam ini kan cuma himbauan-himbauan, tetapi lebih diperingatkan lagi lah.yang agak lebih gimana gitu.jadi per rumah itu dengan sbesar ini batas listriknya berapa.dengan aturan-aturan seperti itu jangan anak-anak orang kaya tuh seenaknya aja mentang-mentang bisa bayar kan. soalnya penggunannya berlebihan jadi yang lainnya malah ga dapet


(3)

ntar.spt itu.dan juga mlai menginvestasikan dana untuk energi yang terbarukan.walaupun sedikit-sedikit. cuma kan yang pnting ada usahanya.jadi ada keseimbangan antara batu bara dan energi terbarukan.jadi nanti lama-lama batubara itu terhapuskan dan mlai beralih ke energi terbatrukan melalui investatsi itu.ya kalo saran dari saya sih itu.sama-sama aj kaya gp sebetulnya.hhe.

P :nah kalo kamu liat dari gp dari dulu sampe sekarang udah ada perubahan?

F :kalo yang masalah energi sih saya liat blm ada. Karena pemerintah masih menolak untuk invest tenga terbarukan tersebut.masih nol lah tanggapan pemerintah.tapi kalo untuk masalah hutan sih bnyak,banyak prkembngan positifnya.kaya program ekoforestri yang berjalan di papua,dan lain-lain, kalo untuk masalah hutannya berjalan.terus kalo untuk masalah nuklirnya kan selesai.iyaya,gajadi ya.

P :terus kamu ada unek-unek tentang gp ga? F :biasanya blm ada sih.

P :selama 8 bulan?

F :ya paling kalo saya bilang sih,bukan gp nya yang slah.top orang-orangnya yang salah.seperti manajemnennya.seperti aturan menejemennya.apa ya.lupa saya. kalo lg kesel sih inget.hhe.harusnya antara volunter sama ddc tuh digabung.bukan dipisah.akhirnya timbul juga seperti iri-irian.karena ddc digaji sementara volunter ga.mereka merasa kalo mereka bener-bener aksi sementara kita hanya sekedar fund raising.padahal mereka harusnya juga tau kalo gp tuh tiap hari aksi.soalnya ya tiap hari kena cacian dan sebagainya itu ya ddc.tapi ya saya juga menghargai volunter sih.karena sempet juga kan ada yang berjuang ampe ditangkep. Ya kita sama-sama sebagai ujung tombak dari gp lah.tapi jangan saling melecehkan.

P :emang ada yang kaya gitu yah?

F :jadi ya gini nih.volunter tuh ngeliatnya kita ddc seperti fund raising aja, karyawan, padahal kita sebagai ddc juga kan kampanye ke mal ke mal, kampus ke kampus, jalan ke jalan, di new zealand malah dari rumah ke rumah, kalo disini belom, ada anjing kali.hhe.jadi ya selama ini masih kurang penghargaan antara masing-masing ddc dengan volunteer.

P :Terakhir,jadi kamu masuk gp karena memang kamu ingin jadi aktivis ya. F :iya

Responden : AF

Tanggal : 12 Agustus 2009

Setting Wawancara : Bagian dapur dari kantor Greenpeace Asia Tenggara, saat itu kantor masih sepi,

A : gimana, gimana

P : mas AF kan khususnya tentang energi. Bagaimana perspektif mas tentang energi A : Perspektif saya tentu perspektif gp yaa..jadi, kalo dalam ,kalo kita bicara energi di

indonesia tidak bisa dipisahin dari iklim dan energi, kehutanan sebenernya nyambung sama iklim, tapi luas aja.. dalam konteks iklim, menurut banyak laporan yang keluar baru-baru ini ataupun sebelumnya..berdasarkan bukti-bukti juga, Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim..ee..secara geografis..kenapa Indonesia itu rentan..karena Indonesia itu Negara kepulauan kan..yang terdiri 17.000 pulah..nah..ee..salah satu dampak perubahan iklim itukan kenaikan permukaan air laut..nah itu menyebabkan Negara kepulauan seperti Indonesia ini sangat rentan..dengan hilangnya pulau-pulau kecil..terus..secara dampak-dampak lainnya yaa..sudah banyak dialami di Indonesia ini..mulai dari bencana-bencana yang diduga akibat perubahan iklim semakin sering terjadi, kaya banjir, tanah, longsor, kekeringan, merebaknya penyakit tropis yang diduga, dipicu oleh perubahan iklim, karena perubahan pola cuaca ga jelas, sekarang bulan agustus, harusnya masuk musim kemarau, tapi daerah-daerah belum jelas, nah itu


(4)

tanda-tandanya, Nah, dampak-dampak luar biasa, kalo dalam konteks, korban jiwa dan finansial, dan udah terjadi di Indonesia uh,,penyebab perubahan iklim di Indonesia datang dari dua sektor, pertama dari sektor hutan, kan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim kan, indonesia di kawasan asia tenggara merupakan negara yang paling tinggi kontribusinya terhadap GRK, jadi 51% emisi gas rumah kaca di asia tenggara datang dari Indonesia, 75% GRK indonesia berasal dari hutan, nah sisanya dari energi, itu, nah, dalam konteks energi, meskipun indonesia sudah dikatakan sebagai negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, bencana-bencana sudah terjadi, pokonya dampak perubahan iklim sudah terjadi di Indonesia, tapi saat ini belum ada langkah-langkah kongkret pemerintah untuk mengurangi emisi dari sektor energi, bukannya mengurangi, alih-alih pemerintah justru membuat kebijakan-kebijakan yang membuat emisi GRK dari sektor energi malah bertambah, misalnya kebijakan pemerintah yang sangat menggantungkan pasokan energi, listrik kita dari pembangkit listrik batubara, ini yang paling parah, kenapa, karena batubara ini adalah bahan bakar fosil yang kontribusinya terhadap GRK paling besar, secara global dia yang paling besar, di Indonesia dia yang paling besar, jadi dengan menggunakan batubara, dengan tergantung dengan batubara maka emisi GRK dari Indonesia akan semakin meningkat, bukannya mengambil kebijakan-kebijakan yang mengurangi GRK, tapi justru pemerintah itu, dengan alasan kita mengalami krisis listrik, krisis energi, jadi pemerintah bangun, ada namanya proyek pembangunan percepatan listrik tenaga uap 10.000 mw, batubara tuh, batubara dimana-mana, 10 di jawa, 25 di luar pulau Jawa, GP sadar betul Indonesia itu memerlukan listrik, tapi permasalahannya, jangan sampai upaya-upaya kita untuk memenuhi kebutuhan energi dan listrik kita, mengorbankan keselamatan rakyat kita, keselamatan iklim kita, jangan sampai upaya kita memenuhi kebutuhan energi, tapi disisi lain mengorbankan upaya kita menguragi gas rumah kaca, sebenernya solusinya itu ada, di Indonesia, bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan energi kita tanpa tergantung sama energi fosil, seperti batubara, minyak, gas, dalam konteks itu untuk itu Greenpeace mengadakan sebuah research untuk melihat sebuah sekenario..umm..energi di Indonesia yang berkelanjutan dan terbarukan, sementara dalam konteks batubara, kan pemerintah selalu menggunakan argumentasi bahwa batubara bahan bakar murah, berlimpah di Indonesia dan mengenyampingkan, pemerintah selalu mengenyampingkan dampak-dampak negatifnya, Greenpeace melakukan research, ada di Indonesia juga, saya yang melakukan, ( sambil menunjukan buku ”Biaya Sebenarnya Batubara”)

P : Ohh,,itu yang ada di websitenya juga ya, ini bukunya yaa

A : Iyaa, ini saya, nah,,umm,,itu pemerintah itu tida mempertingkan, kalo di ekonomi itu ada istilah eksternalitas, nah pemerintah itu tidak pernah memperhitungkan eksternalitas negatif dari batubara, kalo itu diperhitungkan maka biaya batubara ini akan naek drastis dan tidak punya tempat lagi di tata kelola energi nasional, alhamdulilah, beruntungnya kita itu dikarunai sumber energi terbarukan yang bersih, yang melimpah, yang ramah lingkungan, di negara yang luas ini, alhamdulilahnya kita ga seperti Jepang, kaya negara pasifik, kita punya potensi energi bersih yang melimpah, kita negara tropis sepanjang tahun kita disinari surya, nah sepanjang tahun itu kita bisa memanfaatkan energi surya sebenernya, ya kalo mau, kalo pemerintah punya political will, sejauh ini engga, itu satu, banyaknya. Nah Indonesia itu terletak di ring of fire, cincin api, kenapa disebut itu, karena kita banyak sekali gunung apinya, nah,,potensi dari gunung berapi itu adalah panas bumi, itu luar biasa berlimah, yang sekarang tercatat, potensi panas bumi Indonesia itu, sekitar 40% dari potensi panas bumi dunia

P : Iyaa? Di Indonesia aja? A : 40%, itu sekitar 27.000 mw P : Gede banget


(5)

A : Sangat-sangat besar, sayangnya sejauh ini yang dimanfaatkan oleh pemerintah itu baru sekitar kurang dari 5%

P : Di Indonesia ada?

A : Ada, di Kamojang, Wayah Windu, terus Darajat, Garut Jawa Barat, padahal potensi kita besar, Justru Filipina yang sudah memanfaatkan geothermal jauh lebih banyak dari Indonesia, padahal potensinya tidak sampai 50% kaya di Indonesia

P : Mereka maksimalisasi yaa?

A : Iya mereka memanfaatkan panas bumi, Indonesia meskipun potensinya sangat melimbah dan itu sangat ramah lingkungan, dan no emission, namun sejauh ini yang baru dimanfaatkan dari 27.000- 33.000 mw sebenernya, yang baru dimanfaatkan baru 1.030 mw

P : Itu kira-kira kenapa mas?

A : Karena tidak ada komitmen politik, tidak ada niat baik dari pemerintah untuk itu, karena tidak dukungan dari pemerintah maka harga panas bumi ini jauh lebih mahal dari batubara, katakanlah untuk membangun instalasi pembangkit listriknya memang dia (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) pertama lebih mahal, tapi setelah dia beroperasi, dia justru akan jadi lebih murah karena tidak membutuhkan batubara, ga ada transportasinya, kalo batubara itu..mungkin bangunnya lebih murah , tapi sepanjang sampe PLTUnya ini mati..ga beroprasi lagi..terus membutuhkan biaya..kenapa ga itu (maksudnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), itu kompleks tuh, tidak ada komitmen politik dari pemerintah, gampangnya ginilah, kenapa pemerintah masi keukeuh pake batubara kalo orang sunda bilang, karena

masih banyak sekali di pemerintahan SBY saat

ini..yang..ee..pemerintahannya,menteri-menterinya, donatur kampanyenya SBY, Jusuf Kalla itu terlibat dalam industri batubara, industri besar itu..menteri energi itu punya perusahan-perusahaan batubara..tambang..dia terlibat..dia brokerlah, jadi bagaimana mungkin..ee..mereka itu mau mengurangi penggunaan batubara ini, karena inikan terkait dengan kepentingan ekonomi mereka..makanya kita selalu bilang..selama pemerintah masih dijerat oleh mafia energi..maka pemerintah tidak akan punya keberanian politik untuk mengembangkan energi terbarukan, itu masalahnya, itu satu surya panas bumi, terus dibeberapa wilayah di Indonesia, kecepatan angin kita itu rata-rata lebih kuat dari wilayah yang lain, itu potensial untuk tenaga angin,

P : Kaya Nusa Tenggara ya

A : Iya, daerah-daerah timurlah, terus mikro hydro, pembangkit listrik tenaga air yang skalanya kecil, terus biomassa, terus kalo penelitiannya dilanjutkan mungkin energi gelombang, itu kan ramah lingkungan, tapi sejauh ini engga, pemerintah justru untuk membangun PLTU batubara karena ya itu, duitnya banyak disitu, padahal argumennya kalo kita punya batubara melimpah, ga bener ko, kita no. 8 di dunia, sementara Cina dan Australia yang no.1 dan no.2 justru mereka tidak mengekspornya, kalo kita mengekspor batubara, terus gimana?

P : Hmmm,,kalo masalahnya seperti itu, what should be done, menurut mas?

A : Yang pertama pemerintah, pemerintahan baru ini sebenernya masih sama juga orangnya, harus punya komitmen politik, keberanian politik untuk lepas dari itu, selama itu ga ada, ga akan pernah kita bisa harapkan itu, yang ada hanya retorika-retorika SBY, ‘saya akan mengurangi efek rumah kaca, bla,bla,bla..’, ya itu dari sisi energi, kalo saya bicara hutan, lebih bahaya lagi, cuma omong kosong, banyak sekali kebijakan yang keluar beda sama komitmennya, SBY tahun 2008 dalam pertemuan G8 berpidato, ‘Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca’, eh, pada saat bersamaan menterinya ngeluarin kebijakan yang, misalnya menteri energi bangun PLTU, terus menteri pertanian membolehkan lahan gambut dibuka, menteri kehutanan,,bertolak belakang semuanya, itu kalo sisi hutan nantilah, sama mas Yuyun, Bustar, atau Joko, eeee…apa yang harus dilakukan pemerintah, yang pertama


(6)

komitmen politik, pertama kita harus punya undang-undang sumber energi terbarukan, karena itu paying hukun untuk mengembangkannya, kalo kita sudah punya undang-undang, kita bisa menyelesaikan masalah, misalnya, kan permasalahannya macem-macem nih, harga listrik yang terlalu rendahlah dari panas bumi, jadi ga ekonomis, jadi ga ada yang mau masuk industri, karena biaya bangun lebih mahal daipada harga listriknya, terus bagaimana kita dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap batubara, smenetara kita buka pintu untuk investor-investor industri energi terbarukan, kenapa saya bisa bilang seperti itu karena pilipina aja, yang potensi energi terbarukannya sangat jauhlah dari Indonesia, karena dia punya undang-undang energi terbarukan, sekarang realisasi mereka di energi terbarukan sudah jauh lebih besar dari Indonesia, karena sudah ada pijakan hukumnya, yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan itu, P : Kalo dari sisi society, masyarakatnya, apa yang mereka bisa lakukan ?

A : Nah kalo dari masyarakat, sebenernya masyarakat sudah berjalan sekian lama tanpa intervensi pemerintah, sekarang di Indonesia ini yang baru mendapatkan listrik itu baru sekitar 59%, dan itu fokus di Jawa, Madura, Bali, kalo kita pergi Kalimantan, Sumatara, Papua, listrik parah, sekitar 40% masyarakat Indonesia belum mendapatkan listrik, akhirnya mereka memenuhinya dengan genset,

P : Microhydro,

A : Nah, ada juga, yang dipedalaman-pedalaman yang punya sungai kecil mereka membangun microhydro, itu insiatif-inisiatif lokal yang dibangun, dalam konteks Indonesia, negara kepulauan ini, pembangkit listrik terpusat, istilahnya itu Jamali interkoneksi, sistem intergrid seperti ini, sistem terpusat kaya gini, sementara kita punya pulau-pulau yang lain loh, seharusnya pengembangan energi listrik di negara seperti Indonesia ini, disesuaikan dengan karakteristik masing-masing pulau, karakteristik sumber energi masing-masing pulau, misal di NTT yang cocok tenaga angin, ya kembangkanlah yang tenaga angin itu.

P : Umm,,,kalo dari mas nih, apa yang mas sodorkan kepada masyarakat tentang energi?

A : Kalo kita sih, kalo saya sendiri, kalo untuk kampanye energi terbarukan, kita harus dimulai dari pemerintah, ga bisa dari masyarakat, kalo dari masyarakat sendiri, kita kampanyenya kapanye antibatubara, karena masyarakat merasakan dampaknya, kaya di Cilacap kan,

P : Terus dari GP, untuk kampanye batubara?

A : Kalo kemaren kan kita masih fokus di, istilahnya di hilirnya, di PLTUnya, kita bentuk anti-coal community, masyarakat anti batubara lah ya, tapi itu kemaren itu masih fokus di pembangkit listrik, kedepan kita juga akan melihat kehulu, ke pertambangan, karena masalahnya juga banyak di sana, jadi sepanjang rantai istilahnya itu chain of custody, sepanjang rantai pemanfaatannya batubara itu, mulai dari pertambangannya, sampei pembangkit, dampaknya luar biasa, damapak sosial ekonomi, dampak lingkungan, dampak kesehatan,

P : Waw,fotonya serem-serem amat (mas A,memperlihatkan isi buku)

A : Iyaa, cepat atau lambat hal ini akan terjadi di Indonesia, kalo kita masih berpaku sama batubara, Next step, kita berusaha mendesak pemerintah untuk merancang undang-undang energi terbarukan, jadi kita bergerak dari tingkat akar rumput, tingkat nasional , dan entar di tingkat internasional juga nanti kita akan membangun aliasnsi-aliansi,

P : Untuk ini udah kerja sama, siapa aja?

A : Koalisi anti-batubara, anti coal coalition, itu tuh WALHI, JATAM, SDE dan IESR, tapi yang terakhir ini ga aktif,

P :Makasi mas,

A : Sip, ini baca-baca aja dulu P : Sip


Dokumen yang terkait

Peran Jaringan Komunikasi dalam Gerakan Sosial Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup"Reviewer"

0 4 4

PEMBINGKAIAN PESAN UNTUK MENGUBAH SIKAP DAN PERILAKU

11 56 235

PEMBINGKAIAN BERITA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIMKOPENHAGEN 2009 di SURAT KABAR HARIAN KOMPAS PEMBINGKAIAN BERITA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM KOPENHAGEN 2009 di SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Mengenai Jurnalisme Lingkungan Hidup Dalam Pemberitaan

0 2 17

PENDAHULUAN PEMBINGKAIAN BERITA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM KOPENHAGEN 2009 di SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Mengenai Jurnalisme Lingkungan Hidup Dalam Pemberitaan Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen 2009 di Surat Kabar Harian Kompas Desemb

0 6 37

DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN PEMBINGKAIAN BERITA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM KOPENHAGEN 2009 di SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Mengenai Jurnalisme Lingkungan Hidup Dalam Pemberitaan Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen 2009 di Surat Kabar Haria

0 4 21

PENUTUP PEMBINGKAIAN BERITA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM KOPENHAGEN 2009 di SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Mengenai Jurnalisme Lingkungan Hidup Dalam Pemberitaan Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen 2009 di Surat Kabar Harian Kompas Desember 2

0 3 50

Gerakan sosial baru (Studi Kasus Pola Jaringan Gerakan Sosial Cinta Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indoensia Yogyakarta) Jurnal

2 4 15

GERAKAN PEREMPUAN WONOREJO DALAM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DI RUNGKUT KOTA SURABAYA.

0 3 120

analisis-gender-dalam-pembangunan-lingkungan hidup

0 0 50

Analisis Framing Tentang Poligami Dalam

1 1 15