4.1.1 Sistem Kepercayaan
Kementrian Agama menetapkan agama yang resmi yang di akui di Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Atas
dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam
kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenal penduduk. Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-
orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan. Meski penduduk Indonesia mayoritas beragama Muslim, tetapi etnik
Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di Tahun 2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen Etnik Tionghoa yang memeluk agama
Islam, Ananta, Arifin dan Bakhtiar dalam Siahaan 2012 : 34. Namun, etnik Tionghoa masih dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan turun-temurun dari
leluhur mereka. Beberapa ajaran atau kepercayaan itu adalah Konfusianisme, Taoisme.
4.1.1.1 Konfusianisme
Agama Konfusius atau konfusionisme adalah agama tertua di Cina. Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah
rujiao yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memang bukanlah pencipta agama ini. Kong Hu Cu
hanyalah pribadi yang menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum
Universitas Sumatera Utara
kelahirannya. Kepercayaan ini mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut ren dao dan bagaimana kita melakukan hubungan
dengan Sang KhalikPencipta alam semesta tian dao yang disebut dengan istilah tian atau shang di.
Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengna manusia di bumi dengan baik. Penganut
kepercayaan ini diajar supaya tetap mengingat nenek moyang mereka seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika
yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku.
4.1.1.2 Taoisme
Ajaran Taoisme didasari oleh kitab Tao Te Ching. Kitab ini menurut tradisi dianggap sebagai peninggalan Lao Tzu, yang dipercaya sebagai pelopor Taoisme.
Ajaran ini mengundang para penganutnya agar selaras dengan alam. Ajaran ini menitikberatkan pada usaha untuk tidak melakukan apapun atau wuwei sehingga
dunia akan menjadi lebih baik. Setelah agama Buddha memasuki Tiongkok, para Pengikut Taoisme mengubah pengajaran filsafat Lao Tzu menjadi peneladanan
agama Buddha, sehingga memiliki Trimurti pada pucuknya, dengan Lao Tzu sebagai dewa tertingginya. Itulah sebabnya filsafat Taoisme perlahan diubah
menjadi sebuah agama. Pada masa Orde Baru di Indonesia, agama Tao terbelenggu dengan pemerintah. Tidak boleh ada yang berbau Taoisme. Bahkan
peringatan Tahun Baru Imlek, upacara-upacara keagamaan dan yang lainnya tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh dilaksanakan atau dirayakan. Akibatnya, generasi muda yang lahir pada zaman orde baru menjadi kehilangan identitas dan tidak tahu apa Taoisme itu
sebenarnya. Secara Umum, masyarakat Tionghoa menerima ajaran Taoisme sebagai
falsafat turun-temurun, namun isi dari ajaran itu masih dipertahankan sebagai sebuah ajaran yang baik untuk dilakukan, sehingga sedikit banyaknya ajaran ini
masih diingat dan diterapkan oleh masyarakat Tionghoa di Medan.
4.1.1.3 Buddhisme