BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari empat subbab. Subbab pertama membahas latar belakang masalah. Subbab kedua membahas tentang pembatasan dan perumusan masalah.
Subbab ketiga membahas tentang tujuan dan manfaat penelitian. Dan Subbab Terakhir, subbab keempat membahas mengenai sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berikut dengan kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu manusia membutuhkan manusia lain untuk saling mengisi
masing-masing kekurangannya. Hal ini masih terkait dengan kehidupan sebagai karunia dari Tuhan bagi manusia yang wajib disyukurinya. Kewajiban bagi manusia
untuk mengisi kehidupan tersebut setiap harinya dengan meningkatkan kualitas diri agar bertambah baik dari hari ke hari.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan, sebagai seorang umat manusia sudah seharusnya dapat menyikapinya dengan bijak sehingga antara
kelebihan dan kekurangan menjadi seimbang. Dalam hal menyikapi ini, kebanyakan manusia tidak dapat menyeimbangkan keadaan dirinya. Mereka lebih cenderung
menonjolkan kelebihan dan menutupi kekurangan. Padahal kekurangan yang dimiliki dapat disikapi dengan hal yang lebih positif.
Pada penelitian ini akan dibahas masalah homoseksualitas. Yang juga secara tradisional, psikologi cenderung mengabaikan masyarakat lesbian dan gay, atau
menganggap mereka sebagai orang abnormal. Bahkan, sampai tahun 1974, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder sistem untuk menjelaskan
dan mendiagnosa gangguan mental memasukkan homoseksualitas sebagai gangguan mental Matt Jarvis, 2009: 200. Homoseksual menurut kamus psikologi adalah daya
tarik terhadap individu dari jenis kelamin yang sama; psikoanalisis menerapkan istilah homosexual neuroses kepada sekelompok cacat, yang dipandang oleh mereka
itu sebagai berasal dari kecenderungan-kecenderungan seksual yang ditekan Henry Sitanggang, 1994: 184. Sehingga dari fenomena ini sangat dimungkinkan seorang
homoseksual akan
menyembunyikan identitas
dirinya sebagai
homoseksual dikarenakan opini masyarakat yang masih menganggap mereka sebagai kaum
abnormal yang patut diabaikan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir dari
masyarakat tentang homoseksual pun berubah, sebagian masyarakat tidak lagi memandang homoseksual sebagai sesuatu yang abnormal, tentu saja perubahan sikap
yang terjadi dewasa ini membangun wacana baru tentang homoseksualitas, sehingga banyak pula penelitian-penelitian seputar penjelasan mengapa ada orang tertentu
menjadi homoseks. Keadaan ini tetap mengidentifikasikan bahwa homoseksual masih perlu diperjelas alasannya.
Homoseksual itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu gay dan lesbian. Gay diartikan sebagai laki-laki yang homoseksual dan lesbian adalah wanita yang homoseksual
Henry Sitanggang, 1994: 236. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah kaum
homoseksual jenis gay. Mengingat kemudahan peneliti dalam hal pengambilan sampel penelitian.
Dari berbagai stigma dan dukungan masyarakat tentang homoseksual khususnya gay baik itu stigma dan dukungan positif maupun stigma dan dukungan negatif
memunculkan berbagai sikap dan perilaku dari kaum homoseksual gay itu sendiri. Sikap dan perilaku yang dimunculkan oleh kaum gay pun beraneka ragam, seperti
yang diberitakan dalam sebuah website berita kompas. Sabtu, 7 Maret 2009 di Sydney, Australia, pada saat itu sedikitnya 300.000 orang berikut 130 kendaraan
hias berkeliling memadati jalan Oxford Street, mereka berkumpul, dan melakukan parade untuk merayakan Mardi Gras, yaitu perayaan tahunan untuk homoseksual dan
lesbian. Karena sudah sejak setahun dari perayaan ini pemerintahaan Australia melegalisasikan peraturan kesetaraan antara pasangan homoseksual, termasuk
lesbian dan heteroseksual. Tema yang diambil dalam parade ini bertajuk Nation United yang dimana tema ini diambil untuk menghormati kaum homoseksual
diseluruh dunia. Khususnya bagi kaum homoseksual yang masih tinggal di negara- negara yang belum memperkenankan kaum homoseksual hidup secara terbuka.
http:internasional.kompas.comreadxml200903072124527australia.peringati.m ardi.gras.
Dari berita tersebut tergambar bahwa masyarakat homoseksual khususnya di Australia dapat dengan mudah menunjukkan jati diri mereka sebagai seorang
homoseksual tanpa merasa takut atau malu karena status mereka sebagai seorang homoseksual, sehingga sikap dan perilaku mereka sebagai seorang homoseksual
lebih terbuka pada masyarakat sekitarnya. Faktor penyebab lainnya yang dapat
memunculkan sikap dan perilaku terbuka dari homoseksual diantaranya adalah bahwa kaum homoseks memang lebih liberal, tidak cepat merasa bersalah dalam
perilaku seksual mereka, Crowden Koch dalam Sarlito, 2002: 187, mereka pun lebih berperilaku saling menolong, Salais Fischer dalam Sarlito, 2002: 187, dan
dibeberapa kalangan memang makin banyak pendapat yang mengatakan bahwa homoseksual tidak dapat dinilai melanggar etika atau moral, Murphy dalam Sarlito,
2002: 187. Namun, tidak semua stigma dan dukungan yang positif dapat memunculkan sikap
dan perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sekitar kaum homoseksual tersebut. Misalnya keinginan lingkungan sekitar mereka yang menginginkan mereka untuk
kembali hidup sebagai seorang heteroseksual. Dan jika dukungan positif telah diberikan namun kaum homoseksual tersebut tidak dapat melakukan apa yang
diharapkan lingkungan sekitarnya hal ini mungkin disebabkan karena mereka ingin kembali tetap wajar, dapat meneruskan keturunan, tapi mereka tidak mampu, karena
sudah terlalu jauh tenggelam dalam komplikasi yang dihadapinya Zakiah Darajat, 2001: 47.
Selain stigma dan dukungan yang positif, stigma dan dukungan yang negatif pun memberikan efek yang berbeda, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, berbagai
pertentangan muncul untuk kaum homoseksual. Salah satu bentuk pertentangan tersebut tergambar dalam sebuah berita yang baru-baru ini terjadi yang diambil dari
akses website berita di Jawa Timur http:m.beritajatim.com. Yaitu, belasan jamaah Front Pembela Islam berkumpul di loby Hotel Oval, para jemaah ini beniat mengusir
para peserta gay dan lesbian dalam kongres ILGA International, Lesbian, Gay,
Biseksual, Transgender and Interseks Association yang diadakan di Hotel Oval tersebut. Kongres ILGA ini adalah acara rutin yang dilakukan sejak tahun 2002,
untuk tahun ganjil digelar konfrensi tingkat dunia, dan untuk tahun genap dilakukan konferensi regional seperti yang digelar di jawa timur tersebut. Dalam kesempatan
itu baik dari pihak ILGA maupu FPI belum menemukan titik temu dan masih melakukan perundingan.
Dari berita tersebut tergambar jelas secara umum bahwa masyarakat di Indonesia
kurang mendukung
atau bahkan
menentang keberadaan
kaum homoseksual. Namun akibat dari pertentangan-pertentangan yang terjadi tidak lantas
membuat kaum homoseksual tersebut menjadi sadar akan penyimpangan seksual yang ada pada diri mereka. Berdasarkan hasil observasi langsung yang di lakukan
oleh peneliti, banyak diantara mereka yang bersikap acuh bahkan dengan sadar menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah seorang homoseks, meskipun
ada pula yang menjadi takut atau bahkan membenci pihak-pihak yang menentang keberadaan mereka. Keanekaragaman sikap homoseksual dalam menunjukkan jati
dirinya tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang salah satunya adalah faktor pengaruh dukungan sosial. Lingkungan sosial dapat membentuk perilaku dan sikap
yang diharapkan dalam suatu lingkungan budaya. Maka dari itu pemberian dukungan yang tepat dan bermakna diharapkan dapat memberikan efek yang positif dan efek
yang diharapkan dari homoseksual tersebut. Selain itu dukungan dari lingkungan sosial juga dapat mengurangi hambatan-
hambatan yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang ada dalam rentang kehidupan kaum gay, namun kebutuhan-kebutuhan tidak selalu dapat terpenuhi
dengan lancar. Sehingga seringkali terjadi hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai tujuan
dinamakan frustrasi. Keadaan frustrasi yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat diatasi oleh seseorang akan menimbulkan stres. Stres adalah suatu keadaan di mana
beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu. Seseorang melakukan bermacam-macam cara penyesuaian diri Coping
untuk mengatasi berbagai macam stres. Setiap manusia mempunyai cara-cara penyesuaian diri yang khusus, tergantung dari kemampuan-kemampuan yang
dimiliki, pengaruh-pengaruh lingkungan, pendidikan, dan bagaimana ia dapat mengembangkan dirinya Suprapti, 2003: 35-36.
Pentingnya perlakuan lingkungan sosial bagi daya tahan manusia terhadap stress juga tergambar dalam eksperimen yang dilakukan oleh Bernstein Suprapti,
2003: 42 pada sekelompok tikus yang diperlakukan secara berbeda. Ada sekelompok tikus yang sering dibelai extra handling group EH, ada kelompok
tikus yang tidak dibelai sama sekali non-handlingNH, dan ada yang jarang dibelai IH. Dalam maze learning, ternyata tikus pada kelompok EH persentase
keberhasilannya lebih tinggi dan daya tahan tikus EH lebih besar daripada kelompok lainnya. Dari eksperimen tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa cara lingkungan
sosial memperlakukan individu dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan daya tahan individu terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini
perlakuan dan dukungan yang baik dari lingkungan sosial diharapkan dapat mengurangi stres yang terjadi sepanjang rentang kehidupan individu homoseksual,
juga dapat membuat individu homoseksual tersebut lebih berkembang dan
berperilaku sesuai dengan harapan lingkungannya. Salah satunya adalah kembali ke dalam status heteroseksual yang sudah dikodratkan kepada mereka sejak mereka
diciptakan, sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat An- Nahl ayat 72:
Artinya: “Barangsiapa kamu temui melakukan perbuatan kaum Luth Homoseksual,
maka bunuhlah al-fail dan al-maf’ul bi kedua-duanya”.
Dari sabda rasulullah di atas ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Di dalam
perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan
selama satu tahun. Adapun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal bukan gila maka hukumannya sama
saja atau tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum menikah http:kozam.wordpress.com.
Karena hal di atas, sebagai masyarakat yang baik sudah seharusnya kita merangkul kaum homoseksual agar tidak terjerumus dalam dosa besar, memberikan
dukungan yang sesuai agar mereka kembali ke jalan yang sudah dikodratkan kepada mereka, bukan dengan cara menghujat namun dengan cara bersahabat agar terjalin
kesadaran tanpa rasa takut ataupun cemas. Namun apakah setiap dukungan yang positif akan menimbulkan cara
penyesuaian diri terhadap stres Coping yang baik, mengingat seperti yang disebutkan sebelumnya berdasarkan fakta yang terdapat dikehidupan sehari-hari di
Indonesia khususnya bahwa tidak semua dukungan yang positif akan menimbulkan sikap dan perilaku yang baik serta tidak semua dukungan negatif dapat menimbulkan
sikap dan perilaku yang negatif pula. Sikap dan perilaku di sini termasuk pula sikap dan perilaku penyesuaian diri terhadap stres Coping.
Maka dari itu dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana hubungan antara dukungan sosial terhadap coping stres usaha individu untuk
menghadapi sumber-sumber stres dan dikhususkan kepada problem focus coping yaitu positif coping pada homoseksual. Di mana penelitian ini juga dibuat
mengingat banyaknya fenomena-fenomena khususnya fenomena kriminalitas yang dilakukan oleh kaum homoseksual di Indonesia yang mungkin disebabkan oleh
tingkat stres yang tinggi dan dukungan sosial yang tidak tepat sasaran. Dan juga dari observasi awal yang dilakukan peneliti, sebagian homoseksual yang ditemui banyak
diantaranya yang tidak percaya diri, rendah diri, bahkan ada yang sering melakukan percobaan bunuh diri dikarenakan tuntutan lingkungan dalam hidup mereka yang
tidak dapat terpenuhi dan pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perbuatan mereka di tengah-tengah masyarakat. Dan melalui fenomena–fenomena tersebut penelitian
ini diberi judul “HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN COPING STRES HOMOSEKSUAL DI JAKARTA”
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan-batasan dalam membahas masalah penelitian, pembatasan masalah itu adalah sebagai berikut:
1. Pria homoseksual yang dimaksud di sini adalah pria homoseksual yang berdomisili di Jakarta, dalam rentang usia remaja akhir yaitu berusia sekitar 18-22
tahun, dan pernah menjalin hubungan dengan sesama pria.
2. Coping stres yang dimaksud adalah usaha individu antara aksi reaksi dengan intra fisik untuk menghadapi sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol individu
terhadap sumber stres. Coping stres disini coping stress dalam psikologi positif yang kemudian dibagi menjadi tujuh bagian yaitu menceritakan dan menuliskan
masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon yang positif ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, melakukan meditasi, dan
mendekatkan diri kepada tuhan kerohanian. 3. Dukung sosial yang dimaksud adalah informasi atau nasehat verbal dan non
verbal yang diberikan oleh suatu jaringan sosial tersebut dan mempunyai manfaat perilaku bagi penerima. Yang kemudian dukungan sosial tersebut dibagi menjadi
empat yaitu,
dukungan emosional,
dukungan penghargaan,
dukungan instrumental, dan dukungan informatif.
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan
dukungan informatif dengan coping stres yang terdiri dari menceritakan dan menuliskan masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon positif
ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, meditasi, dan kerohanian pada homoseksual di Jakarta?