Kota Medan Manajemen Organisasi, Pelatihan, Dan Struktur Musik Di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Medan Plaza Medan

72 ini yang jumlahnya mencapai 12.000 orang ada juga yang melakukan kawin antar etnik dalam sutau gereja. Namun jumlah mereka tidaklah begitu banyak. Dengan identitas GBI yang seperti itu, maka tidaklah mengherankan apabila khotbah dan pujian dalam bentuk nyanyian menggunakan bahasa persatiuan yaitu bahasa Indonesia. Nemun demikian, unsure-unsur kebudayaan etnik juga tidak lupa digunakan di gereja in, seperti beebrapa ende Batak yang dikomposisikan kembali ke dalam nyanyian gereja.

2.3 Kota Medan

Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, selain diisi oleh jemaatnya yang berasal dari Sumatera Utara dan Indonesia pada umumnya, gereja ini juga memiliki identiras kebudayaan metropolitan Kota Medan. Bagaimanapun secara pemerintahan administratif ia berada di bawah Kota Medan. Untuk itu perlu diuraikan tentang Kota Medan. Kampung kecil, dalam masa lebih kurang 80 tahun dengan pesat berkembang menjadi kota, yang dewasa ini kita kenal sebagai kota Medan, berada di suatu tanah datar atau Medan, di tempat Sungai Babura bertemu dengan Sungai Deli, yang waktu itu dikenal sebagai “Medan Putri”, tidak jauh dari Jalan Putri Hijau sekarang. Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya Riwayat Hamparan Perak 1971 yang mendirikan kampung Medan adalah Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak Dua Belas Kota dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli. Universitas Sumatera Utara 73 John Anderson, seorang pegawai Pemerintah Inggris yang berkedudukan di Penang, pernah berkunjung ke Medan tahun 1823. Dalam bukunya yang bertajuk Mission to the Eastcoast of Sumatera, edisi Edinburg tahun 1826, Medan masih merupakan satu kampung kecil yang berpenduduk sekitar 200 orang. Di pinggir sungai sampai ke tembok Mesjid Kampung Medan, dilihatnya susunan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar yang menurut dugaannya berasal dari Candi Hindu di Jawa. Menurut legenda, di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli Lama, kira-kira 10 kolometer dari kampung Medan, di Deli Tua sekarang seorang putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan puteri itu tersohor kemana-mana, mulai dari Aceh sampai ke ujung utara Pulau Jawa. Sultan Aceh jatuh cinta pada puteri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah karena penolakannya itu dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecah perang antara kesultanan Aceh dan kesultanan Deli. Menurut legenda yang tersebut di atas, dengan mempergunakan kekuatan gaib, seorang dari saudara Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan yang seorang lagi sebagai sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya. Kesultanan Deli Lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa, Putera mahkota yang menjelma menjadi meriam itu, meledak bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo, kira-kira 5 kilomeer dari Kabanjahe. Universitas Sumatera Utara 74 Pangeran yang seorang lagi yang telah berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli disatu tempat yang berdekatan dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung Jambo Aye dekat Lhok Seumawe, Aceh. Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan tuan putri itu dikabulkan. Baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembus angin ribut yang dahsyat disusul oleh gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut. Legenda ini sampai sekarang masih terkenal di kalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dari puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa meriam, penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Isa\tana Maimon, Medan. Kota Medan yang telah berumur ratusan tahun itu, mempunyai objek-objek yang sangat berharga dan potensial untuk digali dan dipugar untuk dijadikan objek wisata. Kota Medan saat ini telah mengalami kemajuan dan pembangunan yang saat pesat. Sebagai pusat pemerintahan daerah Sumatera Utara, Medan tumbuh menjadi kota metropolitan dengan berpenduduk kurang lebih 3 juta jiwa. Sebagian besar Universitas Sumatera Utara 75 penduduk tersebut adalah suku Batak dan Melayu. Selain itu ada orang Jawa, Aceh, serta warga keturunan China dan India. Sekarang Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Bangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan tumbuh bak jamur di musim hujan. Salah satu keistimewaan kota Medan adalah adanya becak motor atau yang lebih dikenal dengan becak mesin yang menambah semaraknya kota ini walaupun menimbulkan polusi udara dan kebisingan kota. Untuk mencapai Medan dapat ditempuh melalui darat, laut, dan udara. Medan memiliki lapangan udara Internasional, Bandar Udara Polonia yang letaknya 4 kilometer dari pusat kota. Medan juga punya pelabuhan laut terbesar ketiga di Indonesia , yaitu Pelabuhan Belawan, yang terletak 25 kilometer di utara Medan. Selain itu, Medan mempunyai 2 terminal bis antar kota yaitu Terminal Pinang Baris di utara dan Terminal Amplas di selatan Medan. Di kiri kanan jalan ini banyak dijumpai bangunan kuna bergaya Eropa bekas kolonial Belanda. Kawasan ini dikenal juga dengan nama Kesawan. Di utara Kesawan ini terdapat Lapangan Merdeka, sebuah lapangan tempat upacara resmi sering diadakan. Di sekitar tempat ini kita jumpai lagi bangunan kuno seperti gedung Balai Kota, Bank Indonesia.PT. London Sumatera, Hotel Dharma Deli, dan sebuah jembatan gantung titi gantung yang di bawahnya terdapat Stasiun Kereta Api Medan. Juga terdapat bangunan antik yang bersejarah yaitu Kantor Pos Pusat Medan yang sampai sekarang masih tetap beroperasi. Jika kita menyempatkan diri untuk menikmati suasana malam kota Medan, kita pasti akan ternganga melihat semaraknya kota Medan pada malam hari, apalagi sekarang di kawasan Kesawan Universitas Sumatera Utara 76 telah dijadikan tempat Jajanan Malam terbesar di Kota Medan, dan para pengunjung bisa menikmati semua jenis makan yang telah siap dihidangkan oleh para produsen makanan setiap malamnya dan peresmian tempat jajanan malam tersebut atau lebih cenderung disebut sebagai Kesawan Square pada tanggal 15 Januari 2003 resmi dibuka. Di Jalan Ahmad Yani Medan, dan sepanjang jalan protokol tersebut para pelancong dapat membeli berbagai suvenir yang hampir semua jenisnya berasal dari tempat tempat daerah wisata di Sumatera Utara. Selain untuk membeli suvenir sebagai buah tangan dari Sumatera Utara, para pelancong dapat juga melihat bangunan tua hasil dari peninggalan kolonial Belanda. Kota Medan yang metropolitan ini, sangat sesuai dengan struktur dan cirri gereja Bethel Indonesia yang menghargai dan mewadahi heterogenitas kebudayaan etnik. Mereka disatukan dalam sebuah gereja, yang berfungsi juga sebagai wahana integrasi social di kalangan masyarakat Kristen Protestan aliran kharismatik di kota ini. Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza sendiri tidak dapat dilepaskan eksistensinya dari kebudayaan kota Medan. Bahkan gereja ini sendiri berada di pusat perdagangan Kota Medan, tepatnya di Lantai Tujuh Gedung Medan Plaza Kota Medan. Gedung ini lebih dikenal sebagai pusat perdagangan dan perniagaan, bukan pusat keagamaan. Demikian sekilas hubungan etnografi san geografi Sumatera Utara dan Medan dalam konteks GBI. Selanjtnya kita lihat sejarah berdirinya GBI. 2.4 Sejarah Gereja Bethel Indonesia 2.4.1 Masa Awal di Indonesia