Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN TEORI

A. Seni Lukis Anak-anak

Anak pada usia TK dalam kehidupannya sangat erat dengan berkarya seni. Hampir bisa dikatakan bahwa perilaku anak dekat dengan kegiatan berkesenian; tiada hari tanpa gambar atau berseni. Berseni merupakan suatu kebutuhan anak dalam: 1. Mengutarakan pendapat, 2. Berkhayal-berimajinasi, 3. Bermain, 4. Belajar 5. Memahami bentuk yang ada di sekitar anak, 6. Merasakan: kegembiraan, kesedihan, dan rasa keagamaan. Jika setiap orang berjiwa seni dan secara naluriah melakukannya, maka diperlukan kehadiran pembinaan seni di sekolah. Anak usia TK yang menerima pembinaan seni rupa diharapkan mempunyai dampak ganda, disamping mampu melukis juga berkembang kepekaan rasa keindahan estetik, kreativitas, percaya diri dan mampu menterjemahkan simbol visual yang diutarakan orang lain. Hal ini merupakan pendapan seorang ahli pendidikan seni Earl W. Linderman, Donald W. Herberholz 1979 dalam Hajar Pamadhi, 2005. Kegiatan bermain yang diberikan oleh seorang guru sebenarnya merupakan tugas pencermatan terhadap bentuk, misalnya: keindahan, konstruksi dan teknologi ataupun proses. Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan cerapan keindahan bentuk esetetik, dapat dilakukan pembelajaran membentuk dan melukis. Proses ini sering dikatakan sebagai proses menciptaan karya seni. Dalam proses ini anak sering mengutarakan isi hatinya, gagasannya, serta mengungkapkan kembali peristiwa yang pernah dialami dan dilihat oleh anak. Dengan demikian, seni rupa anak bukan seni rupa orang dewasa, karena cara cipta anak melalui prosedur yang khusus. Demikian pula pendidikan seni rupa untuk anak mempunyai karakteristik tersendiri dalam pembinaannya. 5 6 Pendidikan Seni Rupa di TK sangat luas cabang-cabangnya dan beragam strategi pembinaannya. Dalam pembicaraan lebih lanjut lebih mengkhusus pada salah satu cabang seni rupa ialah seni lukis, khususnya seni lukis anak-anak. Terlebih dahulu diutarakan tentang pengertian seni lukis. Seni lukis, sebagaimana yang diungkapkan oleh Soedarso, SP 1987: 10, menyatakan bahwa, suatu pengucapan pengalaman estetik yang ditumpahkan dalam bidang dua dimensional dengan garis dan warna. Seni lukis merupakan bahasa visual dan merupakan salah satu media komunikasi lewat garis, bentuk, warna dan tekstur. Hal ini perlu disadari bahwa seni lukis merupakan curahan isi jiwa seseorang yang bernuansa estetis, kreatif, harmonis dan ekspresif yang tidak lepas dari sensitivitas. Di dalamnya mengandung pesan tertentu yang disampaikan kepada orang lain, sehingga menimbulkan tanggapan yang berupa rasa senang dan puas. Begitu juga apa yang diungkapkan oleh Robert Rodowoski dalam Afandi, 2002 dalam penelitiannya “Columbus Public School ”, menyatakan bahwa, anak yang mendapat pelajaran seni rupa inklusif seni lukis akan: a. Mengalami kegembiraan dan semangat bersekolah tinggi; b. Memperoleh kedisiplinan yang positif; c. Keterampilan membaca lebih tinggi 65; d. Telaah komprehensif kemampuan memahami bacaan lebih tinggi 41 e. Konsep matematikanya lebih tinggi 63; f. Penerapan konsep matematikanya lebih maju 25. Hal ini berarti bahwa anak yang mendapat pelajaran Seni Rupa inklusif seni lukis mempunyai kelebihan dari pada anak yang tidak mendapat pelajaran senirupa. Berdasarkan penelitian tersebut, berarti pelajaran seni rupa inklusif seni lukis sangat berarti bagi perkembangan emosi dan intelektual anak. 7

B. Gejala-gejala karya Seni Lukis Anak-anak

Berdasarkan pengalaman peneliti pada studi awal sejak tahun 1978 pada kursus melukis “Karta Pustaka”, Yayasan Indonesia – Belanda Yogyakarta, dan di ektra lukis TPA “ Kurnia Melati” Melikan Kidul, Bantul pada tahun 2008, pada awal pembinaannya selalu diadakan pretes: melukis bebas. Peserta kursus melukis, di “Karta Pustaka”, sangat beragam sejak anak-anak TK, SD, SMP, SMA, bahkan orang tua. Sedangkan santriwan dan santriwati di TPA “Kurnia Melati” terdiri anak TK, SD dan SMP. Ketika diadakan pretes, kebanyakan anak- anak tersebut melukis pemandangan dengan dua gunung, matahari terbit di tengahnya, tampak jalan di tengah tepat mengarah ke dua gunung tadi, di kanan kiri jalan terdapat petak-petak sawah. Di atas gunung terlukis beberapa burung berbentuk seperti angka tiga telungkup. Dalam hati peneliti, timbul pertanyaan: mengapa hal ini dapat terjadi, dari siapa mereka mendapatkannya? Untuk melangkah ke pembinaan kreativitas, maka peneliti sengaja memberikan tema bebas lagi, ternyata lukisannya kebanyakan tidak jauh berbeda bentuk dan unsurnya dengan lukisan yang pertama. Hal ini merupakan gejala lukisan anak- anak , yaitu mengulang-ulang bentuk yang sama dalam setiap kali melukis disebut gejala “Stereotype” Suwarna, 2008. Jika demikian halnya maka anak-anak kurang kreatif, maka perlu ada strategi pembinaan lebih lanjut agar mereka kreatif. Anak-anak sebetulnya telah menyadari akan adanya ruang, Mereka menempatkan berbagai objek secara rebah, melayang, dan berputar. Misalnya ia melukis dengan objek tentang kolam ikan, disekelilingnya terdapat pohon, rumah