Economic valuation of land use changes in Wonogiri Watershed (case study at Keduang Sub Watershed, Wonogiri Regency)

(1)

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WADUK WONOGIRI

(Studi Kasus di Wilayah Sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri)

JOKO SUTRISNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Valuasi Ekonomi Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Wonogiri (Studi Kasus di Wilayah Sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

Joko Sutrisno NIM. P.062020071


(3)

Watershed (Case Study at Keduang Sub-Watershed, Wonogiri Regency). Supervised by BUNASOR SANIM, ASEP SAEFUDDIN and SANTUN R.P. SITORUS.

Land use changes will be influenced by environment quality, because the multifunctions of agriculture land use is loss, i.e. economic function, social function and environment function. Economic function consist of loss of crop production and loss of farmer’s income. Social function consist of loss of farmer’s job and Environment function consist of erosion and sedimentation mitigation and hidrology system mitigation. This research aim to know the level of land use changes in Keduang Sub-Watershed, to analysis the influences of land use changes to environment quality, especially the loss of agriculture land multifunctions, i.e. economic, social and environment functions, to know the loss of economic value of agriculture land multifunction due to land use changes and to analyse the policies goverment about land uses change, especially land use change in Keduang Sub-Watershed, Wonogiri Regency. Research method which is used is descriptive. Research location is taken intentionally (purposive), that is Keduang Sub-Watershed with consideration that Keduang Sub-Watershed is the widest Sub-Watershed in Wonogiri Watershed with very high erosion danger index and closeness of high river stream also, so that have big generated erosion potency. Besides, from the number of precipitated sediment in Wonogiri Reservoir point, Keduang Watershed give the biggest contribution of other Sub-Watershed in Wonogiri Sub-Watershed. Data Types which are obtained are secondary data from Forestry Research and Development Agency, Surakarta, BPS of Wonogiri Regency and Agriculture Department of Wonogiri Regency. Method of analysis’s data which is used in this research is Universal Soil Loss Equation Method to predict the soil erosion. To calculate the value of economic and social function of agriculture land use multifunction used market price and to calculate the value of environment function, this research used Replacement Cost. Results of this research are: the level of land use change (since 1993 up to 2008) in Keduang Sub-Watershed is 297 hectare. The loss of economic value of multifunction agriculture land in Keduang Sub-Watershed is equal to Rp. 13,2 billion/year or Rp 44,5 million/hectare/year. The economic value of water is equal Rp 760 billion/year. The value consist of value of economic function is equal to Rp 3,7 billion/year, value of social function is equal to Rp 1,2 billion/year and value of environment function is equal to Rp 8,3 billion/year.

Keywords : land use change, agriculture land multifunctions, environment quality, economic value


(4)

RINGKASAN

JOKO SUTRISNO. Valuasi Ekonomi Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Wonogiri (Studi Kasus di Wilayah Sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri). Dibimbing oleh BUNASOR SANIM, ASEP SAEFUDDIN dan SANTUN R.P. SITORUS.

Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu : tujuan sosial (sosial obejective), tujuan ekonomi (economic objective), dan tujuan ekologi (ecological objective). Dengan demikian pembangunan berkelanjutan adalah upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga aspek, yaitu : aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Konversi lahan pertanian ke non pertanian akan berpengaruh pada kualitas lingkungan, akibat hilangnya manfaat multifungsi dari lahan pertanian tersebut, baik itu fungsi ekonomi, sosial maupun fungsi lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui laju konversi lahan pertanian ke non pertanian di Sub-DAS Keduang; (2) mengetahui dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian terhadap kualitas lingkungan Sub DAS Keduang, karena hilangnya multifungsi lahan pertanian, baik fungsi ekonomi, sosial maupun lingkungan; (3) mengetahui nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang hilang akibat konversi lahan pertanian ke non pertanian di Sub DAS Keduang; (4) mengetahui kebijakan pemerintah tentang konversi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah DAS waduk, terutama berkaitan dengan isi kebijakan, implementasi kebijakan dan pengendalian kebijakan, dan (5) menyusun arahan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS Waduk Wonogiri.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive), yaitu Sub DAS Keduang dengan pertimbangan bahwa Sub DAS Keduang merupakan Sub DAS yang terluas dibandingkan dengan Sub DAS yang lain di wilayah DAS Waduk Wonogiri dan merupakan Sub DAS yang memberikan sumbangan terbesar terjadinya sedimentasi di Waduk Wonogiri. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang diperoleh dari Balai Penelitian Kehutanan Surakarta, Dinas Pertanian kabupaten Wonogiri dan BPS Kabupaten Wonogiri. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Universal Soil Loss Equation (USLE) untuk menghitung prediksi erosi dan metode harga pasar untuk menghitung nilai manfaat multifungsi lahan pertanian sebagai penghasil produksi pertanian dan penyedia lapangan kerja. Biaya Ganti (Replacement Cost) digunakan untuk menghitung nilai manfaat multifungsi lahan pertanian sebagai pengendali erosi dan pemelihara tata air.

Hasil penelitian yang didapatkan diantaranya adalah telah terjadi konversi atau perubahan penggunaan lahan yang nyata di wilayah Sub DAS Keduang antara tahun 1993 sampai dengan 2008. Penggunaan lahan yang mengalami penyusutan adalah hutan/semak belukar, perkebunan/kebun, sawah, sawah tadah hujan dan penggunaan lain. Sementara itu, penggunaan lahan untuk tegalan/ladang dan pemukiman/bangunan mengalami peningkatan. Konversi lahan pertanian ke non pertanian di Sub DAS Keduang selama kurun waktu 1993 – 2008 seluas 297


(5)

perkebunan/kebun (169 hektar). Ada 4 pola konversi lahan pertanian ke non pertanian di Sub DAS Keduang, yaitu dari sawah irigasi menjadi pemukiman, sawah tadah hujan menjadi pemukiman, ladang/tegalan menjadi pemukiman dan kebun/perkebunan menjadi pemukiman.

Konversi lahan pertanian ke non pertanian berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan DAS Waduk Wonogiri, karena hilangnya sebagian manfaat multifungsi lahan pertanian, baik manfaat ekonomi sebagai penghasil produksi pertanian, manfaat sosial sebagai penyedia lapangan kerja, dan manfaat biofisik lingkungan sebagai pengendali erosi dan sedimentasi serta pengendali tata air.

Nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang telah hilang akibat konversi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah Sub DAS Keduang sangat besar. Nilai ekonomi ini merupakan penjumlahan dari nilai manfaat penghasil produksi pertanian yang hilang, nilai manfaat penyedia lapangan kerja, nilai pencegah erosi dan nilai pengendali tata air. Nilai manfaat multifungsi lahan pertanian sebagai pencegah erosi dan pengendali tata air di Sub DAS Keduang nilainya jauh lebih besar (kurang lebih 16 kali) dibandingkan dengan nilai manfaat penghasil produksi pertanian yang hilang, nilai manfaat penyedia lapangan kerja.

Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian sudah ada, seperti pelarangan konversi lahan sawah irigasi ke penggunaan non pertanian, namun implementasi di lapangan peraturan-peraturan tersebut belum dilaksanakan dengan baik, dan pengendalian yang dilakukan belum berjalan efektif terbukti masih adanya konversi lahan sawah ke non pertanian.

Kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian, termasuk pengendalian konversi lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan besar pengaruhnya terhadap penurunan nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang hilang akibat konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : (1) Pemerintah sebagai otoritas yang memberikan ijin konversi lahan pertanian ke non pertanian harus konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan stakeholder dan pemerhati lingkungan seyogyanya mengontrol kebijakan konversi lahan pertanian ke non pertanian tersebut. (2) Lahan sawah irigasi tidak boleh dikonversi ke penggunaan non pertanian, karena mempunyai nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang paling besar dibandingkan dengan jenis lahan pertanian lainnya. (3) Menetapkan zonasi (lokasi) dan menyusun prioritas jenis lahan pertanian yang boleh dikonversi menjadi lahan non pertanian. (4) Melakukan perbaikan terhadap kondisi teras-teras di lahan tegalan/ladang milik petani. (5) Menyusun peraturan daerah yang mengatur tentang konversi lahan pertanian ke non pertanian dan peraturan daerah yang mengatur pemberian insentif kepada pemilik lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan yang potensial untuk dikonversi ke non pertanian.

Kata-kata kunci : konversi lahan pertanian, multifungsi, kualitas lingkungan, nilai ekonomi


(6)

VALUASI EKONOMI

KONVERSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WADUK WONOGIRI

(Studi Kasus di Wilayah Sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri)

JOKO SUTRISNO

DISERTASI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar DOKTOR

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Aris Munandar, M.S (Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lansekap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :

1. Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S (Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta)

2. Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, M.S, D.A.A (Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian)


(9)

Kabupaten Wonogiri) Nama Mahasiswa : Joko Sutrisno

NRP : P.062020071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 27 Juli 2011 Tanggal Lulus :


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Agustus 1967 sebagai anak keempat dari enam bersaudara, dari Ayah Sumardi (Almarhum) dan Ibu Prinah (Almarhumah). Penulis menikah dengan Srie Juli Rachmawatie, S.P, M.Si pada tahun 1996 dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Ahmad Nur Wasita Abyan Rahmaputra (8 tahun), Alisha Nabiha Nur Ulima Rahmaputri (6 tahun) dan Ahmad Nur Huda Arfian Rahmaputra (2 tahun).

Penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Tegalrejo I Yogyakarta tahun 1979, lulus SMP “Tujuh-Belas”-I Yogyakarta tahun 1982 dan lulus SMA Negeri II Yogyakarta tahun 1986. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ekonomi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Ekonomi Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana (S3) diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Progam BPPS.

Sejak tahun 1992 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis, Fakultas Pertanian UNS. Disamping itu sejak tahun 1996 aktif sebagai pengelola Unit Inkubator Bisnis, Pusat Pengembangan Kewirausahaan (PPKwu), LPPM UNS Surakarta.

Bagian dari disertasi ini akan diterbitkan di Jurnal Ilmiah SEPA Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian UNS pada edisi Vol 8 No.1 September 2011 dengan No. ISSN 1829-9946 dan Jurnal Ilmiah Sains Tanah Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS pada edisi Vol 8 No. 2 Juli 2011 dengan No. ISSN 1412-3606.


(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas perkenan dan rahmat-Nya, maka penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Valuasi Ekonomi Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Wonogiri (Studi Kasus di Wilayah Sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini dapat terselesaikan.

Dengan selesainya penulisan disertasi ini, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, baik moril, materiil, tenaga, pikiran dan goa. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih serta penghargaan kepada :

1. Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang sangat berharga pada penyusunan disertasi ini. Penulis tidak tahu bagaimana cara membalas budi baik dari bapak-bapak komisi pembimbing tersebut yang tidak hanya sekedar membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi, tetapi juga telah menjadi penyelamat masa depan kehidupan penulis. Kebijaksanaan Bapak-bapak komisi pembimbing dalam melakukan pembimbingan merupakan teladan yang sangat berharga bagi penulis yang dapat penulis jadikan model nantinya. 2. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Staf Pengajar Departemen ITSL,

Fakultas Pertanian IPB) dan Dr. Ir. Aris Munandar, M.S (Staf Pengajar Departemen ARL, Fakultas Pertanian IPB) yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat Ujian Tertutup.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S (Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian UNS) dan Bapak Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, M.S, D.A.A (Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian RI) yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat Ujian Terbuka.

4. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menempuh program Doktor di IPB melalui dana BPPS Tahun Anggaran 2002/2003.

5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Sekretaris Program Doktor SPs IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana IPB.


(12)

6. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SPs IPB beserta staf yang telah memberikan arahan, dorongan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama mengikuti program studi doktor di Program Studi PSL.

7. Pimpinan di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Fakultas Pertanian UNS yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti program studi doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana IPB dan memberikan bantuan dana kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

8. Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis, Fakultas Pertanian UNS dan Ketua Laboratorium Ekonomi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis, Fakultas Pertanian UNS, yang telah memberi ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi di PS PSL SPs IPB dan selalu memberi dorongan kepada penulis agar tidak putus asa untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini.

9. Rekan-rekan staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Pertanian UNS yang telah membantu, baik dalam pengumpulan dan analisis data maupun penulisan disertasi, serta yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan disertasi.

10. Kepala Pusat Pengembangan Kewirausahaan (PPKwu) LPPM UNS, yang telah memberikan bantuan dana dan memberikan semangat terutama pada saat penulis merasa putus asa karena masa studi yang berkepanjangan.

11. Rekan-rekan pengelola dan peer group PPKwu LPPM UNS, yang telah membantu dalam analisis data dan penulisan disertasi, serta yang telah terus-menerus memberi semangat dan motivasi kepada penulis bahwa penulis mampu untuk menyelesaikan penulisan disertasi.

12. Rekan-rekan pelaksana program kerjasama antara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM) Jakarta dengan UNS, yang telah memberikan kelonggaran kepada penulis selama penulis konsentrasi dalam penulisan disertasi.

13. Pemerintah Kabupaten Wonogiri beserta instansi terkait yang telah memberi ijin penulis untuk penelitian di Kabupaten Wonogiri serta memberi kemudahan kepada penulis untuk mengakses data-data yang diperlukan. 14. Pimpinan Perum Jasa Tirta I wilayah Bengawan Solo, Balai Penelitian

Kehutanan Solo dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo, yang memberikan dukungan data-data yang diperlukan.

15. Rekan-rekan Pengurus dan Pengelola Yayasan Institut Pengembangan Kewirausahaan dan Kejuruan Indonesia (Yayasan IPKKI), beserta rekan-rekan pengelola Politeknik Surakarta dan pengelola Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Teknosa Surakarta, yang telah mensupport selama saya studi, termasuk memberikan kelonggaran kepada saya agar segera bisa menyelesaikan penulisan disertasi.


(13)

data di lapangan.

17. Keluarga besar Bapak/Ibu Sumardi (Yogyakarta) dan Bapak/Ibu H. Drs. Soekirman Siswoharsono, yang penuh pengertian, selalu memberi semangat, motivasi dan do’a, agar penulis bisa menyelesaikan pendidikannya di IPB. 18. Seluruh keluarga – isteri Srie Juli Rachmawatie, SP, M.Si dan putera-puteri

penulis Ahmad Nur Wasita Abyan Rahmaputra, Alisha Nabiha Nur Ulima Rahmaputri dan Ahmad Nur Huda Arfian Rahmaputra- yang dengan penuh pengertian, kesetiaan, kesabaran dan ketabahan dalam memberikan semangat dan do’a untuk keberhasilan pendidikan program doktor penulis.

19. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut memberikan andil dalam penyelesaian disertasi ini.

Semoga disertasi ini dan ilmu-ilmu yang telah penulis dapatkan selama mengikuti program studi doktor di IPB memberikan manfaat dan kebaikan.

Bogor, Agustus 2011


(14)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …………..………... vii

DAFTAR GAMBAR ……….……….... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….... 5

1.3. Tujuan Penelitian ………... 9

1.4. Manfaat Penelitian ………... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ….………... 10

1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan-Keterbatasan ………... 13

1.7. Kebaruan (Novelty)... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Definisi Lahan, Penggunaan Lahan dan Konversi Lahan ... 15

2.2. Multifungsi Lahan Pertanian ... 17

2.3. Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan ………... 20

2.4. Faktor-Faktor Yang Menentukan Konversi Lahan Pertanian …. 26 2.5. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Lahan ………... 32

2.6. Teknik Valuasi Ekonomi Barang dan Jasa Lingkungan ... 35

2.7. Studi Terdahulu Tentang Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian ... 37

III. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 41

3.2. Rancangan Penelitian ... 41

3.2.1. Studi Laju Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian .. 41

3.2.2. Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Kualitas Lingkungan Akibat Hilangnya Multifungsi Lahan Pertanian ... 42

3.2.3. Studi Valuasi Ekonomi Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 52

3.2.4. Studi Kebijakan Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ………... 58

3.3. Penyusunan dan Simulasi Model ... 60

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 61

4.1. Keadaan Alam ... 61

4.2. Keadaan Penduduk... 71

4.3. Keadaan Perekonomian ... 76

4.4. Keadaan Pertanian ... 78

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 81

5.1. Pola, Laju dan Neraca Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Sub DAS Keduang ...……… 81

5.2. Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Kualitas Lingkungan DAS Waduk Wonogiri ... 93


(15)

5.4. Penyusunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau ... 122

5.5. Kebijakan Pemerintah tentang Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 127

5.6. Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan DAS Waduk Wonogiri ... 141

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 167

6.1. Simpulan ... 167

6.2. Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ……….…... 171

LAMPIRAN …...……….…... 181


(16)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rasio Land Rentyang Diperoleh dengan Mengusahakan

Lahan untuk Sawah dan Penggunaan Lain ... 27

2. Jenis dan Sumber Data Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian serta Cara Pengumpulannya ... 41

3. Jenis dan Sumber Data Fungsi Ekonomi Lahan Pertanian serta Cara Pengumpulannya …...……….. 42

4. Jenis dan Sumber Data Fungsi lahan Pertanian Sebagai Penyedia Lapangan Kerja Cara Pengumpulannya ...……… 44

5. Jenis dan Sumber Data Fungsi Lahan Pertanian Sebagai Pengendali Erosi dan Pemelihara Tata Air serta Cara Pengumpulannya ……….... 45

6. Teknik Pengambilan dan Jumlah Informan tentang Kebijakan Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 59

7. Jenis dan Sumber Data Kebijakan Pemerintah Tentang Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian serta Cara Pengumpulannya ... 59

8. Luas DAS dari Tiap-tiap Sungai yang Masuk Waduk Wonogiri ... 61

9. Luas Sub-DAS Keduang Berdasarkan Wilayah Administrasi 63 10. Rincian Desa-desa dan Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang Masuk Wilayah Sub DAS Keduang ………. 64

11. Jenis Tanah di Sub DAS Keduang ... 65

12. Tipe Iklim Menurut Schmidt dan Ferguson Berdasarkan Nilai Q ... 68

13. Penggunaan Lahan di Sub DAS Keduang Tahun 2008 ... 69

14. Satuan Lahan Homogen di Wilayah Sub DAS Keduang ... 69


(17)

16. Kepadatan Penduduk di Sub DAS Keduang Tahun 2008 ... 72 17. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Sub DAS

Keduang ... 73 18. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Sub DAS Keduang.. 74 19. Data Penduduk Menurut Tamatan Pendidikan di Sub DAS

Keduang ... 75 20. Jumlah Sarana Pendidikan di Sub DAS Keduang Tahun

2008 ... 76 21. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Sub

DAS Keduang ... 77 22. Sarana Perekonomian di Sub DAS Keduang Tahun 2008 ... 77 23. Luas lahan, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Bahan

Pangan di Sub DAS Keduang ... 79 24. Luas Lahan Berdasarkan Jenis Irigasi di Sub DAS Keduang

Tahun 2008 ... 79 25. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan di Wilayah Sub-DAS

Keduang Tahun 1993, 2005 dan 2008 ... 84 26. Perubahan Penggunaan Lahan dari Tiap-Tiap Jenis

Penggunaan Lahan di Sub DAS Keduang Kabupaten

Wonogiri Antara Tahun 1993 dengan 2005 ... 86 27. Perubahan Penggunaan Lahan dari Tiap-Tiap Jenis

Penggunaan Lahan di Sub DAS Keduang Kabupaten

Wonogiri Antara Tahun 2005 dengan 2008 ... 87 28. Luas Konversi Lahan Pertanian (Sawah Irigasi, Sawah

Tadah Hujan, Perkebunan/Kebun Campuran,

Tegalan/Ladang) ke Pemukiman di Sub DAS Keduang Kabupaten Wonogiri Antara Tahun 1993-2005 dan

2005-2008 ... 88 29. Faktor Erosivitas Hujan (R) di Sub DAS Keduang ... 99 30. Harkat dan Klasifikasi Nilai K ... 100 31. Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) di Sub DAS Keduang ... 101


(18)

ix

32. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) di Sub DAS Keduang 103 33. Nilai Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah (P) di Sub

DAS Keduang ... 105

34. Penghitungan Prediksi Erosi di Sub DAS Keduang dengan Metode USLE ... 106

35. Debit Bulanan Rata-rata di Sungai Keduang Tahun 1999-2008 ... 109

36. Debit Maksimum, Minimum, Curah Hujan dan Debit Aliran Sungai Keduang Tahun 1993, 2005 dan 2008 ... 110

37. Kualitas Air Sungai Keduang tahun 1993, 2005 dan 2008 ... 111

38. Hasil Analisis Tanah di Sub DAS Keduang ... 117

39. Jumlah unsur hara yang hilang tiap hektar lahan ... 118

40. Biaya Ganti Kehilangan Unsur Hara di Sub DAS Keduang ... 118

41. Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Waduk Wonogiri ... 121

42. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 serta Perkembangannya di Kabupaten Wonogiri Tahun 2004-2008 ... 123

43. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Wonogiri Tahun 2004-2008 ... 124

44. Struktur Ekonomi Kabupaten Wonogiri Tahun 2004-2008 Atas Dasar Harga Berlaku (persen) ... 125

45. PDRB Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Wonogiri Tahun 2008 (Juta Rupiah) ... 125

46. Perkiraan kehilangan kapasitas tampung (%) Waduk Serbaguna Wonogiri terhadap kapasitas awal tahun 1980 ... 141

47. Skenario Intervensi Parameter Model ... 143

48. Prediksi Luas Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian dan Luas Pemukiman Antara Tahun 2013 – 2038 ... 144


(19)

49. Prediksi Nilai Produksi Pertanian dan Nilai Sebagai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Akibat Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Antara Tahun 2013 –

2038 ... 144 50. Prediksi Besarnya Akumulasi Erosi Total, Sedimentasi dan

Nilai Ekonomi Akibat Erosi Yang Terjadi di Sub DAS

Keduang Antara Tahun 2013 – 2038 ... 145 51. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 Terhadap Luas Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian dan Luas

Pemukiman Antara Tahun 2013 - 2038 ... 146 52. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 Terhadap Nilai Produksi Pertanian dan Nilai Penyedia Lapangan Kerja

Yang Hilang Per Tahun Antara Tahun 2013 - 2038 ... 147 53, Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 dan 2 Terhadap Nilai Produksi Pertanian dan Nilai Penyedia Lapangan Kerja

Yang Hilang Tahun 2013 - 2038 ... 149 54. Prediksi Dampak Kebijakan Skenario Pesimis 3 Terhadap

Besarnya Akumulasi Erosi Total, Sedimentasi dan Nilai Ekonomi Akibat Erosi Yang Terjadi di Sub DAS Keduang

Tahun 2013 - 2038 ... 151 55. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 Terhadap Luas Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Luas

Pemukiman Tahun 2013 - 2038 ... 153 56. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 Terhadap Nilai Produksi Pertanian dan Nilai Penyedia Lapangan Kerja

Yang Hilang Per Tahun Antara Tahun 2013 – 2038 ... 154 57. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 dan 2 Terhadap Nilai Produksi Pertanian dan Nilai Penyedia Lapangan Kerja


(20)

xi

58. Prediksi Dampak Kebijakan Skenario Moderat 3 Terhadap Besarnya Erosi Total Secara Kumulatif, Sedimentasi dan Nilai Ekonomi Akibat Erosi Yang Terjadi di Sub DAS

Keduang Tahun 2013 – 2038 ... 157 59. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan dengan Skenario Optimis 1 Terhadap Luas Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Luas Pemukiman

Tahun 2013 – 2038 ... 159 60. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1 Terhadap Nilai Produksi Pertanian Nilai Penyedia Lapangan Kerja

Yang Hilang Tahun 2013 - 2038 ... 160 61, Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1 dan 2 Terhadap Nilai Produksi Pertanian dan Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Setiap Tahun Antara Tahun

2013 - 2038 ... 162 62. Prediksi Dampak Kebijakan Skenario Optimis 3 Terhadap

Besarnya Erosi Total Secara Kumulatif, Sedimentasi dan Nilai Ekonomi Akibat Erosi Yang Terjadi di Sub DAS


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Alur Pikir Penelitian ………. 11

2. Pendekatan Penelitian Dalam Melakukan Valuasi Ekonomi 12 3. Pengaruh Biaya Transport Produk dari Berbagai Lokasi ke

Pasar Terhadap Land Rent ……… 23

4. Penentuan Jenis Tanaman Berdasarkan Hubungan Land

Rentdengan Jarak dari Pusat Pasar ... 24 5. Hubungan Antara Land Rentdengan Land Use ... 29 6. Mekanisme Konversi Lahan Pertanian Akibat

Meningkatnya Permintaan Lahan Non Pertanian ... 30 7. Perbedaan Land Pricesdengan Land RentSebelum dan

Sesudah Konversi Lahan Pertanian ... 31

8. Pasar Lahan Untuk Urban Use ……….. 32

9. Nilai Ekonomi Total dari Suatu Sumberdaya Lahan

Pertanian ... 34

10. Metode Valuasi Ekonomi ………. 36

11. Peta Lokasi Sub-DAS Keduang ... 62 12. Peta Pembagian Wilayah Administrasi Sub DAS Keduang.. 62 13. Peta Jenis Tanah di Wilayah Sub-DAS Keduang ... 65 14. Peta Topografi di Wilayah Sub-DAS Keduang ... 66 15. Peta Kemiringan Lereng di Wilayah Sub-DAS Keduang .... 67 16. Peta Unit Lahan di Wilayah Sub DAS Keduang ... 71 17. Penyebaran Penggunaan Lahan di Sub DAS Keduang

Tahun 1993 ... 81 18. Penyebaran Penggunaan Lahan di Sub DAS Keduang

Tahun 2005 ... 82 19. Penyebaran Penggunaan Lahan di Sub DAS Keduang


(22)

xiv

20. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS

Keduang Tahun 1993, 2005 dan 2008 ... 85 21. Grafik Rata-rata Luas Konversi Lahan Pertanian ke Non

Pertanian Per Tahun di Sub DAS Keduang Pada Periode

Tahun 1993-2005 dan Tahun 2005-2008 ... 88 22. Diagram Alir Sub Model Konversi Lahan Pertanian Ke

Non Pertanian di Sub DAS Keduang ... 89 23. Grafik Prediksi Luas Konversi Lahan Pertanian Ke Non

Pertanian di Sub DAS Keduang selama 30 Tahun ... 90 24. Diagram Alir Model Potensi Produksi Pertanian Yang

Hilang Akibat Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian 94 25. Grafik Prediksi Potensi Produksi Pertanian Yang Hilang

Akibat Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian ... 95 26. Harga Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaan Lahan ... 96 27. Diagram Alir Model Potensi Penyedia Lapangan Kerja

Yang Hilang Akibat Konversi Lahan Pertanian Ke Non

Pertanian ... 97 28. Grafik Potensi Kesempatan Kerja Yang Hilang Akibat

Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian ... 98 29. Kondisi Waduk Ketika Musim Kemarau Tahun 2009 ... 107 30. Hasil Sedimentasi Waduk Wonogiri Tahun 2009 ... 107 31. Diagram Alir Model Prediksi Erosi dengan Metode USLE.. 108 32. Diagram Alir Model Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang

Akibat Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 113 33. Grafik Kecenderungan Nilai Produksi Pertanian Yang

Hilang Akibat Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian 114 34. Diagram Alir Model Nilai Ekonomi Penyedia Lapangan

Kerja Yang Hilang Akibat Konversi Lahan Pertanian ke

Non Pertanian ... 116 35. Diagram Alir Model Perhitungan PDRB Hijau ... 126


(23)

36. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi Lahan dengan Skenario Pesimis 1 Terhadap Luas Lahan

Pemukiman/Bangunan Tahun 2013 – 2038 ... 146 37. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 Terhadap Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang Per Tahun Antara Tahun

2013 – 2038 ... 148 38. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 Terhadap Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Per tahun Antara

Tahun 2013 – 2038 ... 148 39. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 dan 2

Terhadap Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang Per tahun

Antara Tahun 2013 – 2038 ... 150 40. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Pesimis 1 dan 2

Terhadap Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Per

Tahun Antara Tahun 2013 – 2038 ... 150 41. Prediksi Dampak Kebijakan Skenario Pesimis 3 Terhadap

Besarnya Erosi Total Secara Kumulatif Yang Terjadi di

Sub DAS Keduang Antara Tahun 2013 – 2038 152

42. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 Terhadap

Luas Lahan Pemukiman/Bangunan Tahun 2013 – 2038 ... 153 43. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 Terhadap Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang Per Tahun Antara

Tahun 2013 – 2038 ... 154 44. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 Terhadap Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Per Tahun

Antara Tahun 2013 – 2038 ... 155 45. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi

Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 dan 2

Terhadap Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang Per Tahun


(24)

xvi

46. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Moderat 1 dan 2 Terhadap Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang

Hilang Per Tahun Antara Tahun 2013 – 2038 ... 157 47. Prediksi Dampak Kebijakan Skenario Moderat 3

Terhadap Besarnya Erosi Total Secara Kumulatif Yang Terjadi di Sub DAS Keduang Antara Tahun 2013 –

2038 ... 158 48. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju

Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1 Terhadap Luas Lahan Pemukiman/Bangunan Tahun

2013 – 2038 ... 159 49. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju

Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1 Terhadap Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang Setiap

Tahun Antara Tahun 2013 – 2038 ... 161 50. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju

Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1 Terhadap Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang

Setiap Tahun Antara Tahun 2013 – 2038 ... 161 51. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju

Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1dan 2 Terhadap Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang

Tahun 2013-2038 ... 163 52. Prediksi Dampak Kebijakan Pengendalian Laju

Konversi Lahan Pertanian dengan Skenario Optimis 1 dan 2 Terhadap Nilai Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Akibat Konversi Lahan Pertanian Ke Non

Pertanian Antara Tahun 2013-2038 ... 163 53. Prediksi Dampak Kebijakan dengan Skenario Optimis 3

Terhadap Besarnya Erosi Total Secara Kumulatif Yang Terjadi di Sub DAS Keduang Antara Tahun 2013 –


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Curah hujan rerata bulanan di daerah Sub DAS Keduang

tahun 1999 s/d 2008 (dalam mm) ... 183 2. Curah hujan maksimum selama 24 jam rerata bulanan di

daerah Sub DAS Keduang tahun 1999 s/d 2008 (dalam

mm) ... 184 3. Hari hujan rerata bulanan di daerah Sub DAS Keduang

tahun 1999 s/d 2008 ... 185 4. Panjang Lereng di Sub DAS Keduang ... 186 5. Kemiringan Lereng di Sub DAS Keduang ... 187 6. Nilai Faktor C dan CP ... 188 7. Nilai Faktor P (Tindakan Konservasi Tanah) ... 189 8. Perhitungan Erosi Yang Dapat Dibiarkan (Ditoleransikan) 190 9. Analisis Biaya Ganti Tanah Akibat Erosi di Sub DAS

Keduang ... 191 10. Nilai Ekonomi Air Minum di Hulu (On-site)DAS Waduk

Keduang Kabupaten Wonogiri ... 192 11. Nilai Ekonomi Air Irigasi di Hulu (On-site)DAS Waduk

Keduang Kabupaten Wonogiri ... 193 12. Nilai Ekonomi Produksi Listrik (NEPL) ... 194 13. Nilai Ekonomi Air Minum (NEAM) ... 195 14. Nilai Ekonomi Air untuk Kebutuhan Industri (NEAKI) ... 196 15. Nilai Ekonomi Air untuk Irigasi (NEI) ... 197 16. Nilai Ekonomi Air untuk Perikanan (NEP) ... 198 17. Nilai Ekonomi Air untuk Rekreasi (NER) ... 199


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Dari sisi ekonomi lahan merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi tersebut secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian (Simatupang dan Irawan, 2003).

Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2005 telah menetapkan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), sebagai tindak lanjut dari Program Peningkatan Ketahanan Pangan yang merupakan salah satu program prioritas utama sektor pertanian. Tujuan RPPK antara lain meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun pedesaan dan melestarikan lingkungan (KKBP, 2005). Tingkat kemiskinan ditargetkan turun 16,6 % (2004) menjadi 8,2 % (2009) dan penganguran terbuka ditargetkan turun dari 9,7 % (2004) menjadi 5,1 % (2009). Selain itu telah dicanangkan juga untuk mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan dan mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian yang lain, seperti jagung (2007), kedelai (2025) dan daging (2010).

Berkaitan dengan tujuan RPPK tersebut maka berbagai upaya untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai dan gula menjadi sangat penting untuk dilakukan, agar ketahanan pangan dari komoditas-komoditas pertanian tersebut benar-benar ditunjang oleh produksi pangan dalam negeri yang kuat.


(27)

Kenyataan menunjukkan bahwa impor komoditas-komoditas tersebut, termasuk beras masih terus dilakukan karena hasil produksi dalam negeri belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dikhawatirkan volume impor komoditas-komoditas tersebut di masa yang akan datang bukannya berkurang, tetapi justru meningkat, baik karena peningkatan laju kebutuhan pangan yang lebih tinggi daripada peningkatan produksinya, maupun karena kebijakan perdagangan yang memandang impor pangan lebih efisien, karena harganya lebih murah.

Salah satu masalah yang dapat mengganggu tercapainya tujuan dari RPPK tersebut adalah semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif, baik lahan sawah maupun lahan kering karena dikonversi menjadi lahan non pertanian. Data hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan pada periode tahun 1981-1999 telah terjadi konversi lahan sawah seluas 90.417 ha/tahun. Pada periode yang sama terjadi pencetakan lahan sawah baru seluas 178.954 ha/tahun, sehingga terjadi penambahan luas lahan sawah 88.536 ha/tahun. Pada tiga tahun berikutnya (1999-2002) laju konversi lahan sawah tidak terkendali, sehingga lahan sawah mengalami penyusutan sebesar 141.286 ha/tahun. Konversi lahan sawah pada tahun-tahun tersebut mencapai 187.720 ha/tahun, sedangkan pencetakan lahan sawah baru hanya 46.434 ha/tahun. Data tersebut menunjukkan adanya percepatan laju konversi lahan sawah dan hilangnya berbagai manfaat atau fungsi lahan sawah yang sudah dikembangkan.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) sebelumnya juga menunjukkan bahwa selama tahun 1983–1993 sekitar 935.000 hektar lahan pertanian telah di konversi ke penggunaan non pertanian. Dari jumlah tersebut, 425.000 hektar diantaranya adalah lahan sawah, 510.000 hektar lainnya bukan sawah. Bila dirata-rata, maka dalam 10 tahun laju konversi lahan per tahun sekitar 40.000 hektar (Kustiwan, 1997). Tabor, et al (1998) berpendapat bahwa laju konversi lahan pertanian setiap tahun mencapai 42.500 ha untuk lahan basah/sawah dan 51.000 ha untuk lahan kering. Menurut Hafsjah (2003), laju konversi lahan pertanian potensial ke penggunaan non pertanian secara nasional mencapai sekitar 47.000 hektar per tahun dan sebagian besar terjadi di Pulau Jawa, yaitu sekitar 43.000 hektar per tahun. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun 2000-2002 luas lahan sawah yang dikonversi ke penggunaan non pertanian


(28)

3

(perumahan, kawasan industri, sarana publik, dan lain-lain) rata-rata 187,7 ribu hektar per tahun. Sedangkan luas pencetakan sawah baru jauh lebih kecil, yaitu hanya 46,4 ribu hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun (Irawan, 2008). Menurut Menteri Pertanian Suswono (2011) di Pulau Jawa saja, sudah terjadi konversi lahan sawah seluas 27.000 hektar per tahun. Apalagi dengan rencana pembangunan tol Trans Jawa setidaknya akan mengkonversi lahan pertanian sekitar 4.500 hektar.

Permasalahan konversi lahan pertanian berjalan seiring dengan perkembangan industri. Perkembangan laju pembangunan industri mempunyai implikasi terhadap sektor-sektor lainnya, antara lain membawa konsekuensi pada peningkatan konsentrasi penduduk. Adanya pemusatan penduduk akan menimbulkan konsekuensi pada penyediaan berbagai fasilitas, yang selanjutnya akan membawa konsekuensi pula terhadap penggunaan ruang atau lahan. Peningkatan kebutuhan akan ruang atau lahan untuk sektor industri dipenuhi dengan cara mengubah penggunaan lahan-lahan pertanian yang ada. Konsekuensi dari perkembangan sektor industri ditambah dengan adanya pertambahan penduduk dan perkembangan kota akan berakibat sebagian lahan produktif dikonversi ke penggunaan non pertanian (Iman dan Pribadi, 1999).

Secara teoritis fenomena ini sejalan dengan hukum ekologi Margalef yang menyatakan bahwa jika dua sistem yang berbeda tingkat perkembangannya berhubungan satu sama lain, maka sistem yang kurang berkembang (desa) akan dieksploitasi oleh sistem yang lebih berkembang (kota). Dasar dalil ini adalah barangsiapa menguasai arus informasi, baik jenisnya, besarnya dan waktunya arus itu terjadi, maka akan menguasai arus materi dan energi. Pada tingkat nasional, kota mengeksploitasi desa, termasuk lahan pertanian di desa yang dikonversi untuk penggunaan sektor industri dan jasa (Soemarwoto, 2003a).

Konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian yang terjadi saat ini juga mengundang perdebatan para pakar lingkungan dari kalangan pertanian. Sebagian pihak memandang bahwa konversi lahan pertanian merupakan suatu konsekuensi sesuai dengan teori land rent dari proses pengkotaan, sehingga apa yang terjadi saat ini tidak perlu dikuatirkan. Yang perlu dijaga adalah proses itu sendiri harus sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang. Sementara itu pihak yang lain melihat konversi yang terjadi saat ini sudah mengancam multifungsi


(29)

lahan pertanian. Konversi lahan pertanian mengancam kestabilan pasokan pangan nasional, mengingat peranan lahan pertanian sebagai pemasok pangan cukup tinggi. Selain itu, konversi lahan pertanian akan menurunkan kualitas lingkungan dan menghilangkan manfaat investasi irigasi.

Konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan, karena lahan pertanian memiliki fungsi sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Dampak negatif konversi lahan pertanian ke non pertanian yang paling sering menjadi sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan, berkurangnya lapangan kerja pertanian dan terjadinya marjinalisasi sektor pertanian. Disamping itu konversi lahan pertanian ke non pertanian juga dapat menimbulkan masalah lingkungan (Irawan, 2008).

Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja, yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan pendapatan per kapita keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat proses marjinalisasi usahatani sehingga mengurangi daya saing produk pertanian (Simatupang dan Irawan, 2003). Konversi lahan pertanian merupakan masalah strategis dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian.

Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan khususnya padi. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai multi manfaat (multifungsi). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan mencakup: (a) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya keluaran usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja), dan (b) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya(Bappenas, 2006).


(30)

5

Dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian akan semakin nyata dan kompleks apabila terjadi pada daerah aliran sungai (DAS) waduk. Konversi lahan pertanian tersebut tidak hanya akan menurunkan produksi pangan, tetapi juga akan menurunkan fungsi ekonomis waduk, sehingga bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Menurut Anwar (1995), masalah yang serius dalam pengelolaan DAS adalah konflik kepentingan antara para pengguna sumberdaya alam di dalam dan di luar sistem DAS, khususnya konflik antara upaya pelestarian sumberdaya dengan kepentingan kegiatan ekonomi wilayah yang biasanya bersifat eksploitatif, termasuk bagi kepentingan masyarakat setempat. Kepentingan-kepentingan ini biasanya tidak saling menenggang (non complementary) dalam menggunakan sumberdaya yang sama, melainkan bersifat kompetitif (competitive use).

Konversi lahan pertanian ke non pertanian lebih banyak didorong oleh orientasi ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA), tanpa memperhitungkan manfaat yang hilang atau kerugian yang mungkin terjadi akibat berkurang atau hilangnya fungsi lingkungan lahan pertanian (Irawan, 2007). Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian sangat diperlukan agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan.Hasil penelitian di Jepang (Yoshida, 2001) menunjukkan bahwa nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dapat dijadikan instrumen kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian mengenai valuasi ekonomi konversi lahan pertanian ke non pertanian untuk mendukung kebijakan pengelolaan SDA.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan dan lingkungan mempunyai hubungan timbal balik. Di dalam pembangunan, manusia merupakan konsumen yang berperan aktif dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam. Manusia sangat tergantung kepada sumberdaya alam yang kelestariannya sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan sumberdaya alam ini seharusnya disertai upaya untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan. Sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas


(31)

secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh sebab itu, hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan.

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu : tujuan sosial (sosial obejective), tujuan ekonomi (economic objective), dan tujuan ekologi (ecological objective). Dengan demikian pembangunan berkelanjutan adalah upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga aspek, yaitu : aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai sesuatu yang terkait erat dan tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan. Hal yang ingin dicapai dengan pembangunan berkelanjutan adalah menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi menjadi pembangunan yang mencakup pembangunan sosial budaya dan lingkungan hidup.

Waduk (reservoir) merupakan salah satu bentuk sumberdaya buatan atau sumber air yang secara hidrologis terletak dalam satu sistem jaringan sungai. Jenis penggunaan lahan pada DAS di bagian atas (hulu) dari suatu waduk (upland) sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air waduk. Aktivitas penggunaan lahan dalam sistem DAS yang tidak terkendali akan menimbulkan dampak penting negatif pada lingkungan fisik khususnya kualitas air dan daya tampung waduk.

DAS merupakan kesatuan ekosistem dimana jasad hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan terdapat saling ketergantungan antar komponen-komponen penyusunnya. Untuk menjamin keberlanjutan fungsi DAS tersebut, maka : (1) erosi tanah harus terkendali; (2) terjaganya kuantitas, kualitas dan kontinuitas air (water yield); dan (3) produktivitas dan daya dukung lahan yang tetap tinggi (Pawitan dan Murdiyarso, 1996).

Pengelolaan lahan di wilayah DAS bagian hulu melibatkan terjadinya beberapa proses interaksi antara sumberdaya lahan, sumberdaya air, sumberdaya manusia, teknologi dan perekonomian wilayah yang bersangkutan. Perencanaan dan pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan usaha untuk mempertahankan


(32)

7

multifungsi sumberdaya lahan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan serta kelestarian sistem tata air dari wilayah DAS yang bersangkutan.

Keberhasilan pengelolaan DAS diindikasikan dengan memperkecil fluktuasi debit dan beban sedimen sungai, terjaganya kelestarian sumber-sumber air dan produktivitas lahan. Perubahan penggunaan lahan (land use change) dalam sistem DAS akan sangat berpengaruh pada kondisi fisik DAS. Konversi lahan yang tidak terkendali akan menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan fisik DAS, sehingga secara langsung akan mempengaruhi fungsi DAS dalam menampung, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh di atasnya (recharge area). Penggunaan lahan dan konversi lahan apabila tidak diikuti upaya konservasi tanah dan air akan meningkatkan laju erosi dalam sistem DAS. Apabila sungai utama dalam wilayah DAS tersebut bermuara pada suatu waduk, maka meningkatnya laju erosi dapat berakibat meningkatnya sedimentasi waduk.

DAS Solo merupakan salah satu DAS superprioritas di Indonesia yang segera memerlukan penanganan. Kategori superprioritas ini diberikan dengan pertimbangan bahwa kondisi daerah tangkapannya sudah memprihatinkan, terutama besarnya laju erosi yang cukup tinggi serta produktivitas lahan yang dinilai semakin menurun. Kondisi demikian terjadi di sekitar wilayah hulu dan di daerah hilir. Oleh sebab itu, dibangunnya Waduk Wonogiri pada tahun 1980-an, diharapkan akan membuat hubungan yang selaras dan serasi antara waduk dengan lingkungan alami di sekitarnya.

Penelitian tentang estimasi besaran kapasitas Waduk Wonogiri oleh Nippon Koei (2001), menunjukkan bahwa pada tahun 2000 kapasitas Waduk Wonogiri pada ketiga macam tampungan yang ada telah berkurang dibandingkan dengan kapasitas awal tahun 1980. Tampungan pengendalian banjir telah kehilangan kapasitas sebesar 33%, tampungan efektif 37% dan tampungan sedimen 58%. Pada tahun 2010, berkurangnya kapasitas masing-masing tampungan tersebut diperkirakan bertambah menjadi 53% pada tampungan pengendalian banjir, 56% pada tampungan efektif dan 71% pada tampungan sedimen.

DAS Waduk Wonogiri terdiri dari 6 Sub DAS, yaitu Keduang, Wiroko, Temon, Alang Unggahan, Solo Hulu dan Wuryantoro. Salah satu Sub-DAS yang berkontribusi besar pada berkurangnya kapasitas tampungan Waduk Wonogiri adalah Sub-DAS Keduang. Sedimen yang berasal dari Sub-DAS Keduang, selain


(33)

menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan juga dapat mengganggu operasional waduk, karena muara dari Sungai Keduang berada di dekat intake (masukan) waduk.

Selain masalah erosi dan sedimentasi, konversi lahan dapat pula berpengaruh pada kuantitas dan kualitas air waduk. Dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian pada suatu DAS terhadap produksi pertanian dan kesempatan kerja dapat dikompensasi dengan pencetakan lahan pertanian baru di DAS yang lain. Namun dampaknya terhadap kondisi biofisik lingkungan DAS tersebut tidak mungkin dikompensasi melalui pencegahan konversi lahan pertanian ke non pertanian di DAS yang lain. Oleh sebab itu, permasalahan dalam pengelolaan DAS sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek, baik fisik, kimia maupun sosial ekonomi, juga melibatkan berbagai pihak dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda.

Konversi lahan pertanian ke non pertanian berarti akan terjadi perubahan dari lahan yang bervegetasi dan ada tanamannya menjadi lahan yang tidak bervegetasi dan tidak ada tanamannya, akibatnya multifungsi lahan pertanian akan hilang. Hal ini akan menimbulkan masalah sebagai berikut :

1. Peningkatan aliran permukaan dan laju erosi, yang selanjutnya akan mengakibatkan degradasi lahan dan sedimentasi pada muara sungai. Apabila muara sungai tersebut masuk ke waduk, maka peningkatan laju erosi yang terjadi akan menyebabkan sedimentasi waduk, akibat selanjutnya akan mengurangi umur penggunaan waduk;

2. Petani akan kehilangan kesempatan kerja dan sumber pendapatan. Tingkat pendidikan petani yang masih rendah dan ketrampilan yang dimiliki juga terbatas menyebabkan petani tidak mudah untuk beralih ke bidang pekerjaan lain selain bertani. Adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian akan berakibat petani kehilangan kesempatan kerja dan sumber pendapatan; dan 3. Peningkatan aliran permukaan sehingga akan mengakibatkan perubahan tata

air.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pola, laju dan neraca konversi lahan pertanian ke non pertanian di Sub DAS Keduang Kabupaten Wonogiri ?


(34)

9

2. Bagaimana dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian terhadap kualitas lingkungan DAS waduk, baik aspek ekonomi, sosial maupun fisik kimia karena hilangnya manfaat multifungsi lahan pertanian ?

3. Berapa nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang hilang akibat dari konversi lahan pertanian ke non pertanian di DAS waduk ?

4. Bagaimana kebijakan pemerintah tentang konversi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah DAS waduk ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pola, laju dan neraca konversi lahan pertanian ke non pertanian di Sub-DAS Keduang.

2. Mengetahui dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian terhadap kualitas lingkungan Sub-DAS Keduang, baik aspek ekonomi, sosial maupun fisik kimia karena hilangnya manfaat multifungsi lahan pertanian.

3. Mengetahui nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang hilang akibat dari konversi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah Sub-DAS Keduang. 4. Mengetahui kebijakan pemerintah tentang konversi lahan pertanian ke non

pertanian di wilayah DAS waduk, terutama berkaitan dengan isi kebijakan, implementasi kebijakan dan pengendalian kebijakan.

5. Menyusun arahan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS Waduk Wonogiri. 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Dari segi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis pengembangan ilmu ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya ilmu ekonomi sumberdaya lahan.

2. Dari segi pembangunan diharapkan dapat memberi masukan kepada pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS Waduk Wonogiri.

3. Dari sisi peneliti dan peminat masalah yang sama diharapkan dapat memberi informasi yang lebih luas mengenai konversi lahan pertanian ke non pertanian.


(35)

1.5. Kerangka Pemikiran

Daerah Aliran Sungai (DAS) waduk merupakan bagian wilayah yang harus dikelola secara benar. Salah satu aktivitas yang harus diperhatikan adalah terkendalinya konversi lahan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Konversi lahan yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan adalah konversi lahan pertanian dalam arti luas (kebun/perkebunan, tegalan/ladang, sawah, dan sawah tadah hujan) menjadi lahan non pertanian (bangunan/gedung atau pemukiman). Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian dapat bersifat permanen dan non permanen. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun (lahan bangunan/ gedung dan pemukiman) kebanyakan bersifat permanen. Konversi tersebut akan berdampak pada kualitas lingkungan DAS waduk, karena hilangnya manfaat multifungsi lahan pertanian.

Secara holistik, multifungsi tersebut terdiri dari tiga kategori: (1) fungsi ekonomi (penghasil produksi pertanian), (2) fungsi sosial (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja) dan (3) fungsi lingkungan (kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan dan sebagainya). Sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas (multifungsi) secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke non pertanian akan menimbulkan berbagai dampak negatif, oleh sebab itu diperlukan valuasi ekonomi agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya lahan pertanian dapat dihindarkan.

Dalam melakukan valuasi ekonomi, pendekatan valuasi ekonomi dilakukan dengan mengelompokkan multifungsi lahan pertanian tersebut dalam dua jenis : (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan mencakup: (i) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya produksi usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan dan penciptaan lapangan kerja), dan (ii) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan lain-lain.

Alur berfikir peneliti dalam mengkaji permasalahan penelitian disajikan pada Gambar 1. Pendekatan dalam melakukan valuasi ekonomi disajikan pada Gambar 2.


(36)

11

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian Lahan Pertanian

Di DAS Waduk Multifungsi

Lahan Pertanian

Fungsi Ekonomi Fungsi Lingkungan

(Biologi, Fisik, Kimia) Fungsi Sosial

Budaya

 Penghasil Produksi Pertanian

 Sumber Pendapatan Petani

 Pengendali Erosi dan Sedimentasi

 Pemelihara Tata Air

 Pengendali Banjir

 Penyejuk Udara

 Penyerap Limbah Organik

 Penyerap

Karbondioksida (CO2)

 Penghasil Oksigen (O2)

 Keanekaragaman Hayati

 Penyedia Pangan

 Penyedia Lapangan Kerja

 Pelestari Budaya Pedesaan

 Tempat Rekreasi

Sebagian Manfaat Multifungsi Lahan Pertanian Hilang Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Valuasi Ekonomi Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan DAS Waduk Kualitas Lingkungan Peningkatan Luas Lahan Non Pertanian


(37)

Gambar 2. Pendekatan Penelitian Dalam Melakukan Valuasi Ekonomi Konversi Lahan

Pertanian ke Non Pertanian

Sebagian Multifungsi Lahan

Pertanian Hilang Nilai Penggunaan

(Use Values) (Non Use Values)Nilai Bawaan

Nilai Penggunaan Langsung  Penghasil Produksi Pertanian  Sumber Pendapatan Petani

 PenyejukUdara  Penyerap Limbah

Organik  Penyerap Karbondioksida (CO2)  Penghasil Oksigen (O2)  Keanekaragaman Hayati

 Pengendali Erosi dan Sedimentasi

 Pengendali Tata Air

 Pengendali Banjir

 Pelestari Budaya Pedesaan Valuasi Ekonomi Menggunakan Harga Pasar Barang Privat

Nilai Ekonomi Total Lahan Pertanian Yang Hilang Barang Umum Valuasi Ekonomi Menggunakan Harga Non Pasar Nilai Penggunaan Tidak Langsung  Penyedia Lapangan Kerja  Penyedia Pangan  Tempat Rekreasi


(38)

13

1.6. Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan-Keterbatasan Ruang lingkup penelitian ini meliputi :

1. Kajian valuasi ekonomi konversi lahan pertanian ke non pertanian di DAS waduk, difokuskan pada valuasi ekonomi konversi lahan pertanian dalam arti luas (sawah, sawah tadah hujan, kebun/perkebunan dan tegalan/ladang) menjadi lahan non pertanian (lahan bangunan/gedung/pemukiman).

2. Valuasi ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan manfaat (benefit) dan biaya (cost). Nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang hilang merupakan biaya. Nilai manfaat lahan non pertanian merupakan benefit. Agar dapat menghitung nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang hilang maka dilakukan analisis dampak negatif dari konversi lahan pertanian ke non pertanian di DAS waduk, baik itu yang merupakan manfaat langsung (direct use value)maupun yang tidak langsung (indirect use value). 3. Kajian terhadap kebijakan pemerintah baik pusat, propinsi maupun kabupaten

berkaitan dengan konversi lahan pertanian ke non pertanian di DAS waduk. Kajian difokuskan pada isi kebijakan, implementasi dan pengendalian kebijakan.

Adapun keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini adalah :

1. Konversi lahan pertanian yang menjadi obyek penelitian ini adalah konversi lahan pertanian dalam arti luas (sawah, sawah tadah hujan, kebun/perkebunan dan tegalan/ladang) menjadi lahan non pertanian (lahan bangunan/gedung/ pemukiman).

2. Multifungsi lahan pertanian yang dinilai terbatas pada fungsi ekonomi (penghasil produksi pertanian), fungsi sosial (penyedia lapangan kerja), dan fungsi lingkungan fisik dan kimia (pencegah erosi dan sedimentasi, pemelihara tata air, baik kuantitas maupun kualitas). Manfaat lahan non pertanian yang dinilai terbatas pada peningkatan harga lahan non pertanian. 3. Berkurangnya eksternalitas negatif dari lahan pertanian (misalnya

pencemaran lahan pertanian oleh pupuk kimia dan obat-obatan) belum diperhitungkan dalam penelitian ini.


(39)

4. Kebijakan-kebijakan yang akan dianalisis meliputi Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati dan Peraturan-Peraturan Daerah Propinsi serta Kabupaten. 1.7. Kebaruan (Novelty)

Dalam penelitian ini unsur kebaruan (novelty)mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Valuasi ekonomi konversi lahan pertanian ke non pertanian dilakukan dengan

menggunakan pendekatan biaya manfaat (benefit cost analysis) dari multifungsi lahan pertanian, baik itu fungsi ekonomi, sosial dan biofisik lingkungan.

2. Mengkaitkan nilai manfaat multifungsi (jasa lingkungan) lahan pertanian yang hilang dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian untuk menghasilkan PDRB yang berbasis pada lingkungan, yang dikenal dengan PDRB Hijau.

3. Menyusun arahan kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan DAS Waduk berbasiskan pada rancang bangun model konversi lahan pertanian ke non pertanian.


(40)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Lahan, Penggunaan Lahan dan Konversi Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, topografi/relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2003).

Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2003). Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik secara permanen atau siklus terhadap suatu kumpulan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan baik kebendaan maupun spiritual atau kedua-duanya (LUCC, 2002). Penggunaan lahan adalah semua jenis penggunaan untuk pertanian, lapangan olah raga, rumah mukim hingga rumah sakit dan kuburan.

Dari pengertian penggunaan lahan yang dikemukakan di atas dapat disederhanakan seperti yang dikemukakan oleh Tyrrell et al. (2004) yaitu penggunaan lahan adalah bentuk penggunaan oleh manusia terhadap lahan termasuk keadaan yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Penggunaan lahan merupakan hasil dari usaha manusia yang sifatnya terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya terhadap sumberdaya lahan yang tersedia (Sitorus, 1989).

Pengertian-pengertian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan berhubungan erat dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan. Penggunaan lahan sifatnya dinamis, mengikuti perkembangan kehidupan manusia dan budayanya.

Pengelolaan sumberdaya lahan secara garis besar mempunyai dua tujuan, yaitu : (1) tujuan fisik dan (2) tujuan ekonomi. Tujuan fisik adalah tujuan yang dinyatakan atau diukur dalam satuan-satuan fisik, yang dapat dinyatakan dalam satuan-satuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh. Tujuan ekonomi dinyatakan atau diukur dalam terminologi-terminologi ekonomi, seperti


(41)

pendapatan bersih maksimum (Sitorus, 2003). Pada umumnya kedua tujuan tersebut compatible artinya kedua tujuan tersebut sejalan atau dicapai secara bersama-sama. Akan tetapi bisa juga kedua tujuan tersebut tidak sejalan (incompatible).

Tata guna lahan terjadi dari (1) tata guna, yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan, dan (2) lahan, yang berarti ruang (permukaan tanah serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), yang merupakan sumberdaya alam serta memerlukan dukungan berbagai unsure alam yang lain (Jayadinata, 1992). Tata guna lahan dapat ditinjau menurut suatu wilayah (regional land use)secara keseluruhan. Karena wilayah terdiri atas pedesaan dan perkotaan, maka tata guna lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) tata guna lahan pedesaan (rural land use) dan (2) tata guna lahan perkotaan (urban land use).

Masyarakat menghadapi beberapa tantangan khusus dalam mengelola sumberdaya lahan. Lahan sebagai tempat bagi pertumbuhan tanaman atau tumbuh-tumbuhan maupun kehidupan hewan, bagi aliran air, bangunan, transportasi dan sebagainya. Dengan banyaknya macam penggunaan lahan ini, maka dengan digunakannya sebidang lahan akan mempengaruhi penggunaan yang lain yang sifatnya potensial.

Penggunaan lahan untuk kehidupan perkotaan dengan bangunan-bangunannya, untuk tempat tinggal, industri, jalur-jalur transportasi, taman-taman dan sebagainya, akan mengurangi tersedianya lahan untuk kegiatan pertanian dan lapangan terbuka. Untuk mengubah lahan pertanian menjadi lahan untuk perkotaan tidaklah begitu mahal daripada sebaliknya. Karena mengubah lahan perkotaan untuk pertanian berarti harus menghancurkan investasi kapital yang sangat besar (Sitorus, 2003). Oleh karena itu, keputusan untuk mengubah lahan pertanian menjadi lahan non pertanian adalah keputusan yang berdampak tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula, karena biayanya akan sangat besar.

Jika suatu wilayah diamati dalam suatu periode waktu tertentu maka akan dijumpai suatu perubahan penggunaan lahan, yang sering juga disebut sebagai konversi lahan. Konversi lahan dapat dibedakan atas dua, yaitu yang bersifat musiman dan yang permanen.


(42)

17

Konversi lahan yang bersifat musiman yaitu perubahan penggunaan lahan dalam waktu satu tahun terjadi perubahan penggunaan lahan dua kali atau lebih yang disebabkan karena menyesuaikan faktor musim. Penggunaan lahan musiman biasa terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan yang juga sering disebut rotasi tanaman. Sebagai contoh, lahan sawah pada musim penghujan digunakan untuk tanaman padi sawah dan pada musim kemarau untuk tanaman palawija. Konversi lahan musiman ini tidak hanya karena faktor musim saja, tetapi faktor kehendak manusia juga akan menentukan.

Konversi lahan yang bersifat permanen, yaitu perubahan penggunaan lahan dalam periode waktu yang relatif lama. Konversi lahan yang bersifat permanen ini dapat disebabkan karena faktor perubahan alam, atau karena faktor kehendak manusianya sendiri.

2.2. Multifungsi Lahan Pertanian

Istilah "multifungsi" pertanian mulai muncul di dunia internasional pada awal tahun 1992, di Rio Earth Summit(De Vries, 2000).Istilah "Multifungsi Pertanian" telah dengan cepat berkembang untuk digunakan dalam diskusi mengenai masalah lingkungan, pertanian dan perdagangan internasional, Pendukung multifungsi di bidang pertanian umumnya menunjukkan manfaat lain selain penghasil pangan atau serat yang bisa berasal dari pertanian, manfaat tersebut sering kurang/tidak dihargai di pasar dan jenisnya bervariasi yang sangat tergantung pada kondisi pertanian itu sendiri. Manfaat ini biasanya mencakup kontribusi terhadap kepentingan masyarakat pedesaan (melalui pemeliharaan pertanian keluarga, kesempatan kerja di pedesaan dan warisan budaya), biologis, keanekaragaman, rekreasi dan pariwisata, kesehatan air tanah, bioenergi, lansekap, pangan yang berkualitas dan aman, serta habitat bagi hewan-hewan tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian sangat diperlukan agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan (Bappenas, 2006).

Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan, khususnya padi dan palawija. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai manfaat ganda (multifungsi) (Irawan,


(43)

2005). Berbagai klasifikasi manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dari keberadaan lahan pertanian dapat dilihat pada Callaghan (1992), Munasinghe (1992), Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian. Manfaat bawaan dapat pula disebut sebagai intrinsic values, yaitu berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan pertanian. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya.

Nilai penggunaan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu manfaat langsung (direct use values) dan manfaat tidak langsung (indirect use values). Manfaat langsung mencakup dua jenis manfaat, yaitu : (1) Manfaat yang nilainya dapat diukur dengan harga pasar atau marketed output, yaitu berbagai jenis barang yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga output, misalnya berbagai produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis manfaat ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh secara legal hanya dapat dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat diukur dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan tetapi dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas, misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan (Irawan, 2005).

Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) menguraikan bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan memberikan lima jenis manfaat, yaitu : kontribusinya dalam mencegah banjir, pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Seluruh jenis manfaat dapat dinikmati oleh masyarakat umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena masalah lingkungan yang ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah.

Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang multifungsi pertanian masih rendah, terbukti dari hasil penelitian Irawan et al. (2002) di DAS Citarum (Jawa


(44)

19

jenis fungsi lahan pertanian, yaitu: (1) penghasil produk pertanian, (2) pemelihara pasokan air tanah, (3) pengendali banjir, dan (4) penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi manusia jauh lebih banyak, seperti dirumuskan oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/OECD (2003) dan International Assesment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development/IAASTD (2008), yaitu: penghasil produk pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Lebih jauh di Korea Selatan, Eom dan Kang dalamAgus dan Husen (2005) mengidentifikasi 30 jenis fungsi lahan pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan perlu terus dilestarikan.

Pandangan masyarakat umum yang kurang benar terhadap lahan pertanian seperti tersebut di atas merupakan salah satu sebab rendahnya penghargaan terhadap lahan pertanian. Lebih jauh lagi, hal tersebut menyebabkan pandangan terhadap konversi lahan pertanian pun kurang proporsional. Masyarakat menganggap konversi lahan pertanian sebagai hal yang biasa, bukan sebagai proses hilangnya multifungsi lahan pertanian. Hal lain yang mendorong konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan yang memerlukan pendapatan segera untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, serta pemikiran tentang fungsi lahan pertanian hanya dalam jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit. Selain itu, terdapat faktor eksternal yang mendorong percepatan proses konversi tersebut yaitu gencarnya pembangunan sektor nonpertanian dalam memperoleh lahan yang siap pakai, terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas. Kebutuhan tersebut pada umumnya dapat terpenuhi oleh lahan pertanian beririgasi.

Isu multifungsi pertanian sudah mulai banyak diperhatikan dan dibicarakan di Indonesia, namun masih terbatas sebagai wacana di kalangan terbatas, seperti para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. Tampaknya para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah belum banyak mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan pembangunan. Demikian juga masyarakat umum masih kurang peduli


(45)

bahan pertimbangan dalam menilai lahan pertanian. Ke depan, masih perlu advokasi lebih lanjut tentang pentingnya multifungsi tersebut dalam kehidupan, karena tidak bijaksana apabila mengabaikannya. Dari sudut penelitian, perlu diteliti berbagai jenis fungsi yang dimiliki berbagai tipe lahan pertanian seperti sawah irigasi dan tadah hujan, pertanian tanaman pangan lahan kering, pertanian rawa, dan perkebunan.

Metode yang konvensional dalam menilai fungsi lahan pertanian adalah dengan mengukur hasil gabah dan serat (jerami) yang dihasilkannya untuk satu satuan luas dan satuan waktu tertentu. Akan tetapi selain berfungsi sebagai penghasil gabah dan serat yang mudah dikenali (tangible) tersebut, lahan sawah mempunyai fungsi yang lebih luas, diantaranya menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis daerah aliran sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan (rural amenity), dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan. Fungsi selain penghasil gabah dan serat ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan pada umumnya tidak mudah dikenali (intangible). Penilaiannya biasa dilakukan dengan metode kualitatif dan metode valuasi ekonomi tidak langsung (indirect valuation methods)seperti replacement cost method(RCM), contingent valuation method (CVM), dan travel cost method(TCM). Dengan RCM, fungsi lahan pertanian dinilai berdasarkan biaya pembuatan alat dan sarana untuk mngembalikan suatu fungsi pertanian. Misalnya, fungsi lahan sawah sebagai pengendali banjir ditaksir dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan dam pengendali banjir. CVM adalah penilaian kesediaan masyarakat menyumbang untuk mempertahankan atau mengembalikan berbagai fungsi lahan pertanian. TCM adalah penilaian biaya transport dan akomodasi yang dikeluarkan untuk suatu objek agrowisata (Aguset al., 2004).

2.3. Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan

Dalam ekonomi sumberdaya lahan dikenal istilah rent. Pada suatu bidang lahan sekurang-kurangnya terdapat 4 jenis rent, yaitu : (1) Richardian Rent; yang menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan; (2) Locational Rent; yang menyangkut fungsi aksesibilitas lahan; (3) Ecological Rent; yang menyangkut fungsi ekologi lahan; dan (4) Sociological Rent; yang menyangkut fungsi sosial dari lahan (Nasoetion dan Rustiadi, 1990).


(46)

21

Sewa lahan merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan (Suparmoko, 1997), yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Sewa (contract rent),adalah pembayaran dari penyewa kepada pemilik lahan, dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.

b. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent), merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga inputlahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.

Contract rent dan land rent, merupakan dua konsep sewa penting yang digunakan dalam ekonomi sumberdaya lahan. Kedua konsep tersebut hanya berbeda dalam satu hal, yaitu pada contract rent termasuk pembayaran yang sebenarnya kepada pemilik lahan. Pembayaran ini dapat lebih tinggi dan dapat juga lebih rendah dari surplus pendapatan (land rent) yang seharusnya diterima oleh pemilik. Kekurangan maupun kelebihan dari surplus pendapatan merupakan hak dari penyewa. Dalam pembahasan mengenai sewa lahan, maka konsep kedua (land rent)yang lebih penting.

Teori sewa lahan model klasik yang banyak digunakan adalah konsep sewa yang dikemukakan oleh David Ricardo dan Von Thunen (Ritson, 1978). Ricardo menguraikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam kesuburan tanah, terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Sewa lahan akan meningkat apabila lahan semakin subur. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya tingkat kesuburan tanah maka produksi yang dihasilkan juga akan meningkat. Pendapat Ricardo dirumuskan sebagai berikut (Randall, 1987) :

Qi = ai f(L,h,F) ………...… (1)

dimana :

Qi = produksi tanaman i

ai = proporsi tanaman i pada suatu areal

L = jumlah tenaga kerja h = luas lahan

F = tingkat kesuburan

Untuk satu satuan luas lahan, misal satu hektar (h = 1), maka tingkat produksi tanaman i adalah :


(1)

GLOSARIUM

C = Faktor Vegetasi Penutup dan Pengelolaan Tanaman CVM = Contingent Valuation Method

DAS = Daerah Aliran Sungai Da = Demand of Agriculture Use Df = Demand of Forestry Use Du = Demand of Urban Use DUV = Direct Use Value

ETol = Erosi Yang Dapat Ditoleransikan EV = Existence Value

FKLP = Fraksi Laju Konversi Lahan Pertanian

GNRHL = Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Harga_PKC = Harga Produk Pertanian yang Dihasilkan dari Lahan Perkebunan/ Kebun Campuran

Harga_TL = Harga Produk Pertanian yang Dihasilkan dari Lahan Tegalan/ Ladang

HKP = Hari Kerja Pria

HKP_Jagung = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Jagung per Musim Tanam HKP_Mete = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Mete per Tahun

HKP_Padi = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi per Musim Tanam HKP_Padi_Gogo = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi Gogo per

Musim Tanam

HKP_PKC_Hilang = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Perkebunan/Kebun Campuran Yang Hilang

HKP_SI_Hilang = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Sawah Irigasi Yang Hilang

HKP_Singkong = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Singkong Per Musim Tanam

HKP_STH_Hilang = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Sawah Tadah Hujan Yang Hilang


(2)

HKP_TL_Hilang = Jumlah Tenaga Kerja Pada Usahatani Tegalan/Ladang Yang Hilang

HPM = Hedonic Pricing Method HSB = Hutan/Semak Belukar

IAASTD = International Assesment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development

IUV = Indirect Use Value

JICA = Japan International Cooperation Agency

Jumlah_HKP_Hilang = Jumlah Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang K = Faktor Erodibilitas Tanah

KKBP = Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian L = Faktor Panjang Lereng

Laju_HKP_Hilang = Laju Penyedia Lapangan Kerja Yang Hilang Laju_KLP = Laju Konversi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Laju_Nilai_PP_Hilang = Laju Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang

Laju_Nina_Hilang = Laju Nilai Penyedia Lapangan Pekerjaan Yang Hilang Laju_PP_Hilang = Laju Produksi Pertanian Yang Hilang

L_HSB = Proporsi Luas Hutan/Semak Belukar L_PB = Proporsi Luas Pemukiman/Bangunan

L_PKC = Proporsi Luas Perkebunan/Kebun Campuran L_PL = Proporsi Luas Penggunaan Lain

L_SI = Proporsi Luas Sawah Irigasi L_STH = Proporsi Luas Sawah Tadah Hujan

L_TL_TBJ = Proporsi Luas Tegalan/Ladang dengan Teras Bangku Kondisi Jelek L_TL_TBS= Proporsi Luas Tegalan/Ladang dengan Teras Bangku Kondisi

Sedang

L_TL_TG = Proporsi Luas Tegalan/Ladang dengan Teras Gulud L_TL_TnT = Proporsi Luas Tegalan/Ladang yang Tanpa Teras

L_TL_TT = Proporsi Luas Tegalan/Ladang dengan Teras Tradisional Luas_Konversi_LP = Luas Konversi Lahan Pertanian

LUCC = Land Use and Land Cover Change

Naker_PKC= Jumlah Tenaga Kerja pada Usahatani di Lahan Perkebunan/Kebun Campuran


(3)

Nilai_Naker_Hilang = Nilai Lahan Pertanian Sebagai Penyedia Lapangan Pekerjaan Yang Hilang

Nilai_PKC = Nilai Produksi Pertanian Lahan Perkebunan/Kebun Campuran Nilai_PKC_Hilang = Nilai Produksi Pertanian dari Lahan Perkebunan/Kebun

Campuran Yang Hilang

Nilai_PP_Hilang = Nilai Produksi Pertanian Yang Hilang

Nilai_SI = Nilai Produksi Pertanian yang Dihasilkan Sawah Irigasi

Nilai_SI_Hilang = Nilai Produksi Pertanian dari Sawah Irigasi Yang Hilang Nilai_STH = Nilai Produksi Pertanian yang Dihasilkan Sawah Tadah Hujan Nilai_STH_Hilang = Nilai Produksi Pertanian dari Sawah Tadah Hujan Yang

Hilang

Nilai_TL = Nilai Produksi Pertanian yang Dihasilkan Lahan Tegalan/ Ladang

Nilai_TL_Hilang = Nilai Produksi Pertanian dari Tegalan/Ladang Yang Hilang

Nina_PKC_Hilang = Nilai Tenaga Kerja dari Perkebunan/Kebun Campuran Yang Hilang

Nina_SI_Hilang = Nilai Tenaga Kerja dari Sawah Irigasi Yang Hilang Nina_STH_Hilang = Nilai Tenaga Kerja dari Sawah Tadah Hujan Yang Hilang Nina_TL_Hilang = Nilai Tenaga Kerja dari Tegalan/Ladang Yang Hilang NP_HSB = Prakiraan Nilai P Lahan Hutan/Semak Belukar

NP_PB = Prakiraan Nilai P Lahan Pemukiman/Bangunan

NP_PKC = Prakiraan Nilai P Lahan Perkebunan/Kebun Campuran NP_PL = Prakiraan Nilai P Lahan dengan Penggunaan Lain NP_SI = Prakiraan Nilai P Lahan Sawah Irigasi

NP_STH = Prakiraan Nilai P Lahan Sawah Tadah Hujan

NP_TL_TBJ = Prakiraan Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Bangku Kondisi Jelek

NP_TL_TBS = Prakiraan Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Bangku Kondisi Sedang

NP_TL_TG= Prakiraan Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Gulud NP_TL_TnT = Prakiraan Nilai P Lahan Tegalan/Ladang yang Tanpa Teras


(4)

NUV = Non Use Value

OECD = Organisation of Economic Cooperation and Development OV = Option Value

P = Nilai Faktor Tindakan-Tindakan Khusus Konservasi Tanah P_HSB = Proporsi Nilai P Lahan Hutan/Semak Belukar

P_PB = Proporsi Nilai P Lahan Pemukiman/Bangunan

P_PKC = Proporsi Nilai P Lahan Perkebunan/Kebun Campuran P_PL = Proporsi Nilai P Lahan Penggunaan Lain

P_SI = Proporsi Nilai P Lahan Sawah Irigasi P_STH = Proporsi Nilai P Lahan Sawah Tadah Hujan P_TL = Proporsi Nilai P Lahan Tegalan/Ladang

P_TL_TBJ = Proporsi Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Bangku Kondisi Jelek

P_TL_TBS= Proporsi Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Bangku Kondisi Sedang

P_TL_TG = Proporsi Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Gulud P_TL_TnT = Proporsi Nilai P Lahan Tegalan/Ladang yang Tanpa Teras

P_TL_TT = Proporsi Nilai P Lahan Tegalan/Ladang dengan Teras Tradisional PB = Pemukiman/Bangunan

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto PKC = Perkebunan/Kebun Campuran PL = Penggunaan Lain

PPLH = Pusat Penelitian Lingkungan Hidup

Prodsi_PKC_Hilang = Produksi dari Lahan Perkebunan/Kebun Campuran Yang Hilang

Prodsi_PP_Hilang = Produksi Pertanian Yang Hilang

Prodsi_SI_Hilang = Produksi dari Sawah Irigasi Yang Hilang Prodsi_STH_Hilang = Produksi dari Sawah Tadah Hujan Yang Hilang Prodsi_TL_Hilang = Produksi dari Tegalan/Ladang Yang Hilang

Produktivitas_PKC = Produktivitas Lahan Perkebunan/Kebun Campuran Produktivitas_TL = Produktivitas Lahan Tegalan/Ladang

R = Faktor Erosivitas Hujan RCM = Replacement Cost Method


(5)

RPPK = Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan S = Faktor Kecuraman Lereng

SDA = Sumberdaya Alam SDR = Sediment Delivery Ratio SI = Sawah Irigasi

STH = Sawah Tadah Hujan TCM = Travel Cost Method TEV = Total Economic Value TL = Tegalan/Ladang

UNS = Universitas Sebelas Maret USLE = Universal Soil Loss Equation UV = Use Value

WTA = Willingness To Accept WTP = Willingness To Pay


(6)

Dokumen yang terkait

GEOSPATIAL ANALYSIS OF LAND USE AND LAND COVER CHANGE FOR DISCHARGE AT WAY KUALAGARUNTANG WATERSHED IN BANDAR LAMPUNG

2 19 85

Identification of Critical Land Using Geographic Information System : A Case Study in Poleang Langkowala Sub-Watershed Southeast Sulawesi Province

0 11 83

Modeling of Flood for Land Use Management (Case Study of Ciliwung Watershed)

1 8 166

Economic valuation of land use changes in Wonogiri Watershed (case study at Keduang Sub-Watershed, Wonogiri Regency)

0 14 428

Formulir Validasi (Land use/land cover change detection in an urban watershed:a case study of upper Citarum Watershed, West Java Province, Indonesia)

0 3 3

Prediction of The Erosion and Sedimentation Rate Using SWAT Model in Keduang Sub-Watershed Wonogiri Regency

0 2 10

Fighting Through Community Participation Based on Vegetative Conservation Approach of Wonogiri Reservoir Sedimentation in Sub - Watershed of Keduang.

0 0 11

Evaluation Of Land Suitability For Jati Trees (Tectona grandhis L. F) In Watershed At 2011 (Study of implementation one milion planting program in wonogiri regency at 2009) | Romadlon | Pendidikan Geografi 2304 9895 1 PB

0 0 8

ARAHAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN EROSI DAN SEDIMENTASI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI KEDUANG KABUPATEN WONOGIRI (The Policy Direction for Controlling of Erosion and Sedimentation at Keduang Sub-Watershed in Wonogiri Regency)

0 0 14

SIMULASI PENGARUH TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT BANJIR DI DAS KEDUANG ( Simulated Effects Of Land Use Against Flood Discharge In Keduang Watershed

1 1 11