Untuk menjalankan langkah taktis berbagai stakeholder perlu dilibatkan. Para stakeholder memiliki peran yang berbeda dalam setiap langkah taktis.
Identifikasi dan peran stakeholder dirangkum dalam Tabel 8.2.
Tabel 8.2. Stakeholder terkait dalam opsi pengelolaan SSE ekosistem lamun
No Langkah Taktis
Stakeholder terkait
1 Revitalisasi perdes
Dinas Kelautan dan Perikanan: -
Memberikan sosialisasi kepada stakeholder terkait dengan kawasan konservasi dan perdes
pengelolaan padang lamun RRI:
- Bersama DKP Memberikan sosialisasi kepada
stakeholder terkait dengan kawasan konservasi dan perdes pengelolaan padang lamun
Kepala Desa dan Aparat Desa: -
Bersama DKP Memberikan sosialisasi kepada stakeholder terkait dengan kawasan konservasi
dan perdes pengelolaan padang lamun 2
Memberikan mata pencaharian alternatif ke arah wisata:
- pemandu wisata - penyedia perahu sewa
- memasok bahan baku untuk resort
- homestay Dinas Pariwisata dan Kebudayaan:
- Memberikan pelatihan kepada masyarakat
Pengelola Resort: -
Bersama Disparbud memberikan pelatihan kepada msyarakat tentang standar pelayanan
wisata. Dinas Sosial:
- Memberikan bantuan dana melalui KUBE
kelompok usaha bersama ekonomi DKP:
- Melakukan sinkronisasi program agar sejalan
dengan langkah taktis 3
Perbaikan mutu produk olahan:
- Kerupuk - Bakso
- Otak-otak - Cindera mata
Disperindakop: -
Memberikan pelatihan kepada masyarakat Dinas Kesehatan:
- Memfasilitasi PIRT
Majelis Ulama Indonesia: -
memberikan serfitikat „Halal‟ Swasta :
- Bersama Disperindagkop memberikan arahan
tentang standar produk yang dapat diterima untuk dipasarkan
4 Diversifikasi sarana
penangkapan dan sistem buka tutup-kawasan ekosistem
lamun Dinas Kelautan dan Perikanan:
- Memberikan bantuan kepada nelayan
tradisional Bank Daerah:
- Bersama instansi terkait memberikan pinjaman
lunak tanpa agunan kepada nelayan tradisional Dinas Sosial:
- Menyalurkan dana bantuan melalui KUBE
untuk mendukung langkah taktis ini
Jika keempat opsi pengelolaan ekosistem lamun diatas dijalankan dengan baik dan benar, maka kesemuanya akan mendukung kegiatan wisata di pesisir Timur
Kabupaten Bintan. Secara skematis dituangkan dalam Gambar 8.3.
Revitalisasi kawasan
konservasi Mata pencaharian
alternatif Perbaikan mutu
produk Hasil
tangkapan stabil
- Pemandu wisata
- Penyedia kapal
- Pemasok bahan baku
- Bakso - Otak-otak
- Kerupuk - Cindera
mata
- Ekosistem lamun terjaga
- Wisata berkembang
Masyarakat sejahtera
Diversifikasi sarana
penangkapan dan sistem buka-tutup
kawasan
Gambar 8.3. Hasil yang diharapkan dari opsi pengelolaan
9. SIMPULAN DAN SARAN
9.1. Simpulan 1. Identifikasi komponen sistem sosial-ekologis SSE ekosistem lamun di
Kabupaten Bintan menyimpulkan: Energi yang tersedia dalam ekosistem lamun berbeda menurut musim,
mengalami defisit sebesar 7.29 pada musim Utara. Dalam kaitannya dengan jasa ekosistem lamun, peran supporting dan regulating services
dalam kondisi baik pada kedua musim, sedangkan provisioning services berkurang di musim Utara;
Keseimbangan jasa ekosistem lamun memperlihatkan: a Surplus jasa pengaturan pada tipe habitat pelindung pantai, mempertahankan pH air
laut, pemerangkap sedimen, penjaga kejernihan air dan penstabil substrat dan pada morfologi reef crest; b Surplus jasa persediaan pada tipe
habitat sumber ikan hias, obat, pupuk, bioprospecting, mencari kuda laut, mencari rengkam. Defisit jasa persediaan pada tipe habitat tempat
meletakkan bubu ikan, bubu ketam, jaring ikan, jaring ketam, mencari kerang-kerangan, mencari teripang. Defisit pada morfologi ekosistem
lamun cekungan, kaloran, reef crest; c Surplus jasa budaya tipe habitat hamparan lamun sebagai nilai intrinsik dari biodiversitas. Defisit jasa
budaya pada tipe habitat dengan rekreasi dan nilai estetika;
Pemanfaatan ekosistem lamun di Desa Teluk Bakau, Malang Rapat, Berakit dan Pengudang memiliki pola pemanfaatan ekosistem lamun yang
serupa, ekosistem lamun menjadi sumber pendapatan mata pencaharian, ketergantungan nelayan tradisional dengan tauke di dalam desa dan pasar
di Tanjungpinang tinggi.
2. Ketergantungankonektivitas nelayan tradisional dengan ekosistem lamun sangat kuat, pada musim Timur 77.15 dan musim Utara 84.49. Aktifitas
penangkapan tetap dilakukan baik pada musim Timur atau Utara, terlihat dari nilai efisiensi masing-masing sebesar 77.74 dan 79.68.
3. Sistem SSE ekosistem lamun tidak berkelanjutan ESI 1, hasil yang diperoleh dari ekosistem lamun tidak memberikan nilai ekonomi bagi nelayan
tradisional dan menimbulkan tekanan terhadap ekosistem lamun. 4. Opsi pengelolaan yang dapat dilakukan segera adalah diversifikasi sarana
penangkapan dan sistem buka-tutup kawasan ekosistem lamun, memberikan mata pencaharian alternatif, perbaikan mutu produk dan revitalisasi peraturan
desa tentang pengelolaan ekosistem lamun,
.
9.2. Saran
Penelitian ini perlu dibuktikan dengan mengimplementasikan langkah taktis, oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan penelitian aplikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2009. Pendekatan Social-Ecological Syatem SES dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun Berkelanjutan. Dalam Prosiding Lokakarya
Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun Hutomo M, Bengen, .G, Kuriandewa, T. Taurusman, A.A dan Haryani, E,B, eds.. Jakarta, 18
November 2009: 187- 200.
Adrianto, L. 2012. Ecological Footprint Aplikasinya dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
. MSP Publication Series No. 02. Adrianto, L dan T. Kusumastanto. 2013. Pemodelan valuasi keterkaitan padang
lamun dengan perikanan: Studi kasus Pulau Bintan, Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Laporan Kemajuan Penelitian Unggulan sesuai
Mandat Pusat. IPB. 57 hal.
Allen, G. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. A Field Guide for Anglers and Drivers.
Periplus Edition HK Ltd. Singapore. 292 p. Anderies, J. M., M. A. Janssen, and E. Ostrom. 2004. A framework to analyze the
robustness of social-ecological systems from an institutional perspective. Ecology
and Society
9 1:
18. [online]
URL: http:www.ecologyandsociety.orgvol9iss1art18
Anggraini, F., L. Adrianto, R. Kurnia and H. Malikusworo. 2015. Seagrass ecosystem and small scale fisheries connecitvity. Paper presented on SCESAP
Biodiversity Symposium, Bangkok 3-7 Juli 2015: 8p. Anonim. 2009a. Riset Untuk Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumberdaya
Lamun dan Ekosistem Terkait di Wilayah Pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Anonim. 2009b. Guidebook. Spesies-Spesies Ikan yang Dilindungi dan Masuk dalam Appendiks CITES
. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan RI.Jakarta. 74 hal Anonim. 2010. Penelitian Potensi Ekosistem Penting dan Kondisi Hidrologisnya
di wilayah Bintan Bagian Timur. Laporan Pendahuluan. Bappeda Kabupaten Bintan.
Anonim. 2012. Bintan dalam Angka 2011. Bappeda kabupaten Bintan. 377 hal. Anonim. 2013. Profil Desa Malang Rapat
Anonim. 2014a. Kecamatan Gunung Kijang dalam Angka. BPS Kabupaten
Bintan Anonim. 2014b. Kecamatan Teluk Sebong dalam Angka. BPS Kabupaten
Bintan. Anonim. 2014c. Monografi Desa Teluk Bakau.
Anonim. 2014d. Monografi Desa Pengudang Arbi, U.Y. 2011. Struktur komunitas moluska di padang lamun kepulauan Kei
Kecil, Maluku Tenggara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 371: 71- 89.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. Penilaian beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi. Standar Nasional Indonesia
7269:2009.
Basha, S.F. and C. Muthukumar. 2014. Prelimanary phytochemical screening and invitro angiotension activity of bioactive compound-steroid isolated from
Sargassum ilicifolium . International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences 62: 299-301.
Berkstrom, C., T.L. Jorgensen and M. Hellstrom. 2013. Ecological connectivity and niche differentiation between two closely related fish species in the
mangrove-seagrass-coral continuum. Mar Ecol Prog Ser 477: 201-215. BMKG. 2015. Data kecepatan angin dan lama penyinaran matahari Kabupaten
Bintan tahun 2014-2015. Brown M.T and E. Bardi 2001. Handbook of Emergy Evaluation. A compendium
of data for emergy computation issued in a series of folios. Folio 3. Center for Environmental Policy Environmental Engineering Sciences University of
Florida Gainesville. 94p.
Brown, M.T., and S. Ulgiati. 2004. Energy quality, emergy, and transformity: H.T. Odum‟s contributions to quantifying and understanding systems.
Ecological Modelling 178: 201-213.
Burkhard, B., I. Petrosillo and R. Costanza. 2010. Ecosystem services – bridging
ecology, economy and social sciences. Ecological Complexity 7: 257-259. Burkhard, B., F. Kroll., S. Nedkov and F. Müller. 2012. Mapping ecosystem
service supply, demand and budgets. Ecological Indicators
21: 17 –29
Byron, C., D. Bengtson, B., Costa-Pierce and J. Calanni. 2011. Integrating science into management: Ecological carrying capacity of bivalve shellfish
aquaculture. Marine Policy. 35: 363-370 Cabaco, S., R. Machas, V. Vieira and R. Santos. 2008. Impacts urban wastewater
discharge on seagrass meadow Zostera noltii. Estuarine, Coastal and Shelf Science
78: 1-13. Camanho, A.S., Hora, J., Gaspar, M.B., and Oliviera, M.M. 2010. A
bibliographic survey of applications of the DPSIR Framework to coastal zones
. FEUPIPIMAR Report of Project PRESPO. 19 p Carr, E.R, P.M. Wingard, S.C Yorty, C. Thompson, N.K. Jensen and J. Roberson.
2007. Applying DPSIR to sustainable development. International Journal of Sustainable Development dan World Ecology
14: 543-555. Chiu, Shih-Han, Yen-Hsun Huang and Hsing-Juh Lin. 2013. Carbon budget of
leaves of the tropical intertidal seagrass Thalassia hemprichii. Estuarine, Coastal and Self Science
125: 27-35. Chua, Thi-Eng. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management:
Practical Applications in the Sustainable Coastal Development in East Asia. GEFUNDPIMO Regional Programme on Buldings Partnerships in
Environmental Management for the Seas of East Asia PEMSEA, Quezon City, Philippines. 431p.
Costanza, R. 2000. The dynamics of ecological foot print concept. Ecological Economics
32: 341-345. Costanza. R; R. d‟Arge; R. de Groot; S. Farberk; M. Grasso; B. Hannon; K.
Limburg; S. Naeem; R. V. O‟Neill; J. Paruelo; R. G. Raskin; P. Sutton and M.
van den Belt. 1997. The Value of the world‟s ecosystem services and natural
capital. Nature 387: 253-260