Beberapa perbandingan nilai indikator emergi dirangkum dalam Tabel 7.13.
Tabel 7.13. Nilai indikator emergi dari berbagai sumber
Lokasi Topik
EYR ELR
EIR ESI
Reference
Ilha Solteira Reservoir, Brazil
Budidaya tilapia 1.01
90.51 -
90.51 Garcia et al.
2014 Guaraira
Lagoon, Brazil Budidaya udang
tambak tradisional 2.13
58.58 0.88
- Lima et al. 2012
Budidaya udang tambak organik
4.31 51.64
0.33 -
Sicily, Italia Eco village
3.21 0.48
- 6.68
Siracusa et al. 2007
Cilacap, Indonesia
Perikanan skala kecil 1
269.52 -
0.0037 Patria et al. 2014
KKLD Olele, Indonesia
Produksi perikanan 3.28
0.44 -
7.48 Djau 2012
Shiyang River Basin, baratdaya
China Agro-ecosystem,
Liang Zhou oasis 9.85
1.07 -
9.18 Liu et al. 2011
Agro-ecosystem, Mingin oasis
8.51 1.84
- 4.63
Desa Tegalwaru, Indonesia
Desa mandiri Kondisi terkini
4.52E- 11
7.31E-07 7.31E-
07 6.18E-
05 Listyawati et al.
2014 Desa mandiri
Dengan bioreaktor 3.54E-
09 1.98E-05
1.98E- 05
1.79E- 04
Gulf of La Spezia, Itali
Budidaya ikan Sparus aurata
1.2 5
- -
Vassallo et al. 2007
Pesisir Timur Kabupaten
Bintan, Indonesia
SSE ekosistem lamun musim timur
9.93E- 06
2.56E+00 8.98E-
01
3.88E- 06
Penelitian ini
SSE ekosistem lamun musim Utara
6.52E- 06
2.42E+00 9.87E-
01
2.70E- 06
7.6. Simpulan
Hasil penelitian dari keberlanjutan SSE ekosistem lamun memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. EYR mengidikasikan bahwa upaya penangkapan oleh nelayan tradisional sangat besar akan tetapi tidak memperoleh hasil yang maksimal
2. EIR mengidikasikan bahwa nelayan tradisional memerlukan investasi ekonomi yang besar untuk mengeksploitasi sumber daya di ekosistem
lamun. 3. ELR mengidikasikan bahwa beban lingkungan akibat proses penangkapan
di ekosistem lamun relatif besar. 4. Nilai ESI yang diperoleh pada penelitian ini sangat kecil yang berarti
bahwa sistem SSE ekosistem lamun tidak berkelanjutan.
8. OPSI PENGELOLAAN
SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN
8.1. Pendahuluan
Kabupaten Bintan merupakan salah satu kabupaten yang termasuk kedalam Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah penduduk tercatat 151 510 jiwa
Anonim, 2012, yang tersebar didataran seluas 1 946.13 km
2
. Luas lautan lebih kurang 86 092.41 km
2
yang merupakan sumber mata pencaharian nelayan. Tentunya laut menjadi tumpuan utama para nelayan, terlihat dari jumlah rumah
tangga nelayan yang mengalami kenaikan rata-rata 4.4 selama kurun waktu 2004-2012 Anonim 2012. Konsekuensi dari pertambahan RTP tersebut adalah
meningkatkan upaya penangkapan yang berakhir pada tekanan terhadap sumber daya yang ada.
Dalam wilayah tangkapan yang lebih sempit, seperti di ekosistem lamun tempat penelitian dilakukan pola diatas bisa saja terjadi. Namun, tekanan terhadap
sumber daya di ekosistem lamun bukan disebabkan oleh pertambahan jumlah rumah tangga perikanan, akan tetapi oleh permintaan pasar yang tinggi akibat
pertumbuhan penduduk. Jadi eksploitasi yang dilakukan nelayan tradisional adalah untuk memenuhi kebutuhan ikan bagi masyarakat lainnya yang berada
baik di dalam Kabupaten Bintan ataupun di luar Kabupaten.
Informasi yang dikumpulkan menyatakan bahwa ekosistem lamun di lokasi penelitian telah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak tahun 70-an. Luas
ekosistem lamun di empat desa penelitian 3012.88 ha, ditempat inilah masyarakat menangkap ikan, rajungan, sotong, teripang dan mencari kerang-kerangan.
Dikatakan oleh beberapa tokoh desa bahwa saat ini hasil tangkapan terutama teripang dan rajungan lebih sedikit dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu.
Pemanfaatan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan merupakan salah satu bentuk sistem ekologi-sosial SES yang didefinisikan oleh Anderies et al. 2004.
Dalam interaksi tersebut ekosistem lamun merupakan unit ekologi yang berperan sebagai penyedia jasa, sedangkan masyarakat-dalam hal ini adalah nelayan
tradisional- merupakan unit sosial yang berperan sebagai pemanfaat. Berbagai biota hidup di dalam ekosistem lamun. Masing-masing biota mempunyai peran
yang berbeda dan berkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa besar unit ekologi ekosistem lamun maka pendekatan energi
dalam rantai makanan di ekosistem tersebut digunakan. Dalam konteks penelitian ini, rantai makanan dianalisis menggunakan pendekatan energi. Hal ini dilakukan
untuk menciptakan „benang merah‟ antara bab yang satu dengan bab yang lain. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa energi yang tersedia dalam
ekosistem lamun berbeda menurut musim. Total energi dalam musim Timur sebesar 1.55 x 10
13
Joule, sedangkan pada musim Utara 1.43 x 10
13
Joule atau berkurang sebesar 7. Jika dibedakan antara produsen dan konsumen, maka
energi produsen yang diserap oleh konsumen sebesar 27.6 pada musim Timur dan 18.3 pada musim Utara. Dalam kaitannya dengan jasa ekosistem lamun,
peran supporting dan regulating services dalam kondisi baik terlihat dari persentase energi lamun sebesar 78.42 pada kedua musim, sedangkan
provisioning services
berkurang di musim Utara terlihat dari persentase energi konsumen.
Untuk mengetahui sistem sosial dalam artian seberapa besar masyarakat memanfaatkan ekosistem lamun, jasa ekosistem lamun dan pola pemanfaatannya
diidentifikasi. Jumlah nelayan di keempat desa 945 orang Anonim 2013; Anonim 2014a, 2014b, 2014c, 2014d, mereka bekerja sebagai nelayan bagan,
nelayan rumpon atau bekerja pada nelayan kapal besar dan hanya 189 orang 20 yang melakukan kegiatan penangkapan di area lamun dan dalam penelitian
ini disebut sebagai „nelayan tradisional‟. Nelayan tradisional dapat digolongkan menjadi tiga tipe berdasarkan hasil tangkapan, yaitu menangkap ikan dan sotong
128 orang, menangkap rajungan 110 orang dan menangkap kerang-kerangan 62 orang. Profesi sebagai nelayan merupakan profesi yang diwariskan turun temurun.
Sebagai nelayan tradisional, alat tangkap dan sarana penangkapan relatif sederhana. Nelayan tradisional di Desa Teluk Bakau, Malang Rapat dan Berakit
cenderung menggunakan alat tangkap jaring. Bubu rajungan lebih dominan digunakan oleh nelayan di Desa Pengudang dan Teluk Bakau. Alat tangkap
empang digunakan hanya oleh nelayan Berakit dan Pengudang.
Ekosistem lamun di lokasi penelitian memberikan jasa ekosistem berupa jasa pendukung, jasa pengaturan, jasa persediaan dan jasa budaya MEA 2005.
Status keempat jasa tersebut dianalisis menggunakan Matriks jasa ekosistem yang dikembangkan oleh Burkhard et al. 2012. Dalam konteks penelitian ini jasa
ekosistem dilihat dari sudut pandang tipe habitat dan morfologi ekosistem yang teridentifikasi. Hasil Analisis matriks jasa ekosistem menunjukkan bahwa surplus
jasa pengaturan, dijumpai pada tipe habitat hamparan lamun dalam hubungannya dengan pelindung pantai, penstabil pH air laut, pemerangkap sedimen, penjaga
kejernihan air dan penstabil substrat. Dari morfologi ekosistem lamun, surplus jasa pengaturan dijumpai pada reef crest. Surplus jasa persediaan dijumpai pada
tipe habitat dalam hubungannya dengan sumber ikan hias, obat, pupuk, bioprospecting, mencari kuda laut dan mencari rengkam. Surplus jasa budaya
dijumpai antara tipe habitat hamparan lamun dengan nilai intrinsik dan biodiversitas. Defisit jasa persediaan terlihat pada tipe habitat sebagai tempat
meletakkan bubu ikan, bubu ketam, jaring ikan, jaring ketam, mencari kerang- kerangan serta mencari teripang. Dari sisi morfologi ekosistem lamun,
kekurangan ketersediaan terlihat di cekungan, kaloran dan reef crest dalam hubungannya sebagai sumber ikan dan tempat meletakkan alat tangkap. Defisit
jasa budaya terlihat pada tipe habitat dengan rekreasi dan nilai estetika.
Ekosistem lamun merupakan sumber bagi nelayan di lokasi penelitian. Hasil pemetaan mengenai pola pemanfaatan ekosistem lamun menunjukkan bahwa
ekositem lamun merupakan sumber penghasilan utama berupa hasil tangkapan, sedangkan sebagian kecil penghasilan berasal dari kegiatan wisata setempat. Hasil
tangkapan dijual, diolah dan atau digunakan sebagai umpan. Ikan, rajungan, sotong dan kerang-kerangan segar langsung dijual kepada tauke setempat, dan
diteruskan penjualannya ke Tanjung Pinang. Di beberapa penampung, rajungan direbus, dipisahkan antara daging abdomen, cephalothorax dan telson, selanjutnya
dijual ke penampung yang lebih besar. Hasil olahan berupa kerupuk, kerupuk atom, otak-otak dan bakso cenderung dipasarkan sebagai konsumsi desa. Hasil
lainnya adalah cinderamata yang terbuat dari cangkang kerang.
Pola pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun di lokasi penelitian membentuk hubungan kait mengkait antara sumber daya, pengguna langsung,