Latar Belakang Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun Di Kabupaten Bintan
rajungan, teripang dan kerang-kerangan. Sejauh ini belum ada informasi pemanfaatan tersebut secara terperinci Oleh karena itu perlu diketahui hubungan
antara ekosistem lamun dengan nelayan tradisional pemanfaat ekosistem tersebut, agar diketahui apakah ekosistem lamun dapat menopang kehidupan nelayan
tradisional. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk pengelolaan ekosistem tersebut.
1.2.
Perumusan Masalah Kabupaten Bintan merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tanjung
Pinang. Pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Bintan tentunya menimbulkan berbagai permasalahan baik ekologis, sosial dan ekonomi.
Permasalahan yang terjadi perlu diidentifikasi, agar dapat dijadikan sebagai data dasar untuk perencanaan dan pengelolaan ke depan Camanho 2010. Pendekatan
Driving, Pressure, State, Impact, Response
DPSIR merupakan model pendekatan yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan
lingkungan European Environmental Agency 1999; Tao et al. 2007; Pastres dan Solidoro 2012.
Pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun oleh nelayan di Kabupaten Bintan merupakan interaksi antara unit ekologi dan sistem sosial. Dalam unit ekologi
ekosistem lamun berperan sebagai penyedia jasa ekosistem ecosystem services. Dalam sistem sosial terjadi pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun oleh
masyarakat, terutama nelayan tradisional. Mereka memanfaatkan sumber daya yang ada di ekosistem lamun dengan berbagai cara. Hasil yang diperoleh sebagian
untuk dikonsumsi dan sebagian lagi untuk dijual.
Anonim 2009a menyatakan bahwa keberadaan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan cenderung mendapat ancaman. Faktor yang memicu kerusakan
antara lain adalah: pertumbuhan penduduk, aktivitas pembangunan, perubahan fungsi lahan, penangkapan yang tidak ramah lingkungan serta kurang efektifnya
kebijakan. Kesemuanya itu akan menyebabkan dampak terhadap ekosistem lamun maupun kepada masyarakat -dalam hal ini nelayan tradisional- yang
memanfaatkan ekosistem tersebut.
Hasil investigasi dikumpulkan di lapangan dituangkan dalam skema DPSIR Gambar 1.1.. Pemicu permasalahan driving force adalah permintaan biota
konsumsi ikan, rajungan, sorong dan kerang-kerangan yang meningkat. Keadaan ini diketahui dari nelayan tradisional dan tauke di keempat desa yang mengatakan
bahwa saat ini beberapa tauke dari luar desa datang ke lokasi untuk membeli biota konsumsi tersebut diatas langsung dari nelayan. Catatan yang diperoleh, terjadi
peningkatan permintaan rajungan segar atau yang telah diambil dagingnya. Menurut pengamatan penulis, ada 3 orang tauke rajungan di Desa Pengudang dan
2 orang tauke rajungan di Desa Teluk Bakau yang mengusahakan rajungan segar dan daging rajungan. Tingginya permintaan rajungan tadi berakibat pada
tingginya kebutuhan umpan dalam hal ini adalah ikan-ikan kecil. Demikian pula pada bulan Februari di saat Imlek terjadi peningkatan kebutuhan akan ikan
dingkis famili Siganidae. Harga ikan dingkis melonjak, dari harga sekitar Rp. 20 000 menjadi Rp. 60 000 per kilogram. Keadaan tersebut diatas memberikan
tekanan pada ekosistem lamun pressure yang akan menimbulkan perubahan pada kondisi sumber daya di ekosistem lamun serta pola tangkap nelayan
tradisional state. Pada akhirnya keadaan diatas akan menurunkan hasil
tangkapan nelayan tradisional impact. Oleh karena itu upaya pengelolaan sangat diperlukan response.
Diadopsi dari Carr et.al 2007 dan Mateus dan Campuzano 2008
Gambar 1.1. Driving force, Pressure, State, Impact, Response DPSIR di ekosistem lamun Kabupaten Bintan
Untuk menyeimbangkan kemampuan ekosistem lamun dan pemanfaatannya oleh nelayan, maka perlu diketahui keterkaitan antar keduanya. Dari uraian di atas
muncul pertanyaan: 1. Bagaimana status sumber daya lamun di lokasi penelitian?
2. Bagaimanakah jasa dan pemanfaatan ekosistem lamun oleh nelayan setempat?
3. Sejauh mana konektivitas keduanya? 4. Bagaimana keberlanjutan SSE ekosistem lamun tersebut?
1.3.
Kerangka Pemikiran
Pemanfaatan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan merupakan salah satu bentuk sistem ekologi-sosial SES yang didefinisikan oleh Anderies et al. 2004.
Dalam interaksi tersebut ekosistem lamun merupakan unit ekologi yang berperan sebagai penyedia jasa, sedangkan masyarakat-dalam hal ini adalah nelayan
tradisional- merupakan unit sosial yang berperan sebagai pemanfaat.
Berbagai biota hidup di dalam ekosistem lamun. Masing-masing biota mempunyai peran yang berbeda dan berkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena
itu, untuk mengetahui seberapa besar unit ekologi ekosistem lamun maka pendekatan energi dalam rantai makanan di ekosistem tersebut digunakan. Untuk
mengetahui sistem sosial dalam artian seberapa besar masyarakat memanfaatkan
ekosistem lamun, jasa ekosistem lamun dan pola pemanfaatannya diidentifikasi. Analisis Matriks Jasa Ekosistem yang diadopsi dari Burkhard et al. 2012,
digunakan untuk melihat jasa ekosistem lamun, sedangkan pola pemanfaatannya dianalisis dengan Spidergram, mengacu pada Wildenberg 2005.
Konektivitas antara unit ekologi dan sistem sosial dapat diketahui dengan mengukur seberapa besar intensitas penggunaan ekosistem lamun oleh nelayan
tradisional. Pendekatan Human Appropriation of Net Primary Production HANPP digunakan guna mengukur seberapa besar konektivitas tersebut
Visoutek et al. 1996, Haberl et al. 2007a; 2007b. HANPP sendiri belum dapat mencerminkan keberlanjutan SSE di ekosistem lamun Kabupaten Bintan
Krausman et al. 2012, sehingga diperlukan analisis untuk melihat keberlanjutan tersebut. Index Keberlanjutan Emergy Odum 1998; Vora dan Thrift 2010
digunakan untuk mengetahui keberlanjutan SSE di ekosistem lamun. Opsi pengelolaan dirancang menggunakan tactical desicion Gavaris 2009 berdasarkan
hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Kerangka pemikiran pengelolaan SSE ekosistem lamun di Kabupaten Bintan disederhanakan dalam Gambar 1.2.
1.SSE Lamun
2.Konektivitas SSE Lamun
3.Keberlanjutan SSE lamun
4.Opsi Pengelolaan SSE Lamun
Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan
Fungsi ekologis
Fungsi Ekonomis
Unit Ekologi
Unit Sosial
Human Appropriation of
Net Primary Production
HANPP Analisis
Emergi
Status SDA :
Energi
Pola Pemanfaatan :
Spidergram Jasa Ekosistem
Lamun : Matriks
Jasa Ekosistem
Tactical decision
Keterangan: garis putus-putus menunjukkan analisis yang digunakan
Gambar 1.2. Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan