Pada peraga sebelah kanan atas di Gambar 2. tersebut fungsi produksi pertanian hanya ditentukan oleh variabel input tenaga kerja L
A
, sedangkan input modal K
A
dan teknologi t
A
diasumsikan tetap. Turunan fungsi ini merupakan produktivitas tenaga kerja marjinal MP
LA
dan produktivitas tenaga kerja rata-rata AP
LA
seperti yang digambarkan pada diagram kanan bawah. Lewis mengasumsikan bahwa di sektor pertanian MP
LA
sama dengan nol dan semua pekerja di sektor pertanian menghasilkan output yang sama sehingga upah riil di
perdesaan ditentukan oleh produktivitas rata-rata, bukan oleh produktivitas marjinal sebagaimana di sektor modern. Upah di sektor pertanian ini W
A
dapat dinyatakan dengan total output pangan dibagi total tenaga kerja TP
A
L
A
. Pada diagram sebelah kiri atas juga diasumsikan bahwa fungsi produksi
sektor modern juga hanya ditentukan oleh variabel input tenaga kerja L
M
, sementara variabel input modal K
M
dan teknologi t
M
konstan. Dalam model Lewis, stok modal di sektor modern bisa bertambah dari K
M1
, K
M2
, kemudian menjadi K
M3
dan seterusnya akibat dari reinvestasi keuntungan. Penambahan stok modal ini diikuti oleh peningkatan total produksi dari TP
M
K
M1
ke TP
M
K
M2
, TP
M
K
M3
dan seterusnya. Tingkat upah sektor tradisional W
A
lebih rendah dari pada upah sektor modern W
M
. Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja di perdesaan tidak terbatas atau elastis sempurna kurva penawaran tenaga kerja horizontal W
M
S
L
. Hal ini dapat diartikan bahwa penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat
merekrut tenaga kerja perdesaan sebanyak yang diperlukan tanpa harus khawatir tingkat upah akan naik. Dengan asumsi tingkat upah di sektor modern konstan
W
M
, penambahan investasi yang akan menambah total produksi dan menggeser kurva permintaan tenaga kerja dari D
1
K
M1
, ke D
2
K
M2
, D
3
K
M3
dan seterusnya. Sehingga tenaga kerja yang terserap di sektor modern juga bertambah dari L
1
, ke L
2
, L
3
dan seterusnya. John Fei dan Gustav Ranis pada tahun 1964 kemudian melengkapi Model
Lewis yang menggambarkan bahwa penawaran tenaga kerja tidak terbatas dan analisa yang lebih ditekankan pada sektor modern serta mengabaikan perubahan
pada sektor pertanian. Model transformasi tenaga kerja yang kemudian dikenal dengan Model Fei-Ranis ini menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi di
sektor pertanian. Model ini membagi perubahan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tiga tahap berdasarkan produktivitas marginal dan tingkat upah yang
dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogen.Kecepatan transfer tenaga kerja ini tergantung pada tingkat pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi dan
tingkat pertumbuhan stok modal di sektor industri Fei et al., 1989. Dalam Model Fei-Ranis, terdapat 3 tahapan transfer tenaga kerja
berdasarkan produktivitas fisik marginal PM dan upah yang dianggap konstan. Pada tahap pertama tenaga kerja melimpah dan PM sama dengan atau mendekati
nol, tahap kedua ditandai oleh PM tenaga kerja positif namun masih di bawah tingkat upah, sedangkan pada tahap ketiga PM tenaga kerja positif dan di atas
tingkat upah. Model ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Model Transformasi Tenaga Kerja Fei-Ranis
C Produk fisik marginal
Produk rata-rata
a Sektor Pertanian O
Upah konst
Tenaga kerja B
W
I II
III S
ā
O S
Produk marginal
Produk fisik
marginal
Tenaga kerja Sāā
b Penawaran tenaga kerja padasektor industri
Pada tahap I O-B surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran elastis sempurna garis S-
Sā. Adanya transfer tenaga kerja tidak menurunkan produksi sektor pertanian. Produktivitas
tenaga kerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh dengan adanya tambahan tenaga kerja. Sehingga transfer tenaga kerja menguntungkan kedua
sektor. Pada tahap II B-C, terjadinya pengurangan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan produksi sektor pertanian dengan biaya imbangan
positif. Produsen sektor pertanian akan senang hati melepas tenaga kerjanya walaupun produksinya menurun karena penurunan tersebut lebih rendah dari
besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di lain pihak, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya meningkat
karena adanya tambahan tenaga kerja yang masuk, harga relatif komoditas pertanian akan meningkat. Pada tahap III produsen pertanian akan
mempertahankan tenaga kerjanya. Sementara itu permintaan tenaga kerja meningkat terus dari sektor industri dengan asumsi keuntungan pembentukan
modal di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha Fei et al., 1989.
Dalam kenyataannya, tidak semua surplus tenaga kerja dari sektor pertanian dapat diterima di sektor modern industri yang formal. Hadi 2001 menyatakan
bahwa industri modern di perkotaan pada umumnya membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan dan keahlian tertentu yang sebagian besar sulit
dipenuhi, disamping kesempatannya terbatas dan kecil dibandingkan dengan jumlah pihak pencari kerja. Oleh karena itu sektor informal di perkotaan menjadi
satu-satunya alternatif bagi masyarakat di sektor tradisional untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan mencari penghidupan. Hal ini sangat terasa di kota-kota di
Kawasan Barat Indonesia KBI, khususnya di Pulau Jawa yang menjadi tempat tujuan pencari kerja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan
hubungan macro-spatial kawasan perdesaan dan perkotaan. Garis putus-putus menunjukkan aliran perpindahan penduduk.
Gambar 4. Hubungan Macro-spatial Kawasan Perkotaan dan Perdesaan Hadi, S., 2001
Karakteristik sektor informal antara lain sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki
secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja padat karya, dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Beberapa dari sektor informal yang
berhasil ini dapat beralih menjadi sektor formal yang terdaftar secara hukum dan terikat oleh peraturan ketenagakerjaan pemerintah Todaro, 2009. Karakteristik
seperti ini juga dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah UKM yang merupakan transisi tenaga kerja dari pekerjaan di sektor pertanian subsisten ke sektor non-
pertanian Rusastra et al, 2010.
Kawasan Perdesaan Sektor Tradisional
Sektor Modern Pasar
Internasion al
Sektor industri
modern di perkotaan
Sektor informal di
perkotaan Industri
modern di daerah
rural
Masyarakat miskin yang
mayoritas adalah petani
miskin di perdesaan
Kawasan Perkotaan
2.1.4 Industrialisasi
Dalam suatu perekonomian yang terbuka dan persaingan pasar sempurna, pengembalian marjinal faktor-faktor produksi dalam berbagai sektor akan merata.
Apabila perbedaan produktivitas ini semakin lebar, maka perbedaan pendapatan antara masyarakat perdesaan yang menggantungkan diri pada sektor pertanian dan
masyarakat perkotaan yang sebagian besar bekerja di sektor non-pertanian akan semakin besar pula. Dengan demikian, kemiskinan juga akan terus terjadi,
terutama di perdesaan Lin, 2003. Selanjutnya, Lin 2003 juga menyatakan bahwa dalam meningkatkan
pendapatan tenaga kerja di sektor pertanian, upaya peningkatan produksi pada on-farm di sektor pertanian kurang efektif dibandingkan pembangunan sektor
industri yang menyerap tenaga kerja. Terkait dengan hal ini, strategi pemilihan industri berdasarkan rasio modal dan tenaga kerja akan mempengaruhi percepatan
pemerataan pendapatan antara sektor pertanian dan non-pertanian. Data dari berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa strategi pengembangan industri
yang padat tenaga kerja berdampak positif terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan.
Sektor pertanian mempunyai sifat yang akomodatif terhadap tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan sektor pertanian terpaksa meanampung tenaga kerja yang
melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang tinggi. Oleh karena itu, industrialisasi perdesaan menjadi suatu program yang harus
segera dilaksanakan untuk mengurangi jumlah pengangguran dan setengah pengangguran di perdesaan. Pengembangan industrialisasi di perdesaan untuk
mendorong tenaga kerja pertanian keluar ke sektor industri saat ini sangat gencar dilaksanakan di RRC. Kebijakan industri perdesaan yang dilakukan oleh RRC
sejak tahun 1980-an telah berhasil mengalihprofesikan sebesar 100 juta petani untuk bekerja pada sektor industri di perdesaan. Data tahun 1998 menunjukkan
bahwa di RRC telah berdiri sekitar 22 juta perusahaan perdesaan yang bergerak di sektor industri berupa township and village enterprise Malian et al., 2004.
Strategi yang ditawarkan terkait peranan sektor pertanian yang masih menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan tingginya angka
pengangguran tidak kentara di sektor pertanian diantaranya adalah mempercepat
proses transformasi melalui transisi pengembangan agroindustri berbasis komoditas unggulan di perdesaan. Agroindustri yang mempunyai kemampuan
sebagai masa transisi untuk mendorong proses transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1 produk industri
yang dikembangkan berbasis komoditas unggulan nasional dan spesifik daerah, sehingga meningkatkan nilai tambah produk pertanian; 2 mempunyai kaitan
yang luas, baik ke industri hulu backward linkage maupun kaitan ke industri hilir forward linkage; 3 memiliki permintaan pasar yang luas baik pasar lokal,
regional, maupun ekspor, sehingga produk yang dikembangkan sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan dinamika preferensi konsumen; 4 nilai tambah
yang diciptakan didistribusikan secara adil diantara pelaku-pelaku yang tercakup, sehingga terjadi sinergi optimum; 5 bersifat padat tenaga kerja sehingga mampu
menyerap tenaga kerja secara luas sebagai prasyarat menuju industrialisasi; 6 ketersediaan modal sesuai dengan tahap pekembangan skala usaha dan
kematangan usaha agroindustri yang dikembangkan; 7 memiliki kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai tahap perkembangan agroindustri yang
dikembangkan; 8 memiliki kandungan jiwa kewirausahaan yang tinggi sebagai penggerak agroindustri; serta 9 lokasi pengembangan pada daerah sentra
produksi komoditas unggulan Supriyati, 2009. Departemen Perindustrian 2005, menyatakan bahwa hasil analisis
pengukuran daya saing membagi perusahaan industri menengah dan besar ke dalam dua kelompok berdasarkan orientasi pasarnya, yaitu kelompok industri
potensi ekspor dan kelompok industri pasar dometik. Selanjutnya, kedua kelompok tersebut juga dibedakan lagi menjadi empat kategori, yaitu industri
padat sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal dan industri padat teknologi.
Industri padat sumber daya alam mencakup perusahaan industri yang banyak memanfaatkan input produksi bahan baku yang berasal dari sumber daya alam.
Industri ini mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply dan untuk pengembangan produknya sudah dapat didukung oleh unit penelitian dan
pengembangan dalam negeri. Beberapa industri yang termasuk dalam kategori padat sumber daya alam yang cukup potensial diantaranya adalah industri
makanan lainnya, industri barang-barang dari kayu dan barang-barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya, industri barang-barang dari batu, dan industri
furnitur. Industri padat tenaga kerja mencakup perusahaan industri pengolahan yang
banyak menggunakan tenaga kerja dalam kegiatan produksinya. Untuk dapat mengembangkan produksinya, diperlukan usaha meningkatkan ketrampilan dan
produktivitas tenaga kerja, melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Beberapa jenis industri yang tercakup dalam kelompok ini adalah industri pemintalan,
pertenunan, dan pengolahan akhir tekstil, industri pakaian jadi dan perlengkapannya kecuali pakaian jadi berbulu, industri kulit dan barang dari kulit,
dan industri pengolahan lainnya. Industri padat modal mencakup industri yang banyak menyerap modal
dalam proses produksinya. Dalam pengembangan produknya, diperlukan usaha meningkatkan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Pada umumnya,
untuk mengembangkan produk ini sangat tergantung pada faktor eksternal. Contoh industri ini adalah industri barang dari plastik.
Industri padat teknologi mencakup perusahaan industri yang mengandalkan teknologi sebagai faktor keunggulan dalam bersaing. Untuk mengembangkan
produksinya, diperlukan usaha meningkatkan penguasaan teknologi, baik melalui alih teknologi maupun teknologi yang menyatu pada barang modal yang diimpor.
Termasuk dalam industri ini adalah industri pesawat terbang. BPS membagi skala industri dalam empat kelompok berdasarkan jumlah
tenaga kerja yang terlibat, yaitu 1 industri rumah tangga atau industri mikro dengan jumlah tenaga kerja sampai dengan empat orang, 2 industri kecil yang
memiliki tenaga kerja 5 sampai 20 orang, 3 industri sedang atau menengah dengan tenaga kerja berjumlah 21 sampai 99 orang, dan 4 industri besar yang
memperkerjakan 100 orang atau lebih.Dari keempat kelompok tersebut, proporsi UKM terbesar adalah unit usaha mikro 98,58, usaha kecil 1,01, usaha
menengah 0,08. Selama tahun 2005-2008, UKM telah menyumbang PDB sebesar 55,56 Anwar, S. D., 2009.
2.1.5 Tingkat Pendidikan Masyarakat
Perkembangan kesempatan kerja non-pertanian sangat dipengaruhi oleh infrastruktur yang tersedia terutama jalan raya dan listrik serta tingkat pendidikan.
Tersedianya infrastruktur yang lebih baik meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan kondusif untuk terjadinya perluasan pasar produk pertanian maupun non-
pertanian, sedangkan meningkatnya kualitas pendidikan meningkatkan akses tenaga kerja terhadap kesempatan kerja di sektor non-pertanian, baik di perdesaan
maupun di perkotaan Yamauchi et al., 2008, di dalam Sumaryanto dan Sudaryanto, 2009.
Pada dasarnya, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan menghadapi selisih tingkat upah antara sektor modern di kota dan sektor tradisional di desa
yang lebih tinggi. Selain itu, ia memiliki peluang yang lebih besar untuk berhasil mendapatkan pekerjaan pekerjaan di sektor modern dengan tingkat pendapatan
lebih tinggi Todaro, 2009. Rumah tangga pertanian dan perdesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan
tingkat pendidikan rendah. Di sisi lain, sektor pertanian tidak menarik bagi mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan fakta
bahwa 1 sektor pertanian tidak dapat menyediakan upah yang tinggi dan tidak ada diferensiasi upah untuk latar belakang pendidikan formal yang berbeda. Pada
sektor non-pertanian terjadi kebalikannya, yaitu terdapat diferensiasi tingkat upah untuk tingkat pendidikan yang berbeda dan biasanya telah ditetapkan tingkat
pendidikan minimum untuk jabatan tertentu; 2 di sektor pertanian tidak ada jaminan untuk jenjang karir sebagaimana pada sektor industri; 3 rumah tangga
pertanian di perdesaan tidak dapat mencukupi biaya pendidikan akibat kemiskinan mereka Rusastra et al., 2009.
Selanjutnya, Rusastra et al 2009 menyatakan bahwa pada rumah tangga di perdesaan terjadi peningkatan partisipasi pendidikan. Antara tahun 1983 sampai
2003, tingkat partisipasi pendidikan SLTP, SLTA dan perguruan tinggi telah meningkat masing-masing dari 3,82, 1,96 dan 0,13 persen menjadi 10,67, 8,95
dan 1,73 persen.