2.1.5 Tingkat Pendidikan Masyarakat
Perkembangan kesempatan kerja non-pertanian sangat dipengaruhi oleh infrastruktur yang tersedia terutama jalan raya dan listrik serta tingkat pendidikan.
Tersedianya infrastruktur yang lebih baik meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan kondusif untuk terjadinya perluasan pasar produk pertanian maupun non-
pertanian, sedangkan meningkatnya kualitas pendidikan meningkatkan akses tenaga kerja terhadap kesempatan kerja di sektor non-pertanian, baik di perdesaan
maupun di perkotaan Yamauchi et al., 2008, di dalam Sumaryanto dan Sudaryanto, 2009.
Pada dasarnya, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan menghadapi selisih tingkat upah antara sektor modern di kota dan sektor tradisional di desa
yang lebih tinggi. Selain itu, ia memiliki peluang yang lebih besar untuk berhasil mendapatkan pekerjaan pekerjaan di sektor modern dengan tingkat pendapatan
lebih tinggi Todaro, 2009. Rumah tangga pertanian dan perdesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan
tingkat pendidikan rendah. Di sisi lain, sektor pertanian tidak menarik bagi mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan fakta
bahwa 1 sektor pertanian tidak dapat menyediakan upah yang tinggi dan tidak ada diferensiasi upah untuk latar belakang pendidikan formal yang berbeda. Pada
sektor non-pertanian terjadi kebalikannya, yaitu terdapat diferensiasi tingkat upah untuk tingkat pendidikan yang berbeda dan biasanya telah ditetapkan tingkat
pendidikan minimum untuk jabatan tertentu; 2 di sektor pertanian tidak ada jaminan untuk jenjang karir sebagaimana pada sektor industri; 3 rumah tangga
pertanian di perdesaan tidak dapat mencukupi biaya pendidikan akibat kemiskinan mereka Rusastra et al., 2009.
Selanjutnya, Rusastra et al 2009 menyatakan bahwa pada rumah tangga di perdesaan terjadi peningkatan partisipasi pendidikan. Antara tahun 1983 sampai
2003, tingkat partisipasi pendidikan SLTP, SLTA dan perguruan tinggi telah meningkat masing-masing dari 3,82, 1,96 dan 0,13 persen menjadi 10,67, 8,95
dan 1,73 persen.
2.2.
Penelitian Terdahulu
Pada Tahun 2002, Nurmanaf, dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, telah melakukan penelitian tentang konversi
lahan sawah di Pulau Jawa dan dampaknya terhadap produksi padi. Penelitian ini menganalisa lahan sawah yang dikonversi antara tahun 1978 sampai dengan tahun
1998. Selama kurun waktu dua puluh tahun tersebut, konversi telah mencapai 1,07 juta ha atau 30,8 dari total sawah di Pulau Jawa dengan pencetakan sawah baru
yang luasnya hanya 85 dari luas lahan yang dikonversi. Konversi ini menyebabkan penurunan produksi sekitar 4,7 juta ton gabah per tahun atau 19,4
dari produksi padi sawah yang dapat dihasilkan. Rusastra et al 2009 telah melakukan analisis tentang lahan, ekonomi rumah
tangga serta status kesejahteraan masyarakat perdesaan berdasarkan data antara Tahun 1983 sampai 2003. Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, salah satu
masalah utama yang dihadapi oleh rumah tangga petani adalah kecenderungan penurunan sumber kekayaan berupa lahan. Jumlah rumah tangga dengan
kepemilikan lahan 0,1 ha bertambah dari 7,30 menjadi 17,17. Petani dengan lahan lebih dari 2 ha yang sebelumnya berjumlah 13,46 berkurang menjadi
11,27. Hal ini diikuti dengan penurunan peranan proporsi pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian yang semula 82,7 pada tahun 1983 menjadi
69,47 pada tahun 2003. Di sektor non-pertanian terjadi peningkatan proporsi terhadap rumah tangga petani yang semula 15,56 pada tahun 1983 menjadi
24,49 pada tahun 2003. Ilham et al 2004 mempublikasikan hasil penelitian tentang perkembangan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. Penelitian ini menggunakan data time series BPS antara tahun
1978 – 2000 yang dibandingkan antar rentang waktu dan antar pulau di Indonesia.
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini antara lain menyatakan bahwa konversi lahan sawah di Pulau Jawa lebih tinggi daripada pulau lainnya,
serta konversi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB, berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani dan tidak berkorelasi dengan
pertumbuhan penduduk.
Pengamatan terhadap transfomasi dua desa di Jawa Timur yaitu Desa Sumokembangsri di Sidoarjo dan Desa Gemarang di Ngawi yang mengalami
dalam kurun waktu 37 tahun, yaitu dari tahun 1969 sampai tahun 2006 telah dilakukan oleh Collier et al 2009. Konversi lahan dan pengalihan hak atas lahan
terjadi di kedua desa tersebut. Perbedaan kedua desa tersebut adalah ada tidaknya pabrik pada jarak yang relatif dekat dengan desa. Pada Desa Sumokembangsri,
adanya pabrik di sekitar desa berdampak pada bentuk transformasi tenaga kerja berupa komuting, sedangkan di Desa Gemarang yang letaknya dekat dengan jalan
nasional tetapi tidak terdapat pabrik di sekitarnya, maka bentuk transformasi yang terjadi adalah migrasi ke tempat lain yang menyediakan lapangan pekerjaan. Hal
ini menyebabkan proporsi penduduk desa yang bekerja di sektor non-pertanian lebih besar di Desa Sumokembangsri 72,8 dibandingkan di Desa Gemarang
48. Kondisi ekonomipun lebih baik di Desa Sumokembangsri.
2.3. Kerangka Pemikiran
Konversi lahan sawah, terutama di Pulau Jawa, merupakan dampak pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan pertumbuhan sektor industri dan jasa
serta akibat dari pertumbuhan penduduk. Karena luasan total lahan tetap, maka penggunaan lahan sawah untuk kepentingan non-pertanian cenderung mengurangi
luasan sawah pertanian pangan. Konversi lahan sawah yang selama ini jumlahnya setiap tahun lebih besar
dibandingkan pencetakan sawah dapat mengurangi luasan areal tanam dan berujung pada penurunan jumlah produksi padi. Jumlah produksi yang terus turun
ini akan menurunkan produktivitas tenaga kerja. Akibatnya, terjadi surplus tenaga kerja di sektor usahatani padi. Di sisi lain, perkembangan ekonomi dan industri
juga membuka lapangan kerja menyerap surplus tenaga kerja. Sektor industri dalam hal ini dibagi menjadi empat jenis, yaitu industri padat
sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal dan industri padat teknologi. Industri ini meliputi indstri besar dan UKM.
Dalam penelitian ini dianalisa pengaruh beberapa faktor yang diperkirakan akan mempengaruhi kelancaran transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian
sebagai pengirim tenaga kerja, sektor non-pertanian sebagai penampung tenaga kerja, kondisi demografi berupa tingkat pendidikan, serta keterjangkauan sektor
non-pertanian yang diukur dalam bentuk aksesibilitas. Dari sisi sektor pertanian, yaitu konversi yang mendorong transformasi dan sisi sektor non-pertanian yang
berupa industrialisasi dominan yang menentukan kapasitas atau daya tampung tenaga kerja. Dari sisi kependudukan, partisipasi pendidikan sangat berperan
dalam menentukan apakah seseorang dapat memasuki lapangan kerja di sektor non-pertanian, dalam hal ini sektor industri. Kerangka pemikiran ini dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Non-pertanian
Transformasi Tenaga Kerja
Laju Konversi Lahan
Latar Belakang Pendidikan
Industrialisasi
Aksesibilitas Ketimpangan Produktivitas
Parsial antara sektor Pertanian dan Industri
Sektor Pertanian Konversi
Lahan Kependudukan
Kebutuhan Lahan Non-Pertanian
Ekonomi Land Rent
Sosial Budaya Degradasi
Lingkungan Otonomi Daerah
Penegakan Hukum Sektor Non-Pertanian
Jasa Industr
i Padat Sumber
Daya Alam Padat Tenaga
Kerja Padat Modal
Padat Tekonologi